Mereka Ingin Berdamai dengan Terik Matahari



(Pasar Mama-mama Papua di Jayapura yang sedang dibongkar untuk renovasi, Foto:Dok/TS)

Siang itu, di Jayapura,  sekitar pukul 9.29 WIT, Senin 24/8/2015. Panas matahari membakar kulit bumi. Banyak orang berlalu-lalang dan menyibukkan diri dengan aktifitas masing-masing. Ada yang berpakaian dinas yang sibuk dengan urusan kantor, ada yang berjualan, dan banyak aktifitas lainnya. Dalam konteks demikian, ada yang menarik perhatian saya pada saat itu, ada sekelompok orang yang menyibukkan diri dengan aktifitas yang mengundang banyak pertanyaan dalam benak saya.

Sejumlah pertanyaan itu pulalah yang mengundang saya untuk mendekati kepada kelompok orang itu. Mereka membongkar satu bangunan beratap terpal berwarna putih sambil mengangkat dan memindahkan sagala isinya. Mereka terlihat semangat, bukan sedih. Mereka mengangkat barang mereka dengan semangat dan penuh harapan hingga tiada kata marah, sedih bahkan mereka dengan gagah berani menentang panasnya matahari di siang itu.

Saya memperhatikan mereka dengan penuh tanya, namun tak layak melontarkan sejumlah pertanyaan ini, karena akan mengganggu pekerjaan mereka di siang hari itu. Saya mengikuti mereka dari belakang. Tak jauh dari tempat yang mereka bongkar, sebelah kanan jalan, tepat di sebuah tempat yang disediakan untuk parkiran kendaraan roda dua maupun roda empat. Di situ mereka letakkan dan kumpulkan semua barang bawaan mereka.

Pertanyaan dalam benak saya semakin banyak, hingga tak kuasa menahan pertanyaan ini, dorongan batin memaksa saya untuk mempertanyaan kenyataan ini, tetapi saya berusaha menahan pertanyaan ini hingga aktifitas atau kesibukan mereka berkurang. Kesibukan mereka memindahkan barang-barang telah memakan waktu cukup lama, sekitar 2 jam hingga selesai, tetapi kemudian tempat baru itu tidak mencukupi untuk memenuhi barang bawaan mereka. Hingga kini suasanapun mulai beruba, bukan lagi semangat, tetapi mereka saling marah antara satu sama lain, memperebutkan tempat tadi untuk menempatkan barang bawaan mereka. Mereka adalah mama-mama Papua. Mama-mama ini memindahkan barang-barang dan fasilitas jualan yang mereka miliki.

Namun, tempat baru itu sangat sempit hingga tak memenuhi semua mama-mama ini. Mereka baku marah memperebutkan tempat yang sempit ini. Saya merasa kesempatan inilah, sangat tepat untuk mengeluarkan sejumlah pertanyaan yang ada dalam benak saya  yang harus mendapatkan jawaban yang pasti. Saya berusaha mendekati mereka dan melontarkan pertanyaan kepada beberapa mama-mama Papua. demikian percakapannya:

Mama, mengapa tempat itu dibongkar dan memindahkan semua barang ini?

Tanpa ragu dan penuh harap, salah seorang mama mulai menjawab, tempat itu akan dibangun dan direnovasi oleh pemerintah sehingga sementara kami berjualan di tempat ini selama dua bulan kedepan, setelah tempat tadi sudah dibangun lalu kami kembali. Kami sangat senang, pemerintah sudah mulai memperhatikan keluhan kami. Mereka akan membangun pasar bagi kami sehingga kedepan kami bisa berjualan di tempat yang bagus.

Mengapa selama dua bulan itu berjualan di tempat parkiran yang sangat sempit ini, apakah tidak ada tempat lain yang lebih layak untuk berjualan?

Dengan lantang dan spontan bahkan dengan semangat, mereka menjawab, anak, itu bukan menjadi masalah. Yang penting pemerintah membangun pasar yang layak bagi kami agar kami bisa berjualan hasil kebun kami agar kami dapat memenuhi kebutuhan hidup kami serta membiayai anak-anak kami yang sedang dan akan menganyam pendidikan. Jadi waktu yang di berikan oleh pemerintah, kami terima dengan senang hati.

Bagaimana semua mama-mama bisa berjualan, sementara tempat berjualan sangat sempit?

Memang benar anak, tempat sangat sempit tetapi kami berusaha mengatur tempat ini agar kami semua berjualan ditempat ini salam dua bulan. Ininya kami hanya berjualan ditempat ini hanya dua bulan saja. Pemerintah akan membangun dalam dua bulan ini sehingga kami bisa berjualan dengan baik.

Tempat ini tidak ada atap untuk mama-mama bisa berlindung dari panas matahari, apakah mama-mama mampu bertahan untuk berjualan di bawah terik matahari?

Ah, anak, soal itu sudah biasa bagi kami, sejak dulu hingga kini kami biasa berjualan di tempat-tempat seperti ini. Mama-mama sendiri yang biasanya memiliki payung untuk berlindung dari panas matahari dan hujan. Apa lagi inikan hanya dua bulan saja, itu waktu yang sangat singkat bagi kami, karena pasar baru bagi kami akan dibangun, kami senang, bahkan enam bulan pun kami bisa bertahan, yang penting pasar dibangun oleh pemerintah.

Salah seorang mama ditengah kesibukannya, memperhatikan saya sedang berbincang dengan beberapa mama-mama hingga menghampiri kami. Mama ini langsung mengatakan kepada mama-mama tadi, “Sudah tra usah kasih tau, nanti mereka jadi pejabat juga tra mungkin mereka perhatikan perjuangan kita untuk pembangunan pasar ini. Sekarang yang jadi pejabat ini juga kan anak kita, yang keluar dari rahim kita, kita membesarkan mereke, kita membiayai pendidikan buat mereka, sekarang apa yang mereka buat untuk kami?” Sungguh, saya tidak bisa bahkan tidak mampu menanggapi pertanyaan ini,  saat itu saya hanya bilang, mama, mohon maaf. Karena memang benar apa yang dikatakan oleh mama ini, akhirnya saya akhiri pertanyaan saya sampai di sini.
***
Saat ini, mama-mama Papua sedang menunggu berlalunya dua bulan yang dijanjikan oleh pemerintah ini. Dua bulan ini, terhitung sejak bulan September hingga Oktober 2015 ini. Mudahan-mudahan, saat ini pasarnya sedang dibangun atau mungkin hampir selesai agar mama-mama Papua ini bisa berjualan di pasar yang layak seperti orang-orang pendatang. Di saat itulah, perlawanan mama-mama Papua terhadap terik matahari dan hujan diakhiri dan/atau berdamai. Semoga..........!!!

Perjuangan Mama-mama Papua

Mama-mama Papua, sejak dulu hingga kini terus memperjuangkan dan mendesak pembangunan pasar yang layak kepada pemerintah daerah Provinsi Papua agar dapat memasarkan hasil kebun demi memenuhi kebutuhan  hidup mereka. Perjuangan mereka dilakukan melalui berbagai macam cara, baik aksi demonstrasi, jumpa pers, dan sebagainya. Setiap kali aksi mereka (mama Papua) selalu membawa satu aspirasi dan tuntutan yang sama, yakni “pemerintah harus bangun pasar bagi kami.”

Tuntutan pembangunan pasar ini lahir dari realitas dominasi ekonomi yang dilakukan oleh kaum pendatang. Pasar-pasar yang tersedia, dipenuhi oleh kaum pendatang hingga tidak ada tempat yang tersedia bagi mama-mama Papua untuk berjualan, bahkan mereka berjualan di pinggir jalan beralaskan karung plastik, beratap langit, dibawah terik matahari, hujan dan keringat membasahi sekujur tubuh mereka. Mereka tak kuasa mengatur pasar yang telah dikuasai ini. Tuntutan mereka tidak direspon hingga saat ini, namun mereka tidak mengalah dengan konteks ini hingga tetap berjualan hasil kebun dipinggir jalan melawan matahari dan hujan.

Yang lebih mengesankan lagi, orang-orang yang dibiayai dan dibesarkan melalui hasil keringat mama-mama Papua ini yang kini menduduki kursi legislatif dan eksekutif, tetapi mereka lupa dengan pengorbanan dan jasa mama-mama Papua ini, bahkan tuli dan bisu dengan konteks itu. Mama-mama Papua tetap berpegang pada komitmen, bahwa tuntutan pembangunan pasar kepada pihak berwajid tetap akan berjalan dan tetap berjualan di tempat seadanya, seakan-akan mereka ingin mengatakan dengan hati: 

“Kami sangat cape, setiap kali aksi menyampaikan aspirasi yang sama, kini kami ingin ada orang yang datang memdengarkan langsung tentang keluhan kami agar dapat dipenuhi, yakni membangun pasar bagi kami. Kami telah melahirkan anda, kami telah membesarkan anda, kami telah membiayai pendidikan anda bersama pengorbanan, bersama kucuran keringat, bersama beban penderitaan, tetapi mengapa engkau bisa melupakan semua pengorbanan dan perjuangan itu?” 

Mungkin itulah pertanyaan mendasar yang selalu ada dalam hati mama-mama Papua yang hingga kini belum terjawab. (TS/ASLI).

Baca Juga Berita Terkait

Tidak ada komentar:

Leave a Reply