Hilangnya peradaban suatu bangsa bukan karena masyarakatnya
meninggal ditembusi tima panas atau dijebak dalam konteks hidup tertentu demi
kepentingan kekuasaan, ekonomi, dan politik negara. Tetapi akibat kepentingan
dan pengaruh global yang mengarahkan masyarakat pada ambang kehancuran. Orang
Papua boleh mati dengan cara apapun, tetapi peradaban orang Papua harus
diselamatkan demi keselamatan generasi mendatang, (Ipou Igo’n, 2015)[1]
[1]
Materi ini direkonstruksi dari yang sebelumnya disampaikan pada
saat seminar budaya yang dilaksanakan oleh Ikatan Pelajar dan Mahasiswa Nabire,
Paniai, Dogiyai dan Deiyai (IPMANAPANDODE) Daerah Istimewa Yogyakarta.
Oleh: Mikael Tekege
Orang membangun suatu
bangunan, berdasarkan fondasi yang kuat agar tetap berdiri kokoh. Begitu juga
dengan dinamika hidup manusia dalam menjalani kehidupan berdasarkan fondasi
(budaya) tersebut. Budaya adalah cara berpikir, berkarya,
bergaul dan bertutur yang telah menjadi kebiasaan secara individu maupun
kolektif. Dengan demikian, budaya memuat segala aktifitas fisik maupun nonfisik
(moril dan materil) yang diaplikasikan dalam kehidupan sosial. Setiap suku bangsa
tentu memiliki budaya yang berbeda-beda, diwariskan secara turun temurun.
Kehidupan masyarakat Papua pada umumnya pun tidak terlepas dari budaya
tersebut. Semua itu, terangkum dan tercermin dalam aktivitas kehidupan sosial.
Menurut aturan adat dan norma sosial, ada hal-hal tertentu yang dibatasi
sehingga tergolong ke dalam perilaku individu. Yang dimaksud dengan perilaku
individu adalah sesuatu yang tidak sesuai dengan tata nilai dan norma yang
berlaku dalam kehidupan sosial, seperti mencuri, melakukan tindakan asusila dan
sebagainya. Sedangkan budaya dimengerti menyangkut hal-hal yang baik saja.
Saat ini fondasi orang Papua
pada umumnya telah rusak hingga terjadi perpecahan dalam kehidupan sosial.
Pemerintah telah berhasil menciptakan ketergantungan masyarakat melalui
Undang-Undang Otonomi Khusus (Otsus), Unit Percepatan Pembangunan Papua dan
Papua Barat (UP4B), Pemekaran wilayah administratif dengan kucuran dana
triliunan rupiah ,sehingga budaya kerja bagi masyarakat asli Papua sudah tidak
ada, kolektifitas masyarakat Papua semakin degradasi, konflik antar kelompok
akibat politik aduh domba terjadi dimana-mana hingga mengorbankan harta benda
bahkan nyawa masyarakat Papua. Segala sesuatu yang dilarang oleh adat dan
budaya, kini dilegalkan hingga mengutuk dan melabeli tanpa disadari bahwa
sedang membenci dan melabeli dirinya sendiri. Namun, belum terlambat atau masih
ada harapan bila kita menyadari dan melakukan upaya-upaya yang memutus mata
rantai ketergantungan, tetapi lebih parah bagi masyarakat yang berada disekitar
perusahan, seperti Timika. Lahan yang bisa mereka garap telah menjadi tempat
pembuangan tailing/rimba. Sementara masyarakat dimanja dengan dana sisa dari
perusahaan.
Dalam konteks seperti diatas ini, di
Papua togel, minuman keras (Miras), penyakit HIV/AIDS muncul ditengah
masyarakat hingga merusak tatanan hidup orang papua. Togel adalah metode
sistematis yang dilakukan oleh negara untuk membiarkan masyarakat Papua menjadi
pragmatis, karena yang memegang bandar adalah TNI dan Polri yang menegakkan
hukum serta mengayomi masyarakat pada umumnya (saat ini papua berantakan). Kita
hendaknya mendapatkan uang melalui usaha dan banting tulang, daripada
mendapatkan uang tanpa usaha karena yang dibutuhkan dalam perjuangan hidup
adalah “proses” bukan hasil. Sepuluh atau dua puluh (10-20) tahun kedepan di
Papua akan terjadi fakir miskin yang paling parah, karena kita salah memaknai
kasih. Kasih memang sudah menjadi bagian dari kehidupan kami, sehingga yang
perlu dipikirkan adalah kapan dan untuk apa anda kasih, karena kasih itu juga
menindas orang Papua sendiri.
Aku Papua
Tanah
Papua, tanah yang kaya. Surga kecil jatuh ke bumi, seluas tanah sebanyak madu adalah harta
harapan. Tanah papua tanah leluhur, disana aku lahir. Bersama angin, bersama
daun aku dibesarkan. Hitam kulit Keriting rambut aku papua. Biar nanti, langit terbela, Aku PAPUA.
Mari kita memahami arti dan
makna yang terkandung dalam lirikan lagu diatas ini. Tanah yang kaya, bukan
hanya emas, perak, tembaga, minyak bumi dan kekayaan alam lainnya saja, tetapi
juga kekayaan budaya. Tanah Papua didiami sekitar 250 suku yang memiliki
karakter budaya dan bahasa yang berbeda-beda. Konteks ini bukanlah sesuatu yang
memisahkan atau membedakan antara satu suku dengan suku yang lainnya, tetapi
itulah kekayaan warisan leluhur yang perlu kita lestarikan secara kontinu.Biar
bagaimanapun dan sampai kapan pun orang Papua tetap hitam kulit dan keriting
rambut dan patut kita disyukuri kepada sang Pencipta. Sehingga kita tidak perlu
menyangkal terhadap diri sendiri karena itulah orang Papua. Perlu diperhatikan
oleh setiap individu bahwa kita perlu menggali dan mempertahan kePapuaan atau
jati diri supaya tidak terdoktrin pengaruh diskriminasi yang menyudutkan harkat
dan martabat manusia. Jangan sampai ada orang Papua yang tidak tahu identitas
diri kemudian memaksakan diri menjadi orang Papua, ini persoalan besar yang
perlu diselesaikan.
Lirik lagu aku Papua di atas
memberikan pesan persuasif kepada orang Papua agar eksistensi identitas rumpun
Malanesia tetap dijaga. Namun, sayangnya perjuangan menjaga budaya semakin
tergerus seiring kehadiran arus budaya modern yang menghancurkan dan melecehkan
identitas diri. Realitas kehidupan sosial dewasa ini, orang ingin tampil beda
di mata orang lain sehingga mengadopsi budaya bangsa lain tanpa menyadari
bahwa telah menagagung-agungkan budaya bangsa lain yang konon tidak cocok
dengan konteks kehidupan masyarakat Papua, kemudian melupakan dan melecehkan budaya atau identitas sendiri. Benar apa yang dikatakan
oleh Odiyaipai,
(Majalah Selangkah, 2012: 32) bahwa ”ciri khas bangsa yang sedang hancur
adalah melupakan identitas sendiri sambil mengimani identitas bangsa lain,
kemudian melecehkan kembali identitasnya sendiri”. Kalau merasa diri telah berada dalam posisi seperti ini,
berarti jelaslah bahwa kita sedang dijajah dari sisi budaya.[1]
Banyak orang Papua wanita
dan pria baik tua maupun yang muda telah terpengaruh dengan budaya
bangsa lain hingga terlihat kehilangan etika dimata masyarakat. Dengan budaya
itu mereka percaya diri dan merasa diri telah mengikuti
perkembangan zaman yang selalu berubah, tetapi
sebenarnya mereka adalah korban dari perkembangan dan kemajuan modernitas itu
sendiri karena melupakan budaya dan identitas yang telah ada sejak awal mula
yang telah menjadi fondasi hidupnya. Situasi yang seharusnya ialah memperkuat
dan melestarikan jati diri kemudian budaya modern dijadikan sebagai pelengkap untuk
dapat diperbaharui sesuai dengan perkembangan zaman saat ini karena tidak dapat
dipungkiri bahwa budaya modern tidak semuanya negatif , namun ada juga yang
positif tergantung kita memfilter.
Sebagian besar orang Papua
merasa bahwa budayanya sudah ketinggalan jaman (kuno) sehingga
mengagung-agungkan budaya bangsa lain dan melupakan budayanya yang merupakan
jati diri. Dalam konteks tersebut, iklan-iklan diskrimanasi ras juga selalu
ditayangkan di layar kaca maupun melalui majalah dan media cetak berupa
alat-alat pemutih wajah, tidak pernah ada tayangan alat-alat penghitam wajah.
Ini berarti benih-benih sejarah politik apartheid
masih ada di negara ini. Ini bagian dari pada usaha Indonesia untuk mematikan
karakter dan budaya orang Papua.
Diskriminasi
Ras
Persoalan diskriminasi ras
bukanlah sesuatu yang baru terjadi dalam kehidupan masyarakat Papua, melainkan
sudah terjadi dalam kehidupan masyarakat di seantero dunia, terutama antara
kulit putih dengan kulit hitam. Persoalan ini terjadi dalam beberapa abad,menjadikan
bangsa kulit hitam sebagai manusia yang memiliki harkat dan martabatnya tak
lebih dari seekor binatang. Kasus terbesar di Afrika Selatan terkait politik
Apartheid memberikan pencerahan kepada kita tentang bagaimana kejamnya
persoalan diskriminasi yang mengabaikan aspek kemanusiaan yang dimiliki oleh
setiap manusia di dunia ini.
Politik Apartheid adalah sistem
pemisahan ras yang diterapkan oleh pemerintah kulit putih di Afrika
Selatan sejak awal abad ke 20 hingga
tahun 1990. Politik ini diterapkan demi kepentingan ekonomi, politik dan kekuasaan
untuk menguasai tanah dan kandungan di dalamnya, terutama emas yang terdapat di
Afrika Selatan sehingga masyarakat asli mengalami diskriminasi, teror,
penyiksaan, dipenjarahkan, dibunuh dan sebagainya. Pemerintahan kulit putih
telah melegalkan segala cara demi kepentingan ini untuk menguasai dan
menghadapi resistensi masyarakat Afrika Selatan terhadap kekuasaan pemerintah
kulit putih. Rakyat Afrika Selatan melawan secara terus-menerus demi keadilan
dan perdamaian diatas tanah leluhur mereka sendiri. Perjuangan demi perjuangan
selalu disertai dengan pengorbanan harta, benda, dan nyawa di atas tanah
leluhur bangsa Afrika Selatan. Alhasil, situasi tadi kini telah berhasil diakhiri
dengan lahirnya pejuang perdamaian sekaligus pemimpin demokratis Nelson
Mandela.
Persoalan diskriminasi telah
diakhiri dengan menghargai hak-hak asasi manusia yang dimiliki oleh setiap
manusia sejak menginjak kaki di bumi tanpa memandang buluh. Meskipun demikian,
persoalan deskriminasi itulah yang kini dijumpai dalam kehidupan masyarakat
dewasa ini. Masyarakat kaum minoritas berada posisi yang korban atas diskriminasi
ini. Begitu juga yang terjadi dalam kehidupan masyarakat bangsa Papua di semua
aspek kehidupan, baik ekonomi, politik, dan sosial budaya. Masyarakat Papua
diperlakukan tidak adil sejak tahun 1960-an hingga saat ini, sementara ekonomi
dikuasai dan didominasi oleh masyarakat transmigrasi yang dikirim dari luar
atas nama pembangunan dan kesejahteraan yang terkesan menghadirkan politik
Apartheid di bumi Cenderawasih dalam gaya atau metode yang baru. Masyarakat
Papua tidak memiliki arti di mata hukum yang penegakannya bersifat
transaksional hingga menempatkan masyarakat Papua pada pihak pelaku atas semua
persoalan di Papua. Stereotipe atau stigma separatis, bodoh, primitif,
pengacau, pemberontak, pemabuk dan sebagainya selalu dialamatkan kepada orang
Papua sebagai sebuah upaya pembunuhan karakter demi kepentingan negara.
Berbagai macam cara
dilakukan oleh negara Indonesia demi kepentingan kekuasaan dan ekonomi politik.
Salah satunya dengan cara memanfaatkan masyarakat asli Papua yang mencari
sepering nasi dan sebatang rokok untuk menjadi aktor atau jembatan atau pintu
masuk para penindas untuk mendiskriminasi orang Papua sendiri, baik secara
sadar maupun tidak sadar. Semua itu tidak memberikan harapan keselamatan hidup
kepada masyarakat Papua di dalam bingkai negara Indonesia.
Diskriminasi
Diri
Pelecehan identitas diri
selain dari yang dimaksudkan diatas ini yang sangat berpengaruh negatif hingga
akhirnya berujung pada hilangnya ras, suku, bahasa dan budaya asli yang telah ada sejak awal mula adalah nikah silang. Meskipun demikian, ada yang mengatakan bahwa “hitam terus bosan, cari yang putih dulu”, lebih parah lagi pria yang mendapat wanita
ras melayu dan yang lainnya , sombongnya terasa dunia menjadi miliknya. Ini
memang hak untuk menentukan dan memilih
pendamping hidup, tetapi sayangnya kita tidak berpikir lebih jauh kedepan eksistensi
ras Melanesia yang kini hampir punah itu.
Berikut ini pengalaman saya
di Yogyakarta, ketika sejumlah perguruan tinggi swasta (PTS)
yang ada di Yogyakarta mendelegasikan mahasiswa/i dua orang menghadiri kegiatan
pelatihan kepemimpinan dengan tema “Membangun Karakter Bangsa” yang
difasilitasi oleh kopertis wilayah V Yogyakarta di hotel Griya Persada,
Kaliuran pada hari senin-rabu (19-21 November 2012) dengan jumlah peserta
sebanyak 175 orang.Setelah selesai kegiatan, ada salah seorang bapa mendekati
dan berbincang dengan saya, memperkenal nama. Kemudian ia bertanya “mas pengen nikah dengan orang mana?” saya
tidak menjawab, ia melanjutkan “mas
katanya cewe orang sana (Papua) ngga tahu gunakan duit, boros dan keras kepala
toh? Nika dengan orang sini aja (Jawa), yang hatinya ramah, baik, pintar ngatur
duit, biar ganti keturunanmu jadi putih. Kalau mas mau, anak saya kuliah semester dua (II), yang penting mas
pindah agama aja”. Saya tidak berbicara banyak, kemudian bertanya “mas, mas anggap orang Papua itu seperti apa?”
ia mengatakan “ngga aku cuma kasih tahu
aja.”
Kutipan pengalaman diatas ini membuktikan bahwa banyak
generasi muda Papua terjebak dengan tawaran murahan ini. Mereka (generasi muda
Papua) terjebak karena intelektualitasnya dangkal dalam menanggapi konteks
tersebut. Menerima tawaran tersebut tanpa menyadari bahwa itu merupakan diskriminasi
ras yang menyudutkan atau menginjak-injak harkat dan martabat orang Papua. Lebih
parahnya lagi sekelompok pemuda Papua sendiri yang membicarakan tentang paha
putih itu pada 10 November 2011. Serombongan pemuda duduk dibawah pohon Ketapan
gsambil bercerita, pada saat itu juga kebetulan ada empat wanita Melayu lewat
kemudian ada beberapa pemuda mengatakan sambil membuang pandangan mata ke arah
mereka “aduh, paha putih seh, hitam terus
bosan ini”, kemudian suasanapun bangkit membahas soal putih tadi. Ketika
itu salah seorang pemuda diantara mereka terdiam dan mendengarkan perbincangan
mereka dengan rauk muka yang sangat marah. Kemudian salah satu pemuda
menanyakan kepada pemuda yang terdiam tadi, “woee pace, kenapa ko diam? Barang enak baru” coba cari yang paha
putih biar anakmu juga putih dan manis lagi. Pemuda itu, masih tetap
saja terdiam dan beberapa menit
kemudian, lalu merespon sambil senyum, “bro juga hitam tetapi mengapa bro mengatakan
demikian, apa kata orang nanti, bro
kalau memang jodoh trapapa, tetapi apakah bro tauh eksistensi suku, ras, dan
bahasamu kedepan.? Tak seorangpun bicara hingga suasana tenang teduh hanya
bisikan angin siang yang terdengar selama beberapa menit. Pemuda itu sangat
marah terhadap perbincangan teman-temannya tadi dan pergi meninggalkan mereka.
Cerita diatas ini membuktikan bahwa, disamping diskriminasi
ras yang dilakukan oleh ras lain di negara ini, sebagian generasi muda Papua
pada umumnya juga terdoktrin dengan diskriminasi tersebut hingga menjelekkan
ras sendiri. Ternyata lagu Aku Papua tidak memberikan makna kepada generasi
muda Papua saat ini yang hanya dijadikan sebagai hiburan semata tanpa memaknai
arti dan makna lagunya. Setidaknya pengalaman diskriminasi ras yang terjadi di
bangsa lain telah memberikan referensi kepada kita untuk memaknai realitas
hidup orang Papua saat ini. Kita perlu menyadari dalam menanggapi situasi ini
agar eksistensi ras Melanesia tetap terjaga.
Kepunaan Bahasa Daerah Papua
Orang tua suku Mee pernah
mengatakan “iniiya manaa kodoya emino
meeka nitopaitai” (meskipun bahasa kita sendiri, tetapi orang luar yang
akan mengajarkan kita.) Ketika mendengar perkataan tersebut saya tidak percaya
tetapi kini sudah mulai nyata dalam kehidupan orang Papua pada umumnya. Dengan
adanya pengaruh budaya dan bahasa global membawah dampak buruk terhadap bahasa
daerah. Penggunaan bahasa nasional mengakibatkan hilangnya bahasa dearah yang
ada secara turun-temurun.
Hal ini kita melihat dari
sekitar 250 bahasa yang ada di Papua sudah hampir punah bahkan ada yang telah
punah total. Dalam
waktu 100 tahun kedepan bahasa-bahasa di dunia akan tinggal 50 persen,
sedangkan sisanya akan punah mengingat kuatnya pengaruh bahasa-bahasa utama
dalam kehidupan global. Di Papua ada sembilan bahasa yang
telah punah, yakni di Kabupaten Sarmi tiga bahasa (Bapu, Darbe, dan Wares), di
Jayapura dua bahasa (Taworta dan Waritai),
di Jayawijaya dua bahasa (Murkim dan Walak), Manokwari satu bahasa (Meoswar),
dan di Raja ampat satu bahasa (Loegenyem), dan
bahasa Mee tinggal lima puluh persen.
Kepala Balai Bahasa Sastra dan Budaya Provinsi Papua dan Papua
Barat, Supriyanto Widodo, mengatakan “Enam bahasa di Teluk Humbold ini adalah
bahasa Sentani, bahasa Nafri, bahasa Kayu Polu, bahasa Skouw, bahasa
Tobati-Enggros dan bahasa Moso. “Dari enam bahasa ini, hanya Bahasa Moso
yang tidak punah, sementara 5 bahasa lainnya sudah mulai punah,” (Jubi,
14 Oktober 2013).[2]
Berdasarkan konteks tersebut, bahwa tidak cukup kita hanya
mengetahui persoalan ini sehingga membiarkan begitu saja dan menunggu kapan
akan berakhir. Setidaknya persoalan ini memberikan pemahaman dan membuat kita
berpikir untuk mencegah menyelamatkan sejumlah bahasa daerah yang dimiliki oleh
masyarakat bangsa Papua.Bahasa daerah yang dikatakan punah, perlu ditelusuri
lebih dalam apakah hanya bahasa saja yang punah atau sekaligus dengan sukunya.
Jika sukunya masih ada, pasti salah satu diantaranya masih mengetahui bahasanya
sehingga perlu diselamatkan dengan cara menulis kamus atau pun buku agar
generasi muda dapat mempelajarinya. Sementara bahasa lain yang masih belum
punah, harus berpikir dari sekarang untuk menyelamatkan bahasa dan generasi
muda kedepan. Upaya penyelamatan saat ini menjadi urgen, seperti orang bijak
mengatakan apa yang diharapkan sepuluh atau lima belas tahun mendatang mulailah
bekerja dari sekarang, dengan cara menulis kamus bahasa daerah tersebut.
Malu
Memakai Koteka (Busana Adat)
Mungkin generasi muda saat
ini tidak mengetahui cerita tentang Operasi Koteka yang terjadi pada tahun 1977
di Wamena. Negara ini berusaha menghilangkan busana adat digantikan dengan
pakaian modern sebagai salah satu unsur politik dari kolonial dengan penetrasi
budaya. Itulah upaya negara ini untuk menanamkan jati diri yang palsu kepada
generasi muda Papua pada umumnya dan khususnya suku-suku yang berada di
pegunungan tengah Papua.Realitas membuktikan bahwa negara ini memang berhasil
manaklukan budaya sehingga banyak pria yang berasal dari suku di pegunungan
tengah Papua mengatakan “Malu Memakai
Koteka.” Itulah satu tolok ukur keberhasilan bagi negara ini yang berusaha
mengacaukan tatanan hidup. Kita tidak menyadari bahwa koteka merupakan busana
adat secara turun temurun yang tentunya perlu dilestarikan.Melihat konteks ini,
sungguh sangat lucu bercampur sedih.
Lucu karena koteka merupakan busana adat secara turun-temurun, namun generasi
muda sekarang malu memakai. Sedih karena Koteka merupakan kekayaan budaya Papua
khususnya suku-suku di pegunungan tengah Papua yang kini hampir punah akibat
tidak dilestarikan.
Semakin Berpendidikan Semakin Bodoh
Dari pembahasan diatas ini membuktikan
bahwa ketika orang semakin berpendidikan, bukan semakin pintar tetapi semakin
bodoh. Kadang kita merasa kuno dan tidak rasional terhadap pemikiran orang tua
kita dulu tentang menata hidup masa depan. Tatanan hidup sosial telah diatur
atas dasar budaya sebagai fondasinya. Didalam budaya, segalanya diatur secara
baik disemua lini kehidupan dan semua itu memang baik adanya demi kelangsungan
hidup masa depan. Sesuatu yang menjadi rekomendasi bagi generasi muda setiap zaman
adalah memperbaharui semua itu sesuai dengan perkembangan dan kemajuan modern
agar dapat membuat etika keteraturan baru. Namun, harapan akan pembaharuan itu
tidak didukung oleh implementasi yang baik selain memberikan definisi yang
sempit atas karya pemikiran orang tua tersebut.
Orang tua dikampung halaman beranggapan
bahwa orang sekolah minimal selama 16 tahun lamanya berarti telah mengetahui banyak
hal melebihi dari pemikiran orang tua, tetapi malah sebaliknya. Mungkin karena
kita telah terdoktrin dengan teori-teori yang dikemukakan oleh orang-orang
barat sehingga kita mengutuk dan meninggalkan pemikiran orang tua. Sebenarnya
teori-teori barat itu tidak sesuai dengan konteks kehidupan sosial bila kita
terapkan. Mempelajari teori menjadi urgen, tetapi penerapan harus diterjemahkan
kedalam tata nilai dan norma masyarakat setempat. Kondisi ini membuktikan bahwa
pemikiran orang tua itu ternyata sangat bermanfaat dari pada pikiran generasi
saat ini yang merasa atau melihat kota besar sehingga merasa tahu
segala-galanya. Bahkan mengutuk pikiran orang tua, tetapi hasilnya membuktikan
bahwa orang terpelajar itu menjadi pelaku kekacauan, kejahatan, pencurian,
pemerkosaan dan sebagainya.
Kadang orang hanya tahu bahasa
Indonesia hingga merasa dunia menjadi miliknya. Sering saya mendengar beberapa
perkataan dari orang tua suku Mee di kampung halaman bahwa ketika terjadi suatu
persoalan yang melibatkan orang terpelajar, demikian “topita bageeka keitipaino yeyaikei, topita bageeka manaano yeyaikei”
biarkan itu orang terpelajar yang buat, biarkan itu orang terpelajar punya
persoalan. Perkataan itu, bukan berarti mereka tidak tahu atas persoalan
tersebut, tetapi sebenarnya yang mungkin tidak pernah disadari oleh orang
terpelajar adalah itu sebuah sindiran
dari orang tua yang kita anggap pikirannya kuno. Sebenarnya orang-orang tua itu
mengatakan bahwa anda sendiri yang pikirannya kuno, karena yang anda lakukan
itu tidak sesuai dengan etika dan norma yang dimiliki sejak perkembangan
peradaban suku dan bangsa ini.
Sesuatu yang aneh tetapi sebenarnya
nyata adalah orang semakin berpendidikan bukan semakin pintar, tetapi
sebaliknya semakin bodoh. Jika hasil pendidikan itu anda terapkan di Jawa atau
Amerika anda pasti akan dikagumi oleh masyarakat setempat, tetapi jangan di
Papua pada umumnya. Kita bicara masalah pendidikan atas dasar atau fondasi
hidup, bukan pendidikan dan pengetahuan tanpa dasar yang jelas. Sepintar apapun
dan memiliki pengetahuan seluas samudra sekalipun tetap akan bodoh, jika tidak
menerjemakan kedalam budaya anda sendiri sebagai upaya pembaharuan untuk
mempertahankan atau melestarikan nilai-nilai positif yang ada didalamnya
sebagai dasar bagi generasi mendatang untuk menata hidup kedepan. Itulah yang
orang biasa katakan “berpikir global bertindak lokal”.
Berpikir Global
Bertindak Lokal
Jika saya mempelajari buku Sejarah
Filsafat Barat, karya Bertrand Russell, saya mengetahui pemikiran para filsul-filsuf
Yunani kuno yang menjadi cikal-bakal berkembangnya filsafat yang kini menjadi
sumber, akar atau dasar dari segala ilmu yang kita pelajari saat ini.
Sebenarnya kita juga memiliki filsafat yang bisa dijadikan sebagai sumber, akar
atau dasar bagi segala ilmu yang kita pelajari, seperti suku Mee memiliki “kabo mana” ajaran dasar, “dimi” pikiran, “dou gai ekowai” asal-usul
manusia dan sebagainya, tergantung kita menggali, seperti buku Gai Dimi Gai, karya Manfred C. Mote.
S,Fil.
Karena selama ini kita mempelajari
hasil pemkiran orang Yunani dan yang lainnya tanpa menyadari kemudian memfilter
sehingga pada penerapannya selalu bertentangan dengan konteks kehidupan sosial
setempat. Seharusnya ilmu yang kita dapat itu dijadikan sebagai pelengkap untuk
memperbaharui pemikiran orang tua kita dahulu, baik itu dari segi ekonomi
politik dan sosial budaya. Satu kata kunci yang perlu digaris bawahi adalah
sementara kita abaikan pemikiran orang tua kita dahulu, segala-galanya akan
mengalami hambatan dan tidak berjalan secara maksimal. Ingat bahwa, kita
semakin terdoktrin dengan teori-teori pemikiran barat, maka kita semakin mudah
dikendalikan demi kepentingan tertentu karena teori dan pengetahuan yang kita
miliki itu tak berakar. Kita mempelajari pemikiran-pemikiran orang barat, maka
pikiran kita bagaikan benalu yang menggantungkan seluruh hidupnya di sebuah
pohon. Itu bukanlah harapan kita bersama sebagai generasi muda Papua pada
umumnya. Pikiran kita harus mencari dan mendapatkan tempatnya tersendiri agar
dapat berakar, tumbuh, berkembang dan maju untuk sejajarkan dengan perkembangan
jaman dewasa ini.
Kita boleh mempelajari teori, dan boleh
mengetahui dunia yang begitu luas ini sebagai referensi untuk menerjemahkan
dalam nilai-nilai budaya kita. Benar
kata Habermas bahwa, masuk melalui pintunya orang lain dan keluar di pintunya
sendiri. Karena apa yang diajarkan oleh orang atau bangsa lain tidak luput dari
kepentingan terselubung untuk hidup mereka sehingga jangan terlalu menghayati
dan menerima tanpa memahami dari berbagai aspek kehidupan. Itulah orang tua suku
Mee di kampung halaman mengatakan “dimiko
akauwai awii” jadikan pikiranmu sebagai kakakmu. Artinya supaya kita tidak
terdoktrin dengan pengaruh-pengaruh yang berusaha merendahkan harkat dan
martabat manusia dewasa ini.
Penjajahan Atas
Nama Pembangunan
Orang Rusia mengatakan kehancuran
budaya terhadap bangsa jajahan akan
memperkuat posisi penjajah untuk membangun hegemoni kekuasaan penjajah.
“Jika anda ingin menjajah bangsa lain, maka hal pertama yang harus diusahakan
adalah menghancurkan budaya bangsa yang dijajah”. Jika kita mengamati
perkembangan kehidupan sosial di Papua pada umumnya dewasa ini, konsep itulah
yang diterapkan oleh negara demi kepentingan ekonomi politik di bumi
Cenderawasih.
Menurut Frantz Fanon dikutip,
Aditjondro dalam, Ingurah Suryawan, (2013:73) mengatakan, praktik kolonialisme
Barat biasanya didukung oleh teori-teori kebudayaan yang bersifat rasialis.
Pada tahap awal penjajah menganggap bangsa jajahannya tidak memiliki
kebudayaan, kemudian mengakui bahwa bangsa jajahannya memiliki kebudayaan namun
tetap tidak dihargai karena dianggap statis dan tidak berkembang. Kebudayaan
bangsa jajahan kemudian ditempatkan dalam strata “rendah” sementara kebudayaan
penjajah ditempatkan dalam strata “tinggi” dalam satu hierarki kebudayaan yang
sengaja diciptakan untuk melegitimasi dominasi penjajah atas bangsa jajahannya.[3]
Negara mengakui nilai-nilai budaya dan local wisdom (kearifan lokal) di Papua
melalui berbagai macam produk hukum, seperti undang-undang No. 32 tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah, lebih tegas lagi melalui undang-undang No. 21
tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Papua hanya sebagai formalitas yang pada
realisasinya hal itulah (nilai-nilai budaya) yang tidak disukai oleh negara sendiri.
Negara menjalankan pembangunan yang represif sambil menghancurkan budaya bangsa
Papua di semua aspek kehidupan untuk menciptakan ketergantungan kolektif rakyat
Papua dan sebagai bargaining politic-nya
jangan mengemukakan pandangan politik. Pandangan yang keliruh ini, generasi
muda Papua dewasa ini telah terpengaruh sehingga menjadi aktor negara untuk
melaksanakan doktrin dalam kehidupan masyarakat Papua. Generasi seperti ini,
tidak pernah sadar jika dia sedang menghancurkan budayanya. Hal yang dipikirkan
adalah pembangunan dan kemajuan represif itu akan mensejahterakan masyarakat.
Benar apa yang dikatakan oleh Yakobus
Odiyaipai Dumupa, melalui materinya yang disampaikan saat Natal dan Seminar
bersama mahasiswa se-Jawa dan Bali asal Kabupaten Nabire, Kabupaten Paniai,
Kabupaten Dogiyai, dan Kabupaten Deiyai di Semarang (Jawa Tengah) pada 30
Desember 2014:[4] Perlu dipahami bahwa,
“pembangunan” tidak selalu dipandang dan atau dipahami sebagai sebuah konsep
dan praktek yang bersifat positif, sebab oleh sejumlah kalangan “pembangunan”
justru dicurigai dan dimaknai sebagai sebuah konsep dan praktek yang hendak
melestarikan penjajahan (penjajahan yang dipoles dengan istilah “pembangunan”).
Misalnya, kritik pembangunan dunia ketiga yang disampaikan oleh Antonio Gramsci
(1891-1937). Menurut Gramsci, pembangunan merupakan sebuah sistem yang dibangun
oleh kelas yang berkuasa (negara dunia pertama) untuk mempertahankan hegemoni
(kepemimpinan/kekuasaan) dalam berbagai aspek kehidupan. Dimana dengan
kekuasaannya, mereka memaksa dan atau mempengaruhi pihak lain untuk menerima
sistemnya, nilai-nilainya, perilakunya dan keyakinan-keyakinannya untuk
mendukung tatanan sosial yang ada atau status
quo, yakni dominasi kepemimpinan/kekuasaan mereka. Dengan begitu, negara
dunia pertama terus berkembang, maju dan sejahtera, sedangkan negara dunia
ketiga dan negara dunia keempat semakin terbelakang, miskin dan menderita.
Realitas membuktikan bahwa Papua saat
ini sedang dihancurkan, baik lingkungan alam maupun sosial budaya atas nama pembangunan
itu sendiri. Hutan yang sebelumnya menjadi sumber penghidupan masyarakat Papua
telah dihancurkan atasnama pembangunan dengan menghadirkan perusahaan dan
pemekaran wilayah administratif. Akibatnya terjadi pencemaran lingkungan,
perampasan tanah adat, pelanggaran hak asasi manusia (HAM) semakin meningkat
dan sebagainya. Masyarakat Papua yang sebelumnya bekerja banting tulang atau
dengan kata lain, tiada hari tanpa kerja ini, kini lupa budaya kerja dan
semakin tergantung kepada pemerintah karena telah dimanjakan dengan uang yang
dikucurkan melalui Otsus, pemekaran, Unit Percepatan Pembangunan Papua dan
Papua dan Papua Barat (UP4B) dan sebagainya.
Semua itu tidak ada artinya bagi
masyarakat Papua untuk menerima dan atau menjalankan pembangunan yang merendahkan
harkat dan martabat atau menghancurkan jati diri atau identitas bangsa. Dalam
berbagai macam program pembangunan negara di Papua yang sangat represif itu,
tetap dipaksakan untuk direalisasikan. Masyarakat memberikan partisipasi secara
semu bahkan tidak berpartisipasi didalamnya dianggap sebagai musuh negara harus
dipukul, diancam dan ditumpas, karena memang bertentangan dengan kepentingannya.
Mempertahankan
Budaya
Kita berbicara
mempertahankan budaya, bukan berarti kita menutup diri dan menjauh dari
perkembangan jaman. Tetapi yang saya maksudkan disini adalah mengikuti
perkembangan jaman berdasarkan budaya yang ada. Untuk itu, kita perlu
menanamkan jiwa rasa memiliki dalam diri
setiap individu melalui pendidikan, kemudian mengembangkan budaya membaca dan
menulis untuk menyelamatkan peradaban (budaya) orang Papua, karena itu akan
membuat kita mampu melihat persoalan, terutama “persoalan budaya” yang terjadi
dalam kehidupan masyarakat Papua.
Disamping itu, perlu adanya
kesadaran totalitas akan eksistensi diri dalam kehidupan aras lokal maupun
nasional. Berdasarkan kesadaran tersebut, ada tiga hal pokok penting agar dapat
mempertahankan atau meng-update budaya, yakni: pertama, pengetahuan; kedua, teknologi
dan informasi; dan ketiga, alat produksi. Ketiga hal merupakan satu paket,
kunci utama yang perlu dimiliki oleh orang Papua pada umumnya, karena itulah
pintu masuk budaya luar untuk menghancurkan budaya lokal. Jika ketiga hal ini
dimiliki, harus dimaknai berdasarkan nilai-nilai budaya bangsa Papua.
Pengetahuan harus dimulai
dengan pendidikan yang dapat dikontekstualisasikan dengan kondisi sosial
budaya. Pendidikan seperti ini, bersifat pembaharuan di semua aspek kehidupan,
baik sosial budaya, ekonomi, politik, geografis, historis dan sebagainya.
Teknologi dan informasi bergerak dalam memfilter dan menjaring informasi yang
bersifat pembaharuan sesuai dengan konteks kehidupan sosial sekaligus mendidik
masyarakat untuk mencapai etika dan keteraturan sosial yang dapat disejajarkan
dengan perkembangan jaman. Sedangkan alat produksi, untuk mengelolah potensi
alam yang dimiliki secara mandiri. Untuk mendapatkan ketiga hal ini, pendidikan
dan pemberdayaan masyarakat menjadi urgen yang dapat diperjuangkan oleh semua
pihak, terutama pemerintah daerah agar dapat meminimalisir persoalan sosial dan
ketergantungan yang terjadi dewasa ini.
Kesimpulan
Budaya merupakan peradaban yang harus
diselamatkan demi menata hidup kedepan. Namun, secara sadar maupun tidak sadar
orang Papua terutama generasi muda saat ini menjelekkan budayanya. Hal ini
tidak terlepas dari pengaruh budaya global atau kemajuan modernitas yang
semakin maju membuat orang Papua semakin lupa diri sendiri dan merasa dirinya
telah mengikuti perkembangan jaman yang semakin berkembang itu, tetapi disisi
lain orang seperti itu melangkah tanpa fondasi yang kuat sehingga mudah
terdoktrin dengan pengaruh eksternal yang serat dengan kepentingan hingga menginjak-injak
identitasnya sendiri. Sebenarnya mereka tidak sadar, jika mereka adalah korban
kemajuan tersebut. Seharusnya mengikuti perkembangan zaman berdasarkan fondasi
hidup yang kuat, karena itu akan membuat setiap orang mampu membedakan mana
yang baik dan yang buruk serta benar dan yang salah serta mana kawan dan lawan
dalam menghadapi perkembangan itu sendiri.
Bila kita melihat dan mempelajari
sejarah perkembangan kolonialisme dibelahan bumi ini, tidak ada satupun bangsa
dan negara yang memperhatikan harkat dan martabat bangsa yang sedang dijajah,
selain menindas, membunuh, memperkosa, mengeksploitasi, penetrasi budaya dan
lain-lain. Semua perbuatan dan perlakuan itu, disembunyikan semaksimal mungkin
agar dunia luar tidak mengetahui sambil mengembangkan isu pencitraan melalui media
massa (elektronik maupun cetak) bahwa benar-benar memperhatikan kehidupan
bangsa tersebut di semua lini kehidupan. Semua jerit dan tangis bangsa Papua tidak keluar dari rotasi
kehidupan yang telah ditentukan oleh penguasa negara Indonesia. Semua itu,
dunia akan mengerti dan merasakan ketika meletakkan kepentingan demi harkat dan
martabat bangsa Papua yang sedang dijajah. Harapan akan kepedulian masyarakat
bangsa Papua kepada bangsa lain yang pernah mendapatkan pengalaman yang sama,
namun, itu bukanlah alternatif terakhir dari sebuah perjuangan karena
kolonialisme kadang dilakukan oleh bangsa dan negara yang mengalami pengalaman
serupa (dendam sejarah).
Ada jalan lain yang mesti harus ditempuh untuk
menunjukkan harga diri atau menyelamatkan peradaban bangsa Papua yang sedang
diinjak-injak oleh bangsa lain. Dan itu berawal dari sebuah kesadaran totalitas
akan eksistensi identitas dalam pertarungan politik kepentingan yang
menyudutkan martabat bangsa Papua. Kesadaran eksistensi identitas, membuat
masyarakat bangsa Papua mengerti atas apa yang terjadi dalam kehidupan sosial,
karena disana terletak apa yang kita sebut "harga diri". Kesadaran itu harus dibangun melalui
pendidikan formal, non-formal dan informal yang membebaskan dan itu harus
diperjuangkan oleh generasi muda Papua, karena penjajah tidak akan pernah
memperhatikan, selain segala usaha dan upaya kolonialis selalu diarahkan untuk
menghancurkan budaya bangsa Papua yang
dimainkan melalui sistem maupun aktivitas dalam kehidupannya.
Referensi
Suryawan I Ngurah, (2013), Jiwa Yang Patah “Sejarah Sunyi dan Gerakan
(Antropologi)
Pembebasan
Bangsa Papua”, Kapel Press: Yogyakarta
Undang-Undang
Undang-Undang Nomor. 21 Tahun 2001
tentang Otonomi Khusus bagi Papua dan Papua
Barat.
Undang-Undang Nomor. 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah.
Artikel
___________Materi Seminar: “EVALUASI DAN LANGKAH BIJAKSANA PELAYANAN
PEMERINTAHAN DAN PEMBANGUNAN MASYARAKAT DI KABUPATEN NABIRE, KABUPATEN PANIAI,
KABUPATEN DOGIYAI, DAN KABUPATEN DEIYAI” (Sebuah Analisis dengan Metode SWOT
dan Indikator Pembangunan Ekonomi-Sosial dan Pokok-pokok Pikiran mengenai
Langkah Bijaksana Pelayanan Pemerintahan dan Pembangunan Masyarakat dengan
Konsep Kesukuan/Kewilayahan). Oleh Yakobus Odiyaipai Dumupa, disampaikan
saat Natal dan Seminar bersama mahasiswa se-Jawa dan Bali asal Kabupaten
Nabire, Kabupaten Paniai, Kabupaten Dogiyai, dan Kabupaten Deiyai di Semarang (Jawa
Tengah) pada 30 Desember 2014.
Website
Tabloid Jubi,Com
Surat
Kabar
Majalah
Selangkah
[3] Baca:
Frantz Fanon dikutip, Aditjondro dalam, Ingurah Suryawan, (2013:73) dalam Buku
berjudul, Jiwa Yang Patah.
[4] Materi Seminar: “EVALUASI DAN LANGKAH BIJAKSANA PELAYANAN PEMERINTAHAN DAN PEMBANGUNAN
MASYARAKAT DI KABUPATEN NABIRE, KABUPATEN PANIAI, KABUPATEN DOGIYAI, DAN KABUPATEN
DEIYAI” (Sebuah Analisis dengan Metode SWOT dan Indikator Pembangunan
Ekonomi-Sosial dan Pokok-pokok Pikiran mengenai Langkah Bijaksana Pelayanan
Pemerintahan dan Pembangunan Masyarakat dengan Konsep Kesukuan/Kewilayahan).
Oleh Yakobus Odiyaipai Dumupa, disampaikan saat Natal dan Seminar bersama
mahasiswa se-Jawa dan Bali asal Kabupaten Nabire, Kabupaten Paniai, Kabupaten
Dogiyai, dan Kabupaten Deiyai di Semarang (Jawa Tengah) pada 30 Desember 2014.
Tidak ada komentar: