Oleh:
Mikael Tekege
***
“Tantangan yang kita hadapi pada saat ini dan
keperluan akan pembaharuan memaksa kita untuk
berunding, untuk bekerjasama, untuk menyesuaikan keinginan dan pikiran
kita sendiri dengan keinginan dan
pikiran orang lain” Uskup
Rudolf Staverman, OFM, November 1967)
(Dok TS. Budaya Suku Mee) |
Budaya adalah cara berpikir, berkarya, bergaul dan bertutur
yang telah menjadi kebiasaan secara individu maupun kolektif. Dengan demikian,
budaya memuat segala aktifitas fisik maupun nonfisik (moril dan materil) yang
diaplikasikan dalam kehidupan sosial. Setiap suku bangsa tentu memiliki budaya sangat berbeda-beda yang diwariskan secara
turun temurun. Kehidupan masyarakat Papua pada umumnya dan khususnya masyarakat
suku Mee pun tidak terlepas dari budaya tersebut. Semua itu, terangkum dan
tercermin dalam aktivitas kehidupan sosial. Menurut aturan adat dan norma
sosial, ada hal-hal tertentu yang dibatasi sehingga itu tergolong kedalam perilaku
setiap individu. Perilaku juga merupakan bagian dari pada budaya tersebut,
namun lebih mengarah pada melihat baik dan buruknya aktivitas seseorang.
Sedangkan budaya dimengerti menyangkut hal-hal yang baik saja. dengan demikian,
sesuatu yang bertentangan budaya dapat digolongkan kedalam perilaku individu.
Berdasarkan budaya suku Mee yang diwariskan secara
turun-temurun, tentu memiliki metode tersendiri dalam menata kehidupan
sosial, baik itu dari segi sosial, ekonomi, pendidikan dan sistem politik serta keyakinan. semua itu merupakan
bagian daripada budaya itu sendiri. Berikut ini adalah penjelasan lebih lanjut
budaya suku Mee, di tinjauh dari beberapa segi kehidupan:
1.
Sosial
Kehidupan masyarakat suku Mee tidak terlepas dari jiwa
sosial atau rasa empati dan saling menghargai terhadap sesama manusia. Mereka
(masyarakat Mee) secara turun temurun, tidak membiarkan sesama yang lain
menderita, lapar, susah dan sakit. Hal
ini membuat masyarakat Mee bersatu dalam menghadapi persoalan yang timbul dari
dalam maupun luar. Dengan kata lain, masyarakat Mee memiliki budaya
kolektifitas, empati, humanis dan religius.
Suatu idealisme yang sangat
konkrit dan nyata untuk menjadi seorang manusia yang diakui, dihargai,
dihormati dan dikagumi yang pertama harus diperbuat dan perlihatkan adalah
kebaikan dan kebenaran bersikap. Jikalau hal pertama ini telah ditunaikan, maka
hal-hal lain akan datang menyusul. Menjadi diri sendiri adalah idealisme utama
leluhur, (Manfred Chrisantus Mote, 2013).Berdasarkan idealisme ini, leluhur
memiliki perspektif dalam kehidupannya bahwa harus menjadi yang pertama dalam
menolong dan membantu orang-orang atau sesama yang benar-benar membutuhkan
bantuan uluran tangan dari orang lain.
2.
Segi ekonomi
Masyarakat suku Mee pada umumnya
memiliki satu istilah “Keitai/Ekowai” dalam kehidupan mereka. Keitai/ekowai
merupakan suatu landasan hidup sosial yang dipegang teguh oleh masyarakat suku
Mee sebagai motivasi bagi setiap orang untuk bekerja dengan sungguh-sungguh
sesuai dengan dengan bidang pekerjaan yang ditekuninya untuk memenuhi kebutuhan
sehari-hari.Mata pencaharian masyarakat Mee pada umumnya adalah berkebun,
beternak dan kegiatan lainnya yang digolongkan kedalam kealihan masing-masing
individu.Menurut Manfred Chrisantus Mote, masyarakat suku Mee adalah masyarakat
agraris yang hidup dari kegiatan bertani dan berternak. Makanan pokoknya adalah
petatas (Notaa) dan keladi (Nomoo).
Suatu keluarga etnis Mee, menimal memiliki dua buah lahan kebun petatas
atau pun keladi. Pertimbangannya adalah jika mereka sedang mengerjakan sebuah
kebun dan hasilnya belum tua, maka sementara itu mereka memanen hasil-hasil
dari sebuah kebun yang lain.
Kepentingan pemenuhan
kebutuhan makanan tersebut, mereka
bekerja setiap hari. Dengan demikian, tidak bolah ada hari tanpa bekerja. Orang
yang tidak bekerja, tidak boleh makan atau dilarang untuk makan hasil usaha
orang lain, bahkan tidak diberi makan kepada orang yang tidak bekerja kebun,
sebab ia tidak mau makan dan itu berarti tidak mau hidup, (Manfred Chrisantus
Mote, 2013: 73). Pandangan ini memberikan dorongan bagi setiap individu agar
terus-menerus bekerja dan berusaha untuk memenuhi kehidupannya secara mandari.
3.
Pendidikan
Nota/dugi naine gapeko, tai/bugi ekowai, ekina naine
gapeko, ekina muni, naapo naine gape, naapo wei dan lain-lain. Itulah beberapa kalimat yang
disampaikan oleh orang tuah (Ayah) kepada anaknya yang tidak kerja sambil makan salah satu diantaranya yang
disebutkan diatas. Hal ini dilakukan untuk mewujudkan suatu dorongan dalam diri
anak tersebut agar ia dapat kerja kebun, pelihara ternak babi, dan juga
pekerjaan lainnya. Dengan kata lain,
jika orang tuah menginginkan anaknya mempunyai kreatifitas dalam kehidupannya,
maka harus pelit terhadap anak yang pemalas. Sedangkan anak yang rajin selalu
diarahkan agar kreatifitasnya dapat ditingkatkan.
Selain dari itu, sistem
pendidikan masyarakat suku Mee secara adat memiliki metode tersendiri dalam
proses pembelajarannya. Metode yang saya maksudkan adalah pada saat memberikan
pendidikan adat pria dan wanita dapat
dipisahkan sehingga kaum wanita diajari oleh wanita yang lebih tua (mama),
begitu juga kaum pria diajari oleh yang lebih tua (bapa). Materinya dimulai dari kasih sayang terhadap orang tua,
norma-norma yang berlaku dalam kehidupan sosial sampai dengan kemandirian
hidup. Dan dapat disesuaikan dengan perkembangan umur anak.
Disisi lain, pendidikan secara
lisan itu juga disampaikan dalam banyak bentuk, seperti yang dikatakan oleh (Manfred
Chrisantus Mote, 2013, iv) yakni melalui cerita, dongeng, mitos, hikayat,
pantun, atau dalam bentuk lagu, seperti Uga,
totauga, komauga, kotekauga, bedouyouga, yametegauwa, tuupe, gawai dan gaupeuga. Lainnya dalam bentuk nasehat, wasiat dan dalam bentuk perumpamaan
dan perbandingan, pepata dan teka-teki. Dengan pendidikan seperti itu, anak
dapat dilatih untuk menganalisis dan menangkap makna yang terkandung didalam.
Dengan kata lain, bukan hanya sebatas mendengar dan menetahui alur ceritanya
saja, melainkan menganalisis apa makna di balik itu.
4.
Segi politik dan Kepemimpinan
Suku Mee memiliki sistem politik
beserta sistem kepemimpinan dalam kehidupan sosial. Konsep politik dan
kepemimpinan tersebut dikembangkan secara alami bersama perkembangan peradaban
suku Mee itu sendiri. Konsep tersebut, yakni Tonawi/ pria berwibawa (big
man). Big man dibagi menjadi
beberapa bagian, yakni:
a.
Mana wegai/dowai Tonawi
Pada dasarnya semua orang bisa
berbicara dimana saja dan kapan saja, namun esensi dari berbicara adalah
mengetahui dan mengerti terhadap hal apa yang dibicarakan pada konteks
tersebut, dan bisa mendatangkan sesuatu yang baik. Orang yang berbicara panjang
lebar tetapi tidak mengerti dan tidak menangkap inti persoalan sama saja bohong. Oleh karena itu, yang saya
dimaksudkan disini adalah bahwa orang yang bisa memecahkan suatu persoalan yang
dihadapi oleh masyarakat. Memecahkan persoalan sebesar apapun bukan hanya sekali
saja, melainkan berulangkali dan dalam pembicaraannya akan menunjukkan perbedaan daripada pembicara yang lainnya
secara netral.
b.
Keitai/ekowai Tonawi
Masyarakat dan kerabatnya akan
mengakui sebagai ekowai tonawi ketika
seseorang menunjukkan imagenya dengan
kerja keras dalam mengerjakan suatu bidang pekerjaan yang ditekuninya. Dan
pekerjaan sebesar apapun dapat dikerjakan dalam kurung waktu singkat dan hasilnya akan berbeda dengan
orang lain atau lebih unggul ketimbang yang lainnya. Dengan kata lain, ia
memang unik dari yang lainnya.
c.
Tonawi/Yago Mee
Mendapatkan karunia tidak semudah
membalikkan telapak tangan, melainkan melalui proses dan cobaan yang amat
sangat lama sekitar 2-3 tahun lamanya.
Dengan kata lain, untuk mendapatkan karunia harus menderita dan itulah syarat
utama. Dan setelah itu ia akan mendapatkan karunia mengusir atau menyembuhkan
orang sakit (Yagomee atau tonawi).
Penderitaan tersebut antara lain, menjadi orang gila, sakit parah, anak istri menjadi korban, dan
ternak peliharaan mengalami kematian dan lain-lain. Jadi untuk mendapatkan
karunia harus melalui penderitaan amat sangat menyedikan dan setelah melalui
semua itu akan disebut kamuh tetai tonawi
atau didi beu awetai tonawi (tonawi atau orang hebat).
d.
Ekina Mege Tonawi
Ekina
tonawi
tahu bagaimana cara merencanakan, mengatur, memelihara dan mengembangkan dan
membuahkan hasil secara teratur.
Kemudian memasarkan pada saat pesta adat yang dalam bahasa Mee disebut “Yuwo”. Kemudian ada juga cara lain yang
dilakukan oleh seorang ekina tonawi
agar ternaknya tetap berkembang, yakni
memberikan atau membagikan bibit ternak babi kepada orang lain terutama
keluarga yang tidak punya atau hidup
pas-pasan “iyoo” dengan tujuan agar
mereka juga bisa memiliki ternak babi sehingga yang penting iyoo badii. Tonawi memberikan ternak babi kepada orang lain untuk
dipiara dan hasilnya digunakan untuk kepentingan dan kebutuhan mereka sendiri.
Namun, ketika memasarkan babi induk maka hasilnya diberikan kepada pemiliknya (tonawi).
Untuk
menjadi tonawi bukanlah semata-mata
disebut dan diakui sebagai tonawi, melainkan melalui pengorbanan
dan proses yang sangat panjang. Akan ada pengakuan tonawi dari masyarakat dan kerabatnya ketika masyarakat mengetahui
pengorbanan dan proses yang dilalui oleh seseorang. Ada dua cara untuk menjadi
tonawi, yakni: pertama, menjadi tonawi
melalui upaya dan usaha kerja kerasnya, seperti ekina mege/agiyo tonawi, ekowai tonawi, dan manaduwai tonawi (tonawi yang memiliki harta, kerja keras
dan pintar diplomasi); dan yang kedua, menjadi tonawi karena karunia, seperti kamu
tetai tonawi/yagome (tonawi atau orang hebat). Semua itu membutuhkan proses yang sangat panjang dan tidak
terlepas dari diyo dou (mematuhi
norma). Dari situ ada sebuah penghargaan, kepercayaan dan diakui keunggulan
atau bidangnya oleh publik karena memang dengan sendirinya ada dan tidak bisa
dipaksakan untuk mencampuri urusan orang lain. Dengan kata lain, tidak bisa
disamakan dengan orang lain, meskipun bisa tetapi hasilnya tetap akan berbeda
karena “akiya iye-iye, aki gane-gane,
akiya emoo-emoo” (bakat masing-masing).
5.
Keyakinan
Suku Mee mempunyai keyakinan
dalam kehidupan dari dahulu. Mereka meyakini bahwa ada sesuatu yang membuat,
menulis dan menciptakan segala-galanya. Hal ini dapat dilihat dari ungkapan
atau penyebutan “UGATAMEE” secara
turun-temurun. UGATAMEE (pribadi yang
menulis), EBIYATAMEE/KOMUGAYAWITAMEE
(pribadi yang menciptakan), IPABOKOUTOMEE
(pribadi yang penuh kasih) dll. Dengan demikian, orang Mee meyakini bahwa ada
pribadi yang menuliskan, menciptakan dan memberikan segala-galanya dalam
kehidupan mereka.
Berdasarkan keyakinan tersebut,
suku Mee menjalani kehidupannya atas dasar ajaran yang bersumber dari UGATAME yang kemudian dalam bahasa Mee
disebut KABOMANA, TOUYEMANA (ajaran dasar) yang diaktualisasikan dalam
kehidupan sehari-hari sebagai fondasi hidup dan diwariskan secara turun-temurun.
6.
Seni
Tarian adat pun tidak terlepas
kehidupan setiap suku bangsa di planet bumi ini yang diperbaharui sesuai dengan
perkembangan zaman yang semakin mengarahkan masyarakat ke ambang kehancuran,
akibat pengaruh global. Begitu juga dengan konteks kehidupan masyarakat suku
Mee. Ada beberapa tarian yang dimiliki
dan diwariskan secara turun-temurun. Tarian yang dimaksud antara lain, seperti
emaida (yosim), gaupe uga (pemberian nama), tegauwa, dll.
7.
Aturan Hukum Adat.
Tentunya masyarakar Mee memiliki
aturan hukum adat yang termuat
larangan-larangan atau norma-norma yang berlaku dalam kehidupan sosial.
Aturan hukum adat tersebut tidak tertulis sehingga disampai secara lisan kepada
generasi penerus agar dapat dipatuhi. Hal menarik dan unik dari aturan hukum
adat ini adalah memiliki efek atau dampak yang jelas secara alami bagi yang
melanggarnya. Menurut Manfred C Mote (2013:173), manusia etnis Mee mempunyai
hukum, norma dan aturan-aturan adat yang mengatur, mengarahkan mengendalikan,
mengawasi dan mengontrol seluruh dinamika kehidupan masyarakat.
Berdasarkan penjelasan singkat
diatas ini, dapat saya katakan bahwa tidak ada yang kurang dalam kehidupan suku
Mee. Segala-galanya telah diberikan oleh UGATAME sejak awal. Namun, itu juga harus diperbaharui sesuai dengan
tuntutan zaman untuk terus-menurus menuju prinsip-prinsip keteraturan dan etika demi membuat keteraturan dan
pilihan etika baru berdasarkan identitas asli guna mempertahan eksistensi
identitas itu sendiri. Dititik inilah
pemangkasan kekayaan sumber daya manusia (SDM) Mee agar dapat dijebak dalam
konteks kehidupan sosial yang kita hadapi saat ini dan itulah tantangan bagi
generasi muda saat ini.
Masuknya
Budaya Luar
Seiring dengan berjalannya waktu,
konteks kehidupan masyarakat suku Mee
pun mulai mengalami perubahan bersama masuknya budaya luar. Kita tidak pungkiri
bahwa budaya luar tidak semuanya buruk, melainkan ada juga yang positif
tergantung kita memfilter. Meskipun demikian, kadang budaya luar juga masuk
bersama doktrin yang sangat meyakinkan bagi masyarakat suku Mee agar dapat
diterima secara menyeluruh dan meninggalkan budaya yang ada sejak awal mula.
Sebagai masyarakat yang baru
mengenal dunia luar dengan budayanya yang merupakan hal baru bagi mereka
(masyarakat), sehingga rasa ingin mencobah pun semakin meningkat dikalangan
masyarakat suku Mee. Semakin lama semakin melupakan budaya asli, seakan-akan
tidak memiliki arti dan makna dalam kehidupan masyarakat suku Mee itu sendiri.
Hal ini diakibatkan oleh kurangnya tingkat pengetahuan masyarakat yang mampu
memfilter budaya luar yang masuk tersebut.
Masyarakat suku Mee tidak
ditolong untuk mengenal jati diri mereka sehingga terjebak dalam pengaruh
budaya baru tanpa membedahkan baik dan buruk serta benar dan salah. Akibatnya,
secara sadar maupun tidak sadar kadang kita menghina dan membenci diri kita
sendiri. Namun, kita tidak mungkin menjauhkan diri perkembangan jaman yang
semakin maju ini, sehingga yang terpenting adalah sadar akan persoalan ini, belajar dan memahami budaya asli, kemudian
budaya luar dijadikan sebagai pelangkap dalam menghadapi perkembangan jaman.
Dengan kata lain, berpikir global dan bertindak lokal.Disinilah pendidikan
berperan untuk memahami persoalan tersebut.
Pendidikan Pencucian Otak
Dewasa ini pendidikan dipandang
sebagai aspek yang sangat signifikan untuk mengubah nasib seseorang dalam
kehidupan yang sangat ketat ini. Esensi pendidikan adalah memanusiakan manusia
untuk mengembangkan potensi dirinya agar memiliki kekuatan spritual keagamaan,
pengendalian diri, kepribadian, kecerdesan, akhlak serta ketrempilan yang
diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara seperti yang tercantum dalam
UU RI No. 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional (SPN) yang bertujuan
untuk menguasai kemampuan berpikir, bersikap rasional dan dinamis serta
berpandangan luas.
Selain dari itu juga, salah satu
tujuan pendidikan yang dimaksud dalam pembukaan UUD 1945 adalah “mencerdaskan
kehidupan bangsa” tanpa memandang bulu. Meskipun demikian, realitas objektif
membuktikan semua harapan itu tidak didukung oleh implementasi yang baik, hanya
berhenti diatas kertas putih. Lebih parah lagi pendidikan di tanah Papua tidak
efektif dalam pelayanan, tenaga guru maupun fasilitas yang menunjang dalam proses
belajar mengajar.
Disamping itu, sekolah-sekolah
yang ada lebih mengarah pada kegiatan
pencucian otak para siswa/i untuk kepentingan menanamkan jati diri palsu
(ke-Indonesia-an) sebagai bagian tak terpisahkan dalam upaya pembungkaman
aspirasi masyarakat atas status politik Papua. Akibatnya banyak generasi muda
yang tidak mengetahui jati dirinya sebagai orang Papua rumpun Melanesia.
Pendidikan di negara ini terutama
di Papua mengajarkan hal-hal yang tidak pernah dibayangkan oleh siswa/i (di
Jawa ada sawa, ada kereta api, letak geografis Jawa serta iklimnya dan
lain-lain) sehingga semua keunggulan yang dimiliki di daerah seakan tidak ada
arti dan makna. Tetapi kami patut berterimakasih kepada pemerintah Indonesia
karena malalui pendidikan seperti itu kami mengetahui dan memahami apa yang
terjadi dalam kehidupan masyarakat baik pada masa lalu maupun kini dan akan
datang.
Seharusnya para siswa/i mengenyam
pendidikan secara bertahap, artinya materi pengajarannya harus disesuaikan
dengan kondisi masyarakat setempat. Misalnya, pelajaran ekonomi harus diajarkan
kondisi ekonomi masyarakat setempat, pelajaran geografi harus diajarkan kondisi
geografis serta iklimnya wilayah setempat, begitu juga dengan mata pelajaran
lain agar mudah dimengerti oleh para siswa/i, tetapi yang terjadi malah
terbalik. Pendidikan yang semesti kita dapat sejak bangku sekolah, misalnya
sosial budaya ,ekonomi, kondisi geografis, historis dan potensi lainnya yang
dimiliki daerah setempat tidak diajarkan.
Dengan tidak adanya pendidikan
seperti itu, maka para siswa/i melangkah tanpa pegangan dan fondasi yang kuat. Pendidikan berbasis
keunggulan lokal harus diajarkan kepada
siswa/i. Anak didik nantinya akan kembali ke masyarakat dan berjuang
untuk meneguhkan identitas sebagai simbol eksistensi diri dalam percaturan sosial secara aktif (Jamal
M. Asmani 2012: 98). Ketika mereka sudah mengenal potensi yang ada di
masyarakat dan akan mengelolah sebagai produk unggulan di daerah mereka.
Realitas saat ini, banyak orang
yang sadar setelah menempuh pendidikan ditingkat perguruan tinggi (PT). Tidak
mungkin seorang bayi langsung berjalan sendiri tanpa melewati proses dan
tahapan pertumbuhan. Begitupun dengan pendidikan. Pendidikan keunggulan lokal
merupakan suatu kewajiban bagi setiap orang untuk mengetahui karena itu
berkaitan dengan identitas seperti yang dikatakan oleh toko adat (Itapi You, 2013) Ogaipaka iyeeko topipena meepaka iyeeko tetopipeko akiya peka enakato
beukitama enadanii , (orang yang berpendidikan tetapi tidak tahu budaya
ibarat kehilangan mata sebelah). Oleh
karena itu, kita harus menjaga kedua mata agar kita bisa melihat dan memandang
apa yang terjadi dalam kehidupan sosial.
Devide
Ed Impera Ala Indonesia di Papua
Pemerintah memiliki tugas dan
tanggungjawab dalam menyediakan pelayanan pendidikan, infrastruktur dan
fasilitas yang menunjang dalam proses belajar mengajar. Tetapi pemerintah saat
ini lari dari tugas tersebut dan mengambil alternatif untuk keselamatan dirinya
maupun keluarganya.
Pemerintah provinsi Papua tidak
serius dalam menangani problem pendidikan yang sangat memgkhawatirkan itu. Para
pejabat pemerintah menyekolahkan anak mereka di luar Papua bahkan di luar
negeri sehingga masyarakat kecil menjadi korban. Pemerintah saat ini berpikir
secara subjektif; pikir mereka “buat apa kita perhatikan pendidikan, anak saya
sudah sekolah”. Itulah yang terlintas dibenak pemerintah daerah.
Sementara itu tenaga pengajar
pun lari dari tugas mengajar. Problem
ini merupakan hubungan kausal jika dikaitkan dengan adanya banyak wilayah
pemekaran yang tidak memperhatikan aspek-aspek yang menjadi syarat terutama
sumber daya manusia (SDM). Hal ini akan menciptakan peluang bagi tenaga
pengajar yang ada untuk berpindah panggung (dari panggung pendidikan ke
panggung politik), akibatnya generasi muda menjadi korban.
Melihat kondisi ini, tidaklah
salah atau berlebihan bila kita katakan pemerintah NKRI melalui kepanjangan
tangannya (pemerintah daerah) menerapkan politik etik dalam pola atau metode
baru yang pernah diterapkan oleh pemerintah kolonial Belanda. Politik etik yang
didalamnya ada tiga bagian: pertama, pendidikan; kedua, irigasi; ketiga,
urbanisasi. Ketiga pokok penting ini dijadikan sebagai argumen pemerintah
Belanda untuk mengembangkan isu ditingkat internasional bahwa pemerintah
benar-benar memperhatikan masyarakat Indonesia.
Dari sisi pendidikan, kondisi
objektif dilapangan membuktikan bahwa yang bisa menganyam pendidikan hanya
golongan priyayi atau mereka yang secara sukarela menyatakan tunduk dan bekerja
sama dengan pemerintah Belanda. Begitu juga dengan kondisi pendidikan di provinsi
Papua saat ini. Pemerintah pusat menciptakan ketergantungan pemerintah daerah
Papua pada pusat. Sementara pemerintah daerah sendiri bingung antara perintah
dengan aspirasi atau kasarnya antara hidup dan mati. Konteks inilah yang
membuat pemerintah daerah mencari keselamatan sendiri, sementara masyarakat
menjadi korban.
Pembaharuan
Identitas Tugas “Generasi Muda”
Penjajahan secara produktif dalam
cara berpikir telah dilakukan terhadap bangsa Papua melalui serangkaian teori
dan pendekatan politik budaya yang deskriminatif , diperaktekan masif dalam
kerangka pembangunan masyarakat tertinggal. Maka tidak heran citra Papua yang
lahir kemudian adalah tidak berbudaya, bodoh, terbelakang, terasing, barbar, (I
Ngurah Suryawan, 2013). Semua stigma tersebut merupakan bagian dari upaya
pembunuhan karakter sekaligus budaya agar masyarakat Papua pada umumnya dan
khususnya suku Mee melupakan identitas mereka dan dapat digantikan dengan
identitas palsu.
Semua itu sengaja dilakukan oleh
negara melalui sistem maupun aktifitas kesehariannya masyarakat Papua pada
umumnya dan lebih khusus masyarakat Mee dapat dikendalikan dengan mudah sesuai
dengan kehendak negara. Oleh karena itu, tidak salah dan berlebihan jika saya
mengatakan bahwa masyarakat Papua saat ini diperbudak melalui sistem.
Kehidupan sosial dewasa ini
masyarakat Papua pada umumnya dan khususnya masyarakat Mee dituntut untuk
berpartisipasi dalam memaknai perkembangan jaman semakin pesat ini, dan itulah
suatu keharusan bagi setiap individu. Namun, kadang orang Papua pada umumnya
dan suku Mee melangkah tanpa dasar yang kuat sehingga mudah terdoktrin dengan
pengaruh yang berusaha mengarakan masyarakat pada ambang kehancuran. Konteks
bukanlah sebuah kebetulan, melainkan kesengajaan secara sistematis. Problem inilah
yang membuat masyarakat Papua pada umumnya dan khususnya masyarakat Mee untuk
menggali identitas aslinya agar dapat memperbaharui dan disejajarkan dengan
perkembangan jaman saat ini.
Persoalan ini akan dijawab oleh
kesadaran dan kepedulian masyarakat Papua pada umumnya dan khususnya masyarakat
Mee terutama generasi muda untuk merespon. Dengan demikian, secara
perlahan-lahan, masyarakat Mee akan dapat menemukan identitas aslinya dan dapat
diperbaharui sesuai dengan perkembangan jaman.
Aku Sang Liar
“ASLI”
Terimakasih untuk artikelnya, sangat menarik dan bermanfaat. Saya juga mempunyai tulisan sejenis mengenai jurnal serupa yang bisa Anda kunjungi Disini Happy sharing!
BalasHapus