Oleh: Mikael Kudiai
Suatu ketika, Gaja, Harimau, Singa dan beberapa
binatang kuat lainnya berkumpul. Mereka berkumpul dan mendirikan suatu sistem
kurikulum pendidikan. Hampir sebulan mereka memutuskan untuk membuat tiga
kurikulum pembelajaran untuk semua siswa. Pembelajaran tersebut meliputi
berbicara, terbang dan lari. Semua murid akan memperoleh pendidikan yang sama.
Murid dari berbagai binatang merasa gembira. Di awal
tahun ajaran, mereka bertekad untuk menjalankan sistem pembelajaran tersebut.
Pelajaran pertama, berlari jarak jauh. Burung
Cendrawasih kelihatan sudah sangat terampil dan sudah siap, walau pun dia tidak
tahu dampaknya yang akan terjadi pada dirinya.
Untuk mempraktekannya, suatu ketika burung Cendrawasih
mengikuti loma lari jarak jauh bersama hewan-hewan lainnya seperti burung unta,
dan lainnya. Cendrawasih masih sedikit ragu.
“Memang sa (saya) sudah dikasih pelajaran seperti ini,
tapi sa agak ragu, walau ada pelari sama seperi burung Unta. Tapi sa akan
coba.”
Dalam hitungan ketiga, peserta loma sudah harus
berlari. Ketika berlari, kedua kaki dan sayapnya patah karena tidak sanggup
membendung beberapa binatang lainnya yang mempunyai kaki yang kuat. Akhirnya
Burung Cendrawasih kalah dan tidak mendapatkan juara apa-apa. Setelah kalah,
Cendrawaish diskorifikasi oleh panitia. Padahal soal pelajaran lari jarak jauh
dia sudah mendapatkannya di sekolah.
Pelajaran kedua, terbang. Burung Kasuari sangat ragu
ketika diberi pelajaran tersebut kepadanya.
“Kalau soal terbang bukan soal ragu, tetapi apa
mungkin, sa bisa terbang seperti pesawat Susi Air? Tapi sa coba dulu.”
Kasuari meloncat dari tebing yang tinggi ke bawa dan
ingin terbang sama seperti pesawat terbang. Namun dia masuk ke dalam jurang
yang paling dalam. Akibatnya kaki panjangnya patah dan tidak bisa berjalan.
Kasuari hanya bisa menangis dan meratapi nasib.
Pada akhir tahun sekolah, semua murid berwajah murung
karena pendidikannya tidak sesuai dengan apa yang mereka kerjakan dan
praktekan. Badan penuh cacat dan luka. Cendrawasih sayap dan kakinya patah,
Kasuari kaki panjangnya patah, dan lainnya. Janji-janji dan sistem pendidikan
yang dipelajari ternyata tidak masuk akal.
Sistem pendidikan binatang itu menekankan kesaragaman
yang ada, jadinya semua yang ada dalam sekolah harus mendapatkan pendidikan
yang sama. Sistem ini tidak memperhatikan kebutuhan para murid tetapi malah
mempertegang para murid. Cendrawasih sangat berbeda dengan binatang lainnya.
Tetapi kurikulum diharuskannya untuk ia berlari jarak jauh. Kurikulum ini
menjadi suatu sistem yang menindas dan membunuh. Kelompok binatang kuatlah yang
menjadi pembunuhnya. Sebagai perancang dan pengelolah, mereka memaksakan demi
kepentingan mereka sendiri. Mereka menindas murid yang tak berdaya.
Setelah hampir 52 tahun Papua bersama dengan
Indonesia, Papua tergolong daerah yang sangat miskin. Tak hanya kategori miskin
di Indonesia, tetapi masuk kategori miskin di dunia. Akibatnya, pasca
dibumihanguskannya buku-buku pembelajaran di Papua pada tahun 1960-an adalah
awal orang Papua tidak mengenal diri mereka sendiri.
Situasi ini bergulir secara dinamis dengan pergantian
kurikulum Indonesia di Papua, sebagian besar siswa di Papua diajarkan secara
struktural di sekolah-sekolah untuk tidak mengenali diri mereka sendiri.
Ketidakpekaannya siswa dan mereka lebih banyak memilih untuk membuat onar,
mengisap aibon, dan lain-lainnya yang negatif.
Kategori ini sama dengan sekolah binatang, bagaimana
sistem dibuat oleh elit-elit yang punya kekuasaan tanpa mempertimbangkan dan
melihat lebih jauh tentang daerah-daerah lokal di Papua.
Secara prosedural, pendidikan di Papua adalah penentu
nasib baik atau buruknya suatu bangsa yang besar. Ketika sistem penerapan
pendidikan Indonesia diterapkan di Papua tak sesuai dengan konteks lokal, maka
untuk membangun diri sendiri, bangsa sendiri dan lainnya malah berbelok pada
tingkatan penghancuran dan pemusnahan.
Pendidikan merupakan senjata paling ampuh menentukan
nasib bangsa ke depan. Ketika Nagasaki dan Hirodhima di Bom Atom oleh Amerika,
Kaisar Hirohito berdiri dan hanya mengatakan, “Berapa jumlah guru yang masih
tersisa?”. Dengan kata itu, sekarang Jepang menjadi salah satu negara maju di
dunia.
Ketika Samuel Isack Kijne (seorang rohaniawan dan
antropolog dari Belanda) pada kisaran tahun 1920-an mengatakan, “Anak-anak
sekolah harus merasa diri di dalam dunianya sendiri dan bukan di dalam dunia
asing. Buku-buku bacaan yang biasa dipakai membawa anak-anak itu kedalam dunia
asing. Jalan penangaran ini mempergunakan benda dari dunia sekitar anak-anak
sekolah. Tentu perkataan banjak jang harus dia ajarkan kepadanya, tetapi
perkataan banyak yang harus diajarkan kepadanya,tetapi perkataan itu semuanya
lazim di Nieuw Guinea, sehingga dapat dipergunakannya terus,” Kijne mengetahui
benar apa yang harus dia lakukan di Papua pada saat itu. Membayangkan apa yang
dikatakan oleh Samuel Isack Kijne, adalah merujuk pada pendidikanlah yang mampu
mengubah orang Papua sendiri dengan sistem pembelajaran tersebut.
Maka, kiranya sistem pendidikan juga harus memperoleh
seperti demikian. Bukan menjalankan sekolah sama seperti burung Cendrawasih
yang dipaksakan berlari jarak jauh dan Kasuari yang dipaksakan untuk terbang
seperti pesawat Susi Air.
Catatan:
Esai singkat ini, saya terinspirasi dari sebuah esai,
“Sekolah Binatang” yang diterbitkan di koran cetak DIAN pada 25 Juni 1993.
Semoga menjadi inspiratif untuk mengkritisi persoalan pendidikan di Papua.
Tidak ada komentar: