Tampilkan postingan dengan label Sosial Budaya. Tampilkan semua postingan
Membangun sebuah rumah atas dasar pondasi yang kuat agar dapat bertahan lama
atau tidak mudah rubuh. Begitupun dengan
manusia menjalani kehidupan berdasarkan pondasi yang kuat supaya tidak mudah
terdoktrin dengan pengaruh-pengaruh dari luar yang berusaha mengarahkan
masyarakat pada ambang kehancuran. Pondasi yang saya maksud di sini adalah
aturan hukum adat dan nilai-nilai budaya setempat. Orang yang melangkah atas
dasar pondasi yang kuat mampu membedahkan mana yang baik dan yang buruk
sehingga tidak mudah terpengaruh.
Aniya kipoo enaki itogaka yame yagamo yokagapa tutu taine yamake kipoo
wiiko anikidi akato yoko nanaipiga nakako, ebatai piga bageke ipa nayaikai (saya mau tunjuk satu jari kepada generasi muda saat ini, tetapi empat
jari lainnya kembali pada diri saya sendiri, jadi bagi yang membaca tulisan ini, mohon
dimaafkan).
Mereka Ingin Berdamai dengan Terik Matahari
Posted by TANPA SUARA on Selasa, 13 Oktober 2015
![]() |
(Pasar Mama-mama Papua di Jayapura yang sedang dibongkar untuk renovasi, Foto:Dok/TS) |
Siang itu, di
Jayapura, sekitar pukul 9.29 WIT, Senin
24/8/2015. Panas matahari membakar kulit bumi. Banyak orang berlalu-lalang dan
menyibukkan diri dengan aktifitas masing-masing. Ada yang berpakaian dinas yang
sibuk dengan urusan kantor, ada yang berjualan, dan banyak aktifitas lainnya.
Dalam konteks demikian, ada yang menarik perhatian saya pada saat itu, ada
sekelompok orang yang menyibukkan diri dengan aktifitas yang mengundang banyak
pertanyaan dalam benak saya.
Mahasiswa: antara Berjuang dan Sukses
Posted by TANPA SUARA on Jumat, 07 Agustus 2015
“Perlunya mahasiswa
berdinamika dalam perjuangan studi untuk pengembangan diri guna memperdalam
pengetahuan dengan melaksanakan dan menjalankan kewajiban, tugas dan fungsinya”.
Yogyakarta-TANPA
SUARA- Mahasiswa yang tergabung dalam “Komunitas
Peduli Kampung” menggelar Diskusi tentang
Dinamika Perjuangan Dalam Perjalanan Studi”, di Asrama Papua, Kamasan 1, selasa, (21/01/2015), pukul 19:00-22 WIB.
Selamatkan Peradaban Bangsa Papua
Posted by TANPA SUARA on Jumat, 03 Juli 2015
Hilangnya peradaban suatu bangsa bukan karena masyarakatnya
meninggal ditembusi tima panas atau dijebak dalam konteks hidup tertentu demi
kepentingan kekuasaan, ekonomi, dan politik negara. Tetapi akibat kepentingan
dan pengaruh global yang mengarahkan masyarakat pada ambang kehancuran. Orang
Papua boleh mati dengan cara apapun, tetapi peradaban orang Papua harus
diselamatkan demi keselamatan generasi mendatang, (Ipou Igo’n, 2015)[1]
[1]
Materi ini direkonstruksi dari yang sebelumnya disampaikan pada
saat seminar budaya yang dilaksanakan oleh Ikatan Pelajar dan Mahasiswa Nabire,
Paniai, Dogiyai dan Deiyai (IPMANAPANDODE) Daerah Istimewa Yogyakarta.
Oleh: Mikael Tekege
Orang membangun suatu
bangunan, berdasarkan fondasi yang kuat agar tetap berdiri kokoh. Begitu juga
dengan dinamika hidup manusia dalam menjalani kehidupan berdasarkan fondasi
(budaya) tersebut. Budaya adalah cara berpikir, berkarya,
bergaul dan bertutur yang telah menjadi kebiasaan secara individu maupun
kolektif. Dengan demikian, budaya memuat segala aktifitas fisik maupun nonfisik
(moril dan materil) yang diaplikasikan dalam kehidupan sosial. Setiap suku bangsa
tentu memiliki budaya yang berbeda-beda, diwariskan secara turun temurun.
Kehidupan masyarakat Papua pada umumnya pun tidak terlepas dari budaya
tersebut. Semua itu, terangkum dan tercermin dalam aktivitas kehidupan sosial.
Menurut aturan adat dan norma sosial, ada hal-hal tertentu yang dibatasi
sehingga tergolong ke dalam perilaku individu. Yang dimaksud dengan perilaku
individu adalah sesuatu yang tidak sesuai dengan tata nilai dan norma yang
berlaku dalam kehidupan sosial, seperti mencuri, melakukan tindakan asusila dan
sebagainya. Sedangkan budaya dimengerti menyangkut hal-hal yang baik saja.
Kosa Kata Bahasa MEE
Posted by TANPA SUARA on Senin, 09 Maret 2015
Oleh Mikael Tekege
Saya
sangat terinspirasi ketika membaca opini
berjudul “ajari aku bahasa ibuku” karya Jhon Gobay yang dimuat di majalah GAI. Saya
berpikir bahwa ternyata ada generasi muda saat ini yang ingin melestarikan
budaya leluhur, termasuk bahasa yang kini hampir punah akibat pengaruh budaya
global. Kiranya masih ada generasi muda MEE saat ini memikirkan hal yang sama.
(Mikael saat menulis kosa kata bahasa Mee,Dok Pribadi TS) |
Sebelumnya
saya menyadari bahwa ungkapan kata dalam bahasa Mee terdapat beberapa perbedaan
dalam suku Mee itu sendiri, atau
dialeknya berbeda-beda meskipun maksudnya tetap sama. Oleh karena itu, saya
menulis beberapa kosa kata berikut ini sesuai dengan dialek saya sehingga jika
ada yang meresa tidak sesuai berarti pantas dan mohon dimaklumi. Setidaknya beberapa
kosa kata berikut ini menjadi langkah awal untuk mengetahui lebih jauh dan
lebih bagus bila kita diskusi lebih dalam demi kesempurnaan kosa kata tersebut.
Iyamana Yoko Motima Beu
Posted by TANPA SUARA on Minggu, 08 Maret 2015
Mikael Tekege
Aniki
meeiboko beu, anina yokaga dana kou meeiboka manaa kouko anina ewo, kodoya ugapaka,
Ebatai piga bageko koya ebatai.
Dok TS. Itapi You, 2013 |
Tikaa meeiboka
wadoo wegai-wegai teitita manaa kouko manautouda makee wegayaa kodoya ito inii
kakade, aki epii, anii epii, aki ibo, anii iboo, akina topita dana anina topita
too tidaa tiyaake, meeiboka wegata manaa puyato kidaa teegai kodoya, itoo umii
tou dubaa kou woo gamakitouyogokoo, meeiboka wegataida kidaato dakii tidaa
kegeeka, meeiboka dimi manaa kaboudaa umii tou yuwaa, iniiya topita danitee
umitou yuwa akii gai-gai too tetai. Maakodoko kaboo wadoo umitou tiyaa yamake.
Budaya Suku Mee dalam Perkembangan Kehidupan Sosial
Posted by TANPA SUARA on Kamis, 15 Januari 2015
Oleh:
Mikael Tekege
***
“Tantangan yang kita hadapi pada saat ini dan
keperluan akan pembaharuan memaksa kita untuk
berunding, untuk bekerjasama, untuk menyesuaikan keinginan dan pikiran
kita sendiri dengan keinginan dan
pikiran orang lain” Uskup
Rudolf Staverman, OFM, November 1967)
![]() |
(Dok TS. Budaya Suku Mee) |
Budaya adalah cara berpikir, berkarya, bergaul dan bertutur
yang telah menjadi kebiasaan secara individu maupun kolektif. Dengan demikian,
budaya memuat segala aktifitas fisik maupun nonfisik (moril dan materil) yang
diaplikasikan dalam kehidupan sosial. Setiap suku bangsa tentu memiliki budaya sangat berbeda-beda yang diwariskan secara
turun temurun. Kehidupan masyarakat Papua pada umumnya dan khususnya masyarakat
suku Mee pun tidak terlepas dari budaya tersebut. Semua itu, terangkum dan
tercermin dalam aktivitas kehidupan sosial. Menurut aturan adat dan norma
sosial, ada hal-hal tertentu yang dibatasi sehingga itu tergolong kedalam perilaku
setiap individu. Perilaku juga merupakan bagian dari pada budaya tersebut,
namun lebih mengarah pada melihat baik dan buruknya aktivitas seseorang.
Sedangkan budaya dimengerti menyangkut hal-hal yang baik saja. dengan demikian,
sesuatu yang bertentangan budaya dapat digolongkan kedalam perilaku individu.
Berdasarkan budaya suku Mee yang diwariskan secara
turun-temurun, tentu memiliki metode tersendiri dalam menata kehidupan
sosial, baik itu dari segi sosial, ekonomi, pendidikan dan sistem politik serta keyakinan. semua itu merupakan
bagian daripada budaya itu sendiri. Berikut ini adalah penjelasan lebih lanjut
budaya suku Mee, di tinjauh dari beberapa segi kehidupan:
1.
Sosial
Kehidupan masyarakat suku Mee tidak terlepas dari jiwa
sosial atau rasa empati dan saling menghargai terhadap sesama manusia. Mereka
(masyarakat Mee) secara turun temurun, tidak membiarkan sesama yang lain
menderita, lapar, susah dan sakit. Hal
ini membuat masyarakat Mee bersatu dalam menghadapi persoalan yang timbul dari
dalam maupun luar. Dengan kata lain, masyarakat Mee memiliki budaya
kolektifitas, empati, humanis dan religius.
Suatu idealisme yang sangat
konkrit dan nyata untuk menjadi seorang manusia yang diakui, dihargai,
dihormati dan dikagumi yang pertama harus diperbuat dan perlihatkan adalah
kebaikan dan kebenaran bersikap. Jikalau hal pertama ini telah ditunaikan, maka
hal-hal lain akan datang menyusul. Menjadi diri sendiri adalah idealisme utama
leluhur, (Manfred Chrisantus Mote, 2013).Berdasarkan idealisme ini, leluhur
memiliki perspektif dalam kehidupannya bahwa harus menjadi yang pertama dalam
menolong dan membantu orang-orang atau sesama yang benar-benar membutuhkan
bantuan uluran tangan dari orang lain.
2.
Segi ekonomi
Masyarakat suku Mee pada umumnya
memiliki satu istilah “Keitai/Ekowai” dalam kehidupan mereka. Keitai/ekowai
merupakan suatu landasan hidup sosial yang dipegang teguh oleh masyarakat suku
Mee sebagai motivasi bagi setiap orang untuk bekerja dengan sungguh-sungguh
sesuai dengan dengan bidang pekerjaan yang ditekuninya untuk memenuhi kebutuhan
sehari-hari.Mata pencaharian masyarakat Mee pada umumnya adalah berkebun,
beternak dan kegiatan lainnya yang digolongkan kedalam kealihan masing-masing
individu.Menurut Manfred Chrisantus Mote, masyarakat suku Mee adalah masyarakat
agraris yang hidup dari kegiatan bertani dan berternak. Makanan pokoknya adalah
petatas (Notaa) dan keladi (Nomoo).
Suatu keluarga etnis Mee, menimal memiliki dua buah lahan kebun petatas
atau pun keladi. Pertimbangannya adalah jika mereka sedang mengerjakan sebuah
kebun dan hasilnya belum tua, maka sementara itu mereka memanen hasil-hasil
dari sebuah kebun yang lain.
Kepentingan pemenuhan
kebutuhan makanan tersebut, mereka
bekerja setiap hari. Dengan demikian, tidak bolah ada hari tanpa bekerja. Orang
yang tidak bekerja, tidak boleh makan atau dilarang untuk makan hasil usaha
orang lain, bahkan tidak diberi makan kepada orang yang tidak bekerja kebun,
sebab ia tidak mau makan dan itu berarti tidak mau hidup, (Manfred Chrisantus
Mote, 2013: 73). Pandangan ini memberikan dorongan bagi setiap individu agar
terus-menerus bekerja dan berusaha untuk memenuhi kehidupannya secara mandari.
3.
Pendidikan
Nota/dugi naine gapeko, tai/bugi ekowai, ekina naine
gapeko, ekina muni, naapo naine gape, naapo wei dan lain-lain. Itulah beberapa kalimat yang
disampaikan oleh orang tuah (Ayah) kepada anaknya yang tidak kerja sambil makan salah satu diantaranya yang
disebutkan diatas. Hal ini dilakukan untuk mewujudkan suatu dorongan dalam diri
anak tersebut agar ia dapat kerja kebun, pelihara ternak babi, dan juga
pekerjaan lainnya. Dengan kata lain,
jika orang tuah menginginkan anaknya mempunyai kreatifitas dalam kehidupannya,
maka harus pelit terhadap anak yang pemalas. Sedangkan anak yang rajin selalu
diarahkan agar kreatifitasnya dapat ditingkatkan.
Selain dari itu, sistem
pendidikan masyarakat suku Mee secara adat memiliki metode tersendiri dalam
proses pembelajarannya. Metode yang saya maksudkan adalah pada saat memberikan
pendidikan adat pria dan wanita dapat
dipisahkan sehingga kaum wanita diajari oleh wanita yang lebih tua (mama),
begitu juga kaum pria diajari oleh yang lebih tua (bapa). Materinya dimulai dari kasih sayang terhadap orang tua,
norma-norma yang berlaku dalam kehidupan sosial sampai dengan kemandirian
hidup. Dan dapat disesuaikan dengan perkembangan umur anak.
Disisi lain, pendidikan secara
lisan itu juga disampaikan dalam banyak bentuk, seperti yang dikatakan oleh (Manfred
Chrisantus Mote, 2013, iv) yakni melalui cerita, dongeng, mitos, hikayat,
pantun, atau dalam bentuk lagu, seperti Uga,
totauga, komauga, kotekauga, bedouyouga, yametegauwa, tuupe, gawai dan gaupeuga. Lainnya dalam bentuk nasehat, wasiat dan dalam bentuk perumpamaan
dan perbandingan, pepata dan teka-teki. Dengan pendidikan seperti itu, anak
dapat dilatih untuk menganalisis dan menangkap makna yang terkandung didalam.
Dengan kata lain, bukan hanya sebatas mendengar dan menetahui alur ceritanya
saja, melainkan menganalisis apa makna di balik itu.
4.
Segi politik dan Kepemimpinan
Suku Mee memiliki sistem politik
beserta sistem kepemimpinan dalam kehidupan sosial. Konsep politik dan
kepemimpinan tersebut dikembangkan secara alami bersama perkembangan peradaban
suku Mee itu sendiri. Konsep tersebut, yakni Tonawi/ pria berwibawa (big
man). Big man dibagi menjadi
beberapa bagian, yakni:
a.
Mana wegai/dowai Tonawi
Pada dasarnya semua orang bisa
berbicara dimana saja dan kapan saja, namun esensi dari berbicara adalah
mengetahui dan mengerti terhadap hal apa yang dibicarakan pada konteks
tersebut, dan bisa mendatangkan sesuatu yang baik. Orang yang berbicara panjang
lebar tetapi tidak mengerti dan tidak menangkap inti persoalan sama saja bohong. Oleh karena itu, yang saya
dimaksudkan disini adalah bahwa orang yang bisa memecahkan suatu persoalan yang
dihadapi oleh masyarakat. Memecahkan persoalan sebesar apapun bukan hanya sekali
saja, melainkan berulangkali dan dalam pembicaraannya akan menunjukkan perbedaan daripada pembicara yang lainnya
secara netral.
b.
Keitai/ekowai Tonawi
Masyarakat dan kerabatnya akan
mengakui sebagai ekowai tonawi ketika
seseorang menunjukkan imagenya dengan
kerja keras dalam mengerjakan suatu bidang pekerjaan yang ditekuninya. Dan
pekerjaan sebesar apapun dapat dikerjakan dalam kurung waktu singkat dan hasilnya akan berbeda dengan
orang lain atau lebih unggul ketimbang yang lainnya. Dengan kata lain, ia
memang unik dari yang lainnya.
c.
Tonawi/Yago Mee
Mendapatkan karunia tidak semudah
membalikkan telapak tangan, melainkan melalui proses dan cobaan yang amat
sangat lama sekitar 2-3 tahun lamanya.
Dengan kata lain, untuk mendapatkan karunia harus menderita dan itulah syarat
utama. Dan setelah itu ia akan mendapatkan karunia mengusir atau menyembuhkan
orang sakit (Yagomee atau tonawi).
Penderitaan tersebut antara lain, menjadi orang gila, sakit parah, anak istri menjadi korban, dan
ternak peliharaan mengalami kematian dan lain-lain. Jadi untuk mendapatkan
karunia harus melalui penderitaan amat sangat menyedikan dan setelah melalui
semua itu akan disebut kamuh tetai tonawi
atau didi beu awetai tonawi (tonawi atau orang hebat).
d.
Ekina Mege Tonawi
Ekina
tonawi
tahu bagaimana cara merencanakan, mengatur, memelihara dan mengembangkan dan
membuahkan hasil secara teratur.
Kemudian memasarkan pada saat pesta adat yang dalam bahasa Mee disebut “Yuwo”. Kemudian ada juga cara lain yang
dilakukan oleh seorang ekina tonawi
agar ternaknya tetap berkembang, yakni
memberikan atau membagikan bibit ternak babi kepada orang lain terutama
keluarga yang tidak punya atau hidup
pas-pasan “iyoo” dengan tujuan agar
mereka juga bisa memiliki ternak babi sehingga yang penting iyoo badii. Tonawi memberikan ternak babi kepada orang lain untuk
dipiara dan hasilnya digunakan untuk kepentingan dan kebutuhan mereka sendiri.
Namun, ketika memasarkan babi induk maka hasilnya diberikan kepada pemiliknya (tonawi).
Untuk
menjadi tonawi bukanlah semata-mata
disebut dan diakui sebagai tonawi, melainkan melalui pengorbanan
dan proses yang sangat panjang. Akan ada pengakuan tonawi dari masyarakat dan kerabatnya ketika masyarakat mengetahui
pengorbanan dan proses yang dilalui oleh seseorang. Ada dua cara untuk menjadi
tonawi, yakni: pertama, menjadi tonawi
melalui upaya dan usaha kerja kerasnya, seperti ekina mege/agiyo tonawi, ekowai tonawi, dan manaduwai tonawi (tonawi yang memiliki harta, kerja keras
dan pintar diplomasi); dan yang kedua, menjadi tonawi karena karunia, seperti kamu
tetai tonawi/yagome (tonawi atau orang hebat). Semua itu membutuhkan proses yang sangat panjang dan tidak
terlepas dari diyo dou (mematuhi
norma). Dari situ ada sebuah penghargaan, kepercayaan dan diakui keunggulan
atau bidangnya oleh publik karena memang dengan sendirinya ada dan tidak bisa
dipaksakan untuk mencampuri urusan orang lain. Dengan kata lain, tidak bisa
disamakan dengan orang lain, meskipun bisa tetapi hasilnya tetap akan berbeda
karena “akiya iye-iye, aki gane-gane,
akiya emoo-emoo” (bakat masing-masing).
5.
Keyakinan
Suku Mee mempunyai keyakinan
dalam kehidupan dari dahulu. Mereka meyakini bahwa ada sesuatu yang membuat,
menulis dan menciptakan segala-galanya. Hal ini dapat dilihat dari ungkapan
atau penyebutan “UGATAMEE” secara
turun-temurun. UGATAMEE (pribadi yang
menulis), EBIYATAMEE/KOMUGAYAWITAMEE
(pribadi yang menciptakan), IPABOKOUTOMEE
(pribadi yang penuh kasih) dll. Dengan demikian, orang Mee meyakini bahwa ada
pribadi yang menuliskan, menciptakan dan memberikan segala-galanya dalam
kehidupan mereka.
Berdasarkan keyakinan tersebut,
suku Mee menjalani kehidupannya atas dasar ajaran yang bersumber dari UGATAME yang kemudian dalam bahasa Mee
disebut KABOMANA, TOUYEMANA (ajaran dasar) yang diaktualisasikan dalam
kehidupan sehari-hari sebagai fondasi hidup dan diwariskan secara turun-temurun.
6.
Seni
Tarian adat pun tidak terlepas
kehidupan setiap suku bangsa di planet bumi ini yang diperbaharui sesuai dengan
perkembangan zaman yang semakin mengarahkan masyarakat ke ambang kehancuran,
akibat pengaruh global. Begitu juga dengan konteks kehidupan masyarakat suku
Mee. Ada beberapa tarian yang dimiliki
dan diwariskan secara turun-temurun. Tarian yang dimaksud antara lain, seperti
emaida (yosim), gaupe uga (pemberian nama), tegauwa, dll.
7.
Aturan Hukum Adat.
Tentunya masyarakar Mee memiliki
aturan hukum adat yang termuat
larangan-larangan atau norma-norma yang berlaku dalam kehidupan sosial.
Aturan hukum adat tersebut tidak tertulis sehingga disampai secara lisan kepada
generasi penerus agar dapat dipatuhi. Hal menarik dan unik dari aturan hukum
adat ini adalah memiliki efek atau dampak yang jelas secara alami bagi yang
melanggarnya. Menurut Manfred C Mote (2013:173), manusia etnis Mee mempunyai
hukum, norma dan aturan-aturan adat yang mengatur, mengarahkan mengendalikan,
mengawasi dan mengontrol seluruh dinamika kehidupan masyarakat.
Berdasarkan penjelasan singkat
diatas ini, dapat saya katakan bahwa tidak ada yang kurang dalam kehidupan suku
Mee. Segala-galanya telah diberikan oleh UGATAME sejak awal. Namun, itu juga harus diperbaharui sesuai dengan
tuntutan zaman untuk terus-menurus menuju prinsip-prinsip keteraturan dan etika demi membuat keteraturan dan
pilihan etika baru berdasarkan identitas asli guna mempertahan eksistensi
identitas itu sendiri. Dititik inilah
pemangkasan kekayaan sumber daya manusia (SDM) Mee agar dapat dijebak dalam
konteks kehidupan sosial yang kita hadapi saat ini dan itulah tantangan bagi
generasi muda saat ini.
Masuknya
Budaya Luar
Seiring dengan berjalannya waktu,
konteks kehidupan masyarakat suku Mee
pun mulai mengalami perubahan bersama masuknya budaya luar. Kita tidak pungkiri
bahwa budaya luar tidak semuanya buruk, melainkan ada juga yang positif
tergantung kita memfilter. Meskipun demikian, kadang budaya luar juga masuk
bersama doktrin yang sangat meyakinkan bagi masyarakat suku Mee agar dapat
diterima secara menyeluruh dan meninggalkan budaya yang ada sejak awal mula.
Sebagai masyarakat yang baru
mengenal dunia luar dengan budayanya yang merupakan hal baru bagi mereka
(masyarakat), sehingga rasa ingin mencobah pun semakin meningkat dikalangan
masyarakat suku Mee. Semakin lama semakin melupakan budaya asli, seakan-akan
tidak memiliki arti dan makna dalam kehidupan masyarakat suku Mee itu sendiri.
Hal ini diakibatkan oleh kurangnya tingkat pengetahuan masyarakat yang mampu
memfilter budaya luar yang masuk tersebut.
Masyarakat suku Mee tidak
ditolong untuk mengenal jati diri mereka sehingga terjebak dalam pengaruh
budaya baru tanpa membedahkan baik dan buruk serta benar dan salah. Akibatnya,
secara sadar maupun tidak sadar kadang kita menghina dan membenci diri kita
sendiri. Namun, kita tidak mungkin menjauhkan diri perkembangan jaman yang
semakin maju ini, sehingga yang terpenting adalah sadar akan persoalan ini, belajar dan memahami budaya asli, kemudian
budaya luar dijadikan sebagai pelangkap dalam menghadapi perkembangan jaman.
Dengan kata lain, berpikir global dan bertindak lokal.Disinilah pendidikan
berperan untuk memahami persoalan tersebut.
Pendidikan Pencucian Otak
Dewasa ini pendidikan dipandang
sebagai aspek yang sangat signifikan untuk mengubah nasib seseorang dalam
kehidupan yang sangat ketat ini. Esensi pendidikan adalah memanusiakan manusia
untuk mengembangkan potensi dirinya agar memiliki kekuatan spritual keagamaan,
pengendalian diri, kepribadian, kecerdesan, akhlak serta ketrempilan yang
diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara seperti yang tercantum dalam
UU RI No. 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional (SPN) yang bertujuan
untuk menguasai kemampuan berpikir, bersikap rasional dan dinamis serta
berpandangan luas.
Selain dari itu juga, salah satu
tujuan pendidikan yang dimaksud dalam pembukaan UUD 1945 adalah “mencerdaskan
kehidupan bangsa” tanpa memandang bulu. Meskipun demikian, realitas objektif
membuktikan semua harapan itu tidak didukung oleh implementasi yang baik, hanya
berhenti diatas kertas putih. Lebih parah lagi pendidikan di tanah Papua tidak
efektif dalam pelayanan, tenaga guru maupun fasilitas yang menunjang dalam proses
belajar mengajar.
Disamping itu, sekolah-sekolah
yang ada lebih mengarah pada kegiatan
pencucian otak para siswa/i untuk kepentingan menanamkan jati diri palsu
(ke-Indonesia-an) sebagai bagian tak terpisahkan dalam upaya pembungkaman
aspirasi masyarakat atas status politik Papua. Akibatnya banyak generasi muda
yang tidak mengetahui jati dirinya sebagai orang Papua rumpun Melanesia.
Pendidikan di negara ini terutama
di Papua mengajarkan hal-hal yang tidak pernah dibayangkan oleh siswa/i (di
Jawa ada sawa, ada kereta api, letak geografis Jawa serta iklimnya dan
lain-lain) sehingga semua keunggulan yang dimiliki di daerah seakan tidak ada
arti dan makna. Tetapi kami patut berterimakasih kepada pemerintah Indonesia
karena malalui pendidikan seperti itu kami mengetahui dan memahami apa yang
terjadi dalam kehidupan masyarakat baik pada masa lalu maupun kini dan akan
datang.
Seharusnya para siswa/i mengenyam
pendidikan secara bertahap, artinya materi pengajarannya harus disesuaikan
dengan kondisi masyarakat setempat. Misalnya, pelajaran ekonomi harus diajarkan
kondisi ekonomi masyarakat setempat, pelajaran geografi harus diajarkan kondisi
geografis serta iklimnya wilayah setempat, begitu juga dengan mata pelajaran
lain agar mudah dimengerti oleh para siswa/i, tetapi yang terjadi malah
terbalik. Pendidikan yang semesti kita dapat sejak bangku sekolah, misalnya
sosial budaya ,ekonomi, kondisi geografis, historis dan potensi lainnya yang
dimiliki daerah setempat tidak diajarkan.
Dengan tidak adanya pendidikan
seperti itu, maka para siswa/i melangkah tanpa pegangan dan fondasi yang kuat. Pendidikan berbasis
keunggulan lokal harus diajarkan kepada
siswa/i. Anak didik nantinya akan kembali ke masyarakat dan berjuang
untuk meneguhkan identitas sebagai simbol eksistensi diri dalam percaturan sosial secara aktif (Jamal
M. Asmani 2012: 98). Ketika mereka sudah mengenal potensi yang ada di
masyarakat dan akan mengelolah sebagai produk unggulan di daerah mereka.
Realitas saat ini, banyak orang
yang sadar setelah menempuh pendidikan ditingkat perguruan tinggi (PT). Tidak
mungkin seorang bayi langsung berjalan sendiri tanpa melewati proses dan
tahapan pertumbuhan. Begitupun dengan pendidikan. Pendidikan keunggulan lokal
merupakan suatu kewajiban bagi setiap orang untuk mengetahui karena itu
berkaitan dengan identitas seperti yang dikatakan oleh toko adat (Itapi You, 2013) Ogaipaka iyeeko topipena meepaka iyeeko tetopipeko akiya peka enakato
beukitama enadanii , (orang yang berpendidikan tetapi tidak tahu budaya
ibarat kehilangan mata sebelah). Oleh
karena itu, kita harus menjaga kedua mata agar kita bisa melihat dan memandang
apa yang terjadi dalam kehidupan sosial.
Devide
Ed Impera Ala Indonesia di Papua
Pemerintah memiliki tugas dan
tanggungjawab dalam menyediakan pelayanan pendidikan, infrastruktur dan
fasilitas yang menunjang dalam proses belajar mengajar. Tetapi pemerintah saat
ini lari dari tugas tersebut dan mengambil alternatif untuk keselamatan dirinya
maupun keluarganya.
Pemerintah provinsi Papua tidak
serius dalam menangani problem pendidikan yang sangat memgkhawatirkan itu. Para
pejabat pemerintah menyekolahkan anak mereka di luar Papua bahkan di luar
negeri sehingga masyarakat kecil menjadi korban. Pemerintah saat ini berpikir
secara subjektif; pikir mereka “buat apa kita perhatikan pendidikan, anak saya
sudah sekolah”. Itulah yang terlintas dibenak pemerintah daerah.
Sementara itu tenaga pengajar
pun lari dari tugas mengajar. Problem
ini merupakan hubungan kausal jika dikaitkan dengan adanya banyak wilayah
pemekaran yang tidak memperhatikan aspek-aspek yang menjadi syarat terutama
sumber daya manusia (SDM). Hal ini akan menciptakan peluang bagi tenaga
pengajar yang ada untuk berpindah panggung (dari panggung pendidikan ke
panggung politik), akibatnya generasi muda menjadi korban.
Melihat kondisi ini, tidaklah
salah atau berlebihan bila kita katakan pemerintah NKRI melalui kepanjangan
tangannya (pemerintah daerah) menerapkan politik etik dalam pola atau metode
baru yang pernah diterapkan oleh pemerintah kolonial Belanda. Politik etik yang
didalamnya ada tiga bagian: pertama, pendidikan; kedua, irigasi; ketiga,
urbanisasi. Ketiga pokok penting ini dijadikan sebagai argumen pemerintah
Belanda untuk mengembangkan isu ditingkat internasional bahwa pemerintah
benar-benar memperhatikan masyarakat Indonesia.
Dari sisi pendidikan, kondisi
objektif dilapangan membuktikan bahwa yang bisa menganyam pendidikan hanya
golongan priyayi atau mereka yang secara sukarela menyatakan tunduk dan bekerja
sama dengan pemerintah Belanda. Begitu juga dengan kondisi pendidikan di provinsi
Papua saat ini. Pemerintah pusat menciptakan ketergantungan pemerintah daerah
Papua pada pusat. Sementara pemerintah daerah sendiri bingung antara perintah
dengan aspirasi atau kasarnya antara hidup dan mati. Konteks inilah yang
membuat pemerintah daerah mencari keselamatan sendiri, sementara masyarakat
menjadi korban.
Pembaharuan
Identitas Tugas “Generasi Muda”
Penjajahan secara produktif dalam
cara berpikir telah dilakukan terhadap bangsa Papua melalui serangkaian teori
dan pendekatan politik budaya yang deskriminatif , diperaktekan masif dalam
kerangka pembangunan masyarakat tertinggal. Maka tidak heran citra Papua yang
lahir kemudian adalah tidak berbudaya, bodoh, terbelakang, terasing, barbar, (I
Ngurah Suryawan, 2013). Semua stigma tersebut merupakan bagian dari upaya
pembunuhan karakter sekaligus budaya agar masyarakat Papua pada umumnya dan
khususnya suku Mee melupakan identitas mereka dan dapat digantikan dengan
identitas palsu.
Semua itu sengaja dilakukan oleh
negara melalui sistem maupun aktifitas kesehariannya masyarakat Papua pada
umumnya dan lebih khusus masyarakat Mee dapat dikendalikan dengan mudah sesuai
dengan kehendak negara. Oleh karena itu, tidak salah dan berlebihan jika saya
mengatakan bahwa masyarakat Papua saat ini diperbudak melalui sistem.
Kehidupan sosial dewasa ini
masyarakat Papua pada umumnya dan khususnya masyarakat Mee dituntut untuk
berpartisipasi dalam memaknai perkembangan jaman semakin pesat ini, dan itulah
suatu keharusan bagi setiap individu. Namun, kadang orang Papua pada umumnya
dan suku Mee melangkah tanpa dasar yang kuat sehingga mudah terdoktrin dengan
pengaruh yang berusaha mengarakan masyarakat pada ambang kehancuran. Konteks
bukanlah sebuah kebetulan, melainkan kesengajaan secara sistematis. Problem inilah
yang membuat masyarakat Papua pada umumnya dan khususnya masyarakat Mee untuk
menggali identitas aslinya agar dapat memperbaharui dan disejajarkan dengan
perkembangan jaman saat ini.
Persoalan ini akan dijawab oleh
kesadaran dan kepedulian masyarakat Papua pada umumnya dan khususnya masyarakat
Mee terutama generasi muda untuk merespon. Dengan demikian, secara
perlahan-lahan, masyarakat Mee akan dapat menemukan identitas aslinya dan dapat
diperbaharui sesuai dengan perkembangan jaman.
Aku Sang Liar
“ASLI”
Ujung-ujungnya Minta Kelamin
Posted by TANPA SUARA on Kamis, 08 Januari 2015
![]() |
(Ilustrasi, Google.com) |
Tulisan ini
sebagai sebuah komentar atas Opini tentang Aiwa
yang ditulis oleh saudari Maria Ferawati
Magai, yang diposting di blog
pribadinya. Saya sangat tertarik dengan opini tersebut, karena jarang generasi
muda saat ini berbicara tentang hal ini sehingga terjerumus ke dalam perilaku
buruk sekali pakai.
Sebelumnya,
mohon maaf.....!!!!!
Saya mencobah melihat persoalan perilaku buruk sekali pakai ini dari kaca
mata budaya suku Mee yang kini hampir punah akibat tidak dilestarikan, bahkan
dianggap kuno dan primitif oleh generasi kita saat ini. Ada sebuah buku yang
ditulis oleh generasi muda Papua yang dibagian tertentu menuliskan tentang
penindasan pria terhadap wanita Papua, khusus suku Mee dengan menggunakan teori
Feminim dan Undang-Undang yang dibaut oleh negara ini.
Isi buku dibagian itu, mengecam habis-habisan terhadap kebiasaan suku Mee.
Sebenarnya, kebiasaan itu menurut saya sangat baik, tetapi kita salah artikan
dan salah maknai dalam kehidupan kita saat ini sehingga dianggap sebuah
penindasan yang perlu diakhiri. Jika opini dari saudari Maria ini ditulis
berdasarkan teori di buku tersebut, pasti argumen saya ini akan dianggap
primitif dan kuno sehingga sulit dimengerti dengan akal sehat.
Saya secara pribadi, sepakat bahwa aiwa
itu adalah perilaku buruk yang merendakan harkat dan martabat manusia, tetapi yang kadang menjadi pertanyaan adalah
siapa yang bicara dan siapa yang mendengar? Karena kadang pria dan wanita menjadi pemain dalam hal ini.
Wanita dijadikan sebagai barang mainan oleh pria generasi muda dengan menggunakan aiwa, wanita Papua juga
dijadikan sebagai virus yang mematikan bagi pejuang nasip hidup orang Papua
oleh negara.
Disamping itu, kadang juga wanita memiliki perilaku sekali pakai untuk
memenuhi kebutuhan biologis, tanpa disadari antara perbuatan melanggar norma
dan sesuai norma dan kadang wanita juga
sering menggunakan aiwa. Kita bicara
SDM ternyata, kita (pria dan wanita) sendiri yang menjadi penghancur SDM,
negara dengan kepentingannya bertepuk tangan.
Katanya cinta tanpa ABCD (Ade atau Abang) adalah percuma, alias UJUNG-UJUNGNYA MINTA
KELAMIN (The Panas Dalam).
Sebenarnya wanita adalah lambang kegagahan seorang pria, dan wanita juga
adalah pelindung seorang pria dalam menghadapi tantangan hidup. Dengan kata
lain, dibalik seorang pria yang gagah pasti ada seorang wanita. Namun, dewasa
ini kita baik pria maupun wanita salah
maknai semua itu sehingga hidup menjadi kacau.
Jika kita melihat dan mempelajari kembali kehidupan generasi pendahulu,
pasti kita akan mendapatkan arti sebagai seorang pria dan wanita. Para
pendahalu, tidak perna sekolah tetapi mereka mampu mengartikan semua itu dengan
membagi tugas dan fungsinya yang jelas dalam keluarga maupun dalam komunitas
mereka.
Generasi kita sekarang hidup dalam serba bebas sehingga bisa melakukan dan
membuat apa saja sehingga semua hasil karya pemikiran pendahulu dianggap
sebagai sesuatu yang primitif dan kuno bahkan lebih sadisnya lagi dianggap
sebagai sebuah penindasan. Argumen tersebut bagi para wanita didukung dengan
program Keluarga Berantakan (KB) dan juga gerakan Feminim, sehingga membenci
hasil pemikiran pendahulu.
Ada satu istilah yang digunakan oleh generasi pendahulu yakni “NAIMA MAGIMA TOO MAA”. Istilah ini kita
generasi muda saat ini salah maknai sehingga terjerumus kedalam perilaku sekali
pakai. Sebenarnya istilah ini digunakan oleh generasi tua sebagai sebuah
motivasi bagi generasi muda pada saat itu. Karena pada saat itu, secara adat
sangat dilarang keras melakukan hubungan
diluar nikah dan efeknya jelas bahwa umur akan pendek.
Menurut aturan adat, sebelum nikah perlu memenuhi syarat yang telah
ditentukan, diantaranya, memiliki rumah sendiri (owa migiyawi), memiliki kebun sendiri (tai tiyawi), hidup mandiri (akikidi
bidaakai/peteekai), pintar wiraswasta (edep
ede epii kai), koudokou teki-teki
timakiyake waka bukii/wegai ( semua itu sudah siap baru bisa menikah). Bagi
yang tidak memenuhi syarat tersebut tidak bisa menikah. Oleh karena itu, istilah
NAIMA MAGIMA TOO MAA, sebagai
motivasi bagi generasi muda agar segera melengkapi syarat tersebut diatas.
NAIMA, artinya kamu
harus bekerja (owa migiyawi, tai tiyaawii, edepede epiikai) dan hasil kerja itu
dapat dinikmati sendiri sekaligus memenuhi istilah MAGIMA. Dengan kata lain, sebelum menikah harus
dipersiapkan semua syarat itu, supaya mampu menjamin dan menghidupi keluarga
anda secara mandiri, atau istilah yang digunakan oleh para pendahulu adalah EPAIYE PETEE AWIYAKE WAKA BUKII.
Sebenarnya arti istilah NAIMA MAGIMA
secara garis besar seperti itu, tetapi
generasi muda dewasa ini mengartikan bahwa setelah nota/dugi nai, selanjutnya
magii sehingga tidak heran jika banyak penjahat kelamin bermunculan
disertai dengan penyebaran virus yang sangat mematikan (AIDS) sehingga banyak
pria dan wanita usia produktif yang meninggal sia-sia. Disisi lain, kaum hawa
menyerahkan keperawanannya demi cinta yang kadang tidak jelas sehingga menjadi
korban, lebih sadisnya lagi sudah di kasih hamil tetapi tidak bertanggungjawab
sehingga melakukan aborsi.
Nogeima, ogeuwauma wae, menurut pendeta dan pastor aborsi adalah perbuatan dosa karena membunuh
nyawa manusia yang tak berdosa. Nogeima,
iniii berdosa karena melakukan
hubungan diluar nikah dan tidak bertanggungjawab dan ogeuwauma
wae, ikii berdosa dua kali lipat
karena telah melakukan hubungan diluar nikah sekaligus melakukan aborsi. Jadi,
pria dan wanita sama-sama saling menguntungkan dalam hal melakukan sebuah wujud dosa.
Semua yang kita lakukan itu sebagai bukti bahwa, kita tidak menghargai para
pendahulu sekaligus membenci dan melanggar aturan hukum adat. Hal ini secara
tidak langsung kita mendukung agenda negara yang menjajah kita. Negara lepas
tangan, karena tanpa disadari agenda negara
kita sudah ambil alih, saling jajah antara pria dengan wanita.
Akibatnya, SDM tidak tercapai sesuai harapan, produksi manusia berkurang,
meningkatnya angka kematian balita. Dalam kondisi tersebut program KB muncul,
lengkap sudah pintu menuju maut.
Para orang tua di kampung, mengatakan topita
kidiya/kodoya, dimiki/ko beu
kikeyi/koukoyi (orang terpelajar tetapi pikirannya nol), ito kakadekaa yokaido epepitee epi tope
taipiga, mee magi kou topeteno, maida duwaine, (generasi muda jaman
sekarang tidak perna belajar baik, belajar hanya pacaran dan putus ditenga
jalan). Ternyata, pemikiran pendahulu yang kita anggap primitif itu lebih
bermanfaat dari pada pemikiran dan perilaku kita sekarang ini.
Kita generasi muda saat ini, dalam hal cinta menggunakan rumus. I = Y + Y = M/1
x = A . I, artinya Ideakaate
(pacaran), Y, Yame (Pria) dengan Y, Yagamo (Wanita), M, Magi (berhubungan), 1 x, kabona/kigena
(satu kali), dan A, Akayaiki (baku
lepas). Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pria dan wanita berpacaran dan
melakukan hubungan sekali kemudian baku lepas.
Saya minta
maaf (ipanayaikai) jika rumus ini
salah, karena saya bukan ahli atau jurusan matematika, bahkan matematika adalah
mata pelajaran yang saya paling benci sewaktu sekolah, tetapi berdasarkan realitas yang terjadi, maka saya menuliskan rumus ini.
Nogeima daana ogeuwauma wae, sekarang kita salahkan siapa? Apakah Tuhan, orang tua, diri kita, agama
atau Jokowi? Bagi yang merasa perlu menjawab pilihan diatas, silahkan memilih
jawabannya yang sudah tersedia diatas.
Demikian,
komentar saya. Maaf jika ada kata yang salah dalam penulisan ini.
Hidup Perempuan
Papua........yang sadar dan yang tidak
memiliki perilaku sekali pakai, tidak rebonding rambut, tidak membenci dirinya yang hitam dan
keriting rambut dan yang mengerti tugas dan tanggungjawabnya sebagai perempuan
sesuai dengan adatnya.
Hidup Pemuda
Papua........ yang sadar akan hal itu, tidak nikah silang, mengerti tugas dan
tanggungjawab sebagai laki-laki sesuai dengan adat. Terkutuklah para PENJAHAT
KELAMIN, baik pria maupun wanita. Trims..............!!!!!!
Aku Sang Liar
“ASLI”