JDP bukan Faksi Perjuangan Politik Papua Merdeka


(Logo JDP.www.google,com)




Oleh: Mikael Tekege



Sebelumnya saya harus mengakui bahwa saya bukan orang JDP. Saya juga bukan orang yang mendukung pemerintah Indonesia yang menjajah dan menindas orang Papua sekian lama ini. Saya termasuk orang yang merindukan bangsa Papua menentukan nasib sendiri di atas tanah warisan leluhurnya sendiri.

Dalam posisi saya seperti yang telah dituliskan di atas ini, saya ingin menanggapi wacana dialog yang sedang diperbincangkan di berbagai media. Meski saya tidak memiliki kapasitas dalam hal ini, tetapi sebagai orang Papua yang turut korban dalam berbagai kejahatan kemanusiaan di Papua, maka saya ingin menanggapi wacana ini.

Intinya perdebatan atau pro-kontra dalam upaya penyelesaian persoalan politik kita itu merupakan bagian dari dinamika perjuangan. Yang penting kita  tanggapi secara sadar, kepala dingan (menggunakan otak, bukan otot).  Kecuali wacana itu demi memperkuat hegemoni Indonesia dan capital global, tentu kita tolak.

Kembali kepada wacana dialog, dari sekian banyak perdebatan diberbagai media, terutama tanggapan kritis yang ditulis oleh bapak Ibrahim Peyon, tentu kita beri apresiasi karena selain sebagai tanggapan juga sebagai upaya mendidik kepada kita generasi muda Papua tentang bagaimana menanggapi berbagai isu dan wacana yang berkembang terkait perjuangan politik kita secara kritis.

Karena selama ini, setiap wacana kita tanggapi hanya sebatas buat status di face book (fb), atau meminjam istilah kakak Agus Dogomo, generasi muda Papua menjadi aktifis fb, tetapi sebenarnya cara menanggapi wacana dan isu yang berkembang secara kritis dan analisis yang tajam seperti yang ditunjukkan oleh bapak Ibrahim Peyon patut kita mencontoh.

Hal ini menurut saya penting demi mengelola emosi kita yang tidak terkontrol selama ini. Emosi memang tidak bisa dipersalahkan, karena kita memang telah lama hidup dalam penjajahan, penindasan, dan penderitaan serta ketidakadilan. Tetapi sadarkah kita, emosi itu membuat kita korban di atas korban, begitu emosi masih kita pertahankan dan menanggapi isu dan wacana soal perjuangan hanya sebatas buat status di fb, tetapi tidak ada yang menanggapi.

Emosi kita dan tanggapan kita di media social selama ini hanya memberikan peluang dan kesempatan kepada musuh untuk mengadu domba kita. Untuk itu, mari kita rubah cara menanggapi setiap wacana dan isu tentang perjuangan politik Papua merdeka ini, sebagaimana yang ditunjukkan oleh bapa Ibrahim Peyon ini dari sudut pandang kita masing-masing.

Berikut ini tanggapan saya atas wacana dialog sekaligus menanggapi opini bapak Ibrahim Peyon yang dimuat di Suara Papua, edisi 30/8/2017 dengan judul: Dialog Jakarta-Papua Agenda Menghancurkan ULMWP dan Dukungan Internasional.

JDP bukan Faksi Perjuangan

Tentu sudah diketahui bersama bahwa coordinator Jaringan Damai Papua (JDP) adalah Pater Dr. Neles Tebay, sementara di LIPI koordinatornya adalah alm Muridan S. Widjojo ini hadir dalam situasi yang sangat memperihatinkan atau darurat kemanusian, penindasan dan penderitaan yang dihadapi oleh masyarakat Papua sejak dianeksasi ke dalam Indonesia.

JDP bersama LIPI mendorong dialog damai Jakarta-Papua dan telah melakukan berbagai upaya untuk mendapat dukungan, baik dari pemerintah Indonesia maupun rakyat bangsa Papua sebagai dua pihak yang telah dan sedang bertikai  bersadarkan pandangannya tentang Persoalan Papua sebagai mana ditulis dalam buku Papua Road Map. Persoalan tersebut dikelompokkan ke dalam empat bagian, yakni: 1) Status Politik Papua; 2) Pelanggaran HAM berat; 3) Peminggiran Rakyat Papua; dan 4) Kesenjangan Ekonomi. JDP memiliki Latar belakang, maksud dan tujuan yang jelas bahwa sebagai MEDIATOR atau Fasilitator yang memediasi kedua belah pihak yang sedang bertikai.

Dalam posisi JDP sebagai Mediator/Fasilitator, jelas bukan menjadi perwakilan rakyat Papua, dan bukan juga menjadi perwakilan Indonesia. Melainkan JDP hanyalah alat yang berusaha mempertemukan kedua belah pihak yang sedang bertikai, yakni Rakyat Papua dan pemerintah Indonesia dengan menghadirkan pihak ketiga yang netral juga diliput oleh berbagai media.

Setujuh dan tidaknya untuk berdialog kembali kepada kedua belah pihak. Kalau pemerintah Indonesia (Joko Widodo) menunjuk Pater Dr. Nelas Tebay untuk mempersiapkan agenda Dialog, tetapi masyarakat Papua menolak, otomatis JDP tidak berhak memaksa rakyat Papua untuk berdialog dengan Indonesia. Begitu juga JDP (Pater Dr. Neles Tebay) tidak boleh memaksa pimpinan ULMWP dengan memanfaatkan kedekatan budaya dan kekerabatan sebagaimana ditulis oleh Bapak Ibrahim Peyon, meski bisa seperti itu, tetapi menurut saya sangat tidak logis, karena ini bukan bicara soal kebudayaan dan kekerabatan satu keluarga, suku atau wilayah adat tertentu,melainkan berbicara soal nasib hidup bangsa Papua di atas negeri Papua ini.

Apa lagi soal dialog sektoral yang berbicara seputar sebab-sebab  dari akar persoalannya. Dialog sektoral jelas tidak akan pernah menyelesaikan persoalan Papua, sehingga orang Papua harus tolak. Dialog secara holistic pun tanpa paksaan, sekali lagi Indonesia ingin berdialog, tetapi rakyat Papua tolak, atau sebaliknya, tentu tetap tidak dilakukan dialog. Esensinya, soal dialog kembali kepada para pihak.

Opini Bapa Ibrahim Peyon dan Perjuangan Kita

Saya secara pribadi sangat apresiasi dan menghormati dengan opini bapak Ibrahim Peyon dengan judul: Dialog Jakarta-Papua Agenda Menghancurkan ULMWP dan Dukungan Internasional.  Tulisannya sangat kritis, analisisnya tajam dan luas serta kaya dengan data. Memang kita di Papua butuh akademisi yang kritis dan berani berbicara demi rakyat tertindas yang tak berdaya ini.

Karena, seperti juga bapak Ibrahim tahu bahwa, di Papua banyak akademisi yang memiliki gelar yang tak tertandingi dengan para ilmuwan di Eropa,tetapi mereka tutup mulut, mereka hanya mampu menjadi jenius dibalik meja, mereka berpihak pada para penguasa yang menindas atau mungkin mereka tidak mampu bersikap seperti bapak, serta mungkin mereka tidak memiliki kapasitas dalam hal menulis secara kritis, entalah…!!!

Esensinya bapak Ibrahim Peyon hebat dan harus terus berkarya demi rakyat Papua yang telah lama hidup dalam penindasan dan penderitaan agar suatu kelak rakyat Papua bisa bebas dan menentukan nasibnya di atas negeri mereka sendiri. Namun, ada beberapa hal yang menurut saya perlu digaris bawahi dalam menanggapi setiap wacana dan isu tentang persoalan politik kita, yakni:

Pertama, segala sesuatu yang bertolak belakang dengan keinginan dan tujuan perjuangan politik kita harus ditolak, tetapi perlu dipisahkan  antara hal yang perlu dibicarakan dan yang tidak perlu dibicarakan di media. Karena memang tanggapan kita bagus tetapi, bisa saja menjadi pelajaran atau masukan bagi lawan untuk menghancurkan perjuangan kita ke depan;

Kedua, sebagaimana ditulis di atas, dialog tidak bisa dipaksakan atas nama apa pun dan dengan alasan apa pun, baik oleh JDP mapun oleh pemerintah Indonesia, karena soal dialog tergantung kedua belah pihak (Jakarta dan Rakyat Papua);

Ketiga, dalam kapasitas kita yang demikian, pembicaraan kita tentu akan mempengaruhi opini public sehingga sebelum publikasi, ada baiknya jika diskusi dengan pihak-pihak yang bersangkutan, apa lagi sama-sama cendekiawan bahkan sama-sama akademisi, juga sama-sama orang Papua;

Keempat, pemanfaatan kesamaan budaya dan hubungan kekerabatan ini memang bisa saja begitu, tetapi kita harus paham bahwa perjuangan politik ini soal nasib masa depan rakyat bangsa Papua, bukan untuk budaya, kekerabatan atau suku tertentu;

Kelima, gerbong kita boleh berbeda, tetapi tujuan kita sama, latar belakang kita boleh berbeda, tetapi tujuan kita sama, maka perlu untuk kita harus saling memahami, saling menghormati dan saling menghargai.

Saya tidak merujuk pada hal tertentu yang bapak tanggapi, karena setelah bapak baca tulisan ini, saya yakin pasti bapak Ibrahim paham bagian mana yang digaris bawahi dan menjadi bahan refleksi dalam hal menulis secara kritis ke depan.

Beberapa hal di atas ini semoga menjadi bahan refleksi buat kita ke depan dalam menanggapi setiap wacana serta isu terkait perjuangan politik kita (bukan hanya Dialog), baik secara lisan maupun secara tertulis agar kita dapat merawat, mendorong dan mendukung dinamika perjuangan rakyat bangsa Papua yang sedang menuju pintu kebebasan ini.

Penutup

Bebas, lepas dan merdeka dari berbagai penderitaan dan penindasan setidaknya sudah menjadi harapan dan tujuan kita bersama. Perjuangan politik kita melalui berbagai cara harus tetap dilanjutkan. Pro dan kontra dalam perjuangan itu soal biasa, yang penting kita menggunakan otak. Segala sesuatu yang bertentangan dengan harapan dan tujuan perjuangan politik kita, harus kita tolak, baik yang melibatkan orang Papua maupun Jakarta.

Demikian tanggapan saya. Sekian dan Terimakasih. Tuhan menyertai kita sekalian yang mewartakan firmannya di gubuk-gubuk derita.

Baca Juga Berita Terkait

Tidak ada komentar:

Leave a Reply