Perkembangan Agama Bangsa Yahudi


“Review Buku: Sejarah Filsafat Barat . Filsafat Katolik, Bagian I  Para Bapa”

Oleh: Mikael Tekege

Sebagaimana yang diwaris oleh almarhum Imperium Romawi kepada kaum Barbar, berisi tiga unsur sebagai berikut: pertama, keyakinan-keyakinan filsafat tertentu, yang terutama bersumber dari Plato dan kaum Neoplatonis, namun untuk sebagian juga dari kaum Stoa; kedua, konsepsi mengenai moral dan sejarah yang bersal dari bangsa Yahudi; ketiga, teori-teori tertentu khususnya mengenai penebusan, yang secara garis besar merupakan pandangan baru dalam Kristianitas, sebagian dilacak sumbernya pada Orphisme dan pada kultus-kultus di kawasan Timur Dekat.

Unsur-unsur Yahudi terpenting dalam Kristianitas sebagai berikut: sejarah sakral, keberadaan sebagian kecil umat manusia yang dikasihi secara khusus oleh Allah (bagi umat Kristen, mereka adalah orang-orang terpilih), konsepsi baru mengenai  “kesalehan”,  hukum sebagian dari Ibrani (Dekalog) tetapi menolak bagian seremonial dan ritualnya, sang Mesias (Yesus), dan Kerajaan Surga.

I.                    Asal mula Keyakinan-keyakinan dalam Sejarah Yahudi

Sejarah bangsa Israel dituliskan dalam kitab Perjanjian Lama, dan mustahil (legenda) atau benar. Daud dan Salomo bisa diterima sebagai raja yang mungkin benar-benar ada, namun pada titik awal fakta jelas bahwa sudah terdapat dua kerajaan Israel dan Yehuda. Orang pertama yang disebut Dalam kitab Perjanjian Lama, memang terdapat catatan sejarah tersendiri adalah Ahab, Raja Israel yang dibicarakan dalam sebuah surat Assyria tahun 853 SM. Bangsa Assyria menaklukan kerajaan utara pada tahun 722 SM. Hanya kerajaan Yehuda yang melestarikan agama dan tradisi Israel. Namun, kerajaan Yehuda ditaklukannya Niniweh oleh orang-orang Babilonia dan Media pada tahun 606 SM. Pada tahun 586 SM, Nebuchadezzar menaklukkan Yerusalem, menghancurkan Bait Suci,  dan memindah sebagian penduduknya ke Babilon. Kerajaan Babilon jatuh pada tahun 538 SM, oleh Cyrus, raja bangsa Media dan Persia. Pada tahun 537 SM,  Cyrus mengeluarkan perintah yang mengizinkan bangsa Yahudi kembali ke Palestina. Dibawah pimpinan Nehemia dan Ezra, Bait Suci dibangun kembali dan ortodoksi Yahudi mulai terbentuk.

Selama periode pembuangan, sebelum dan sesudah periode itu, agama Yahudi mengalami perkembangan amat penting. Sudut pandang agama, pada mulanya tak tampak adanya banyak perbedaan antara agama orang Israel dan suku-suku sekitarnya. Mula-mula, Yahweh hanyalah dewa suku yang mengasihi bani Israel, namun dewa-dewa lain juga diakui dan itu merupakan adat. Ketika ada perintah pertama , “Jangan ada padamu Allah lain dihadapanKu”. Para nabi dari masa inilah yang pertama-tama mengajarkan pemujaan berhala adalah dosa. Terutama adalah Yeremia dan Yehezkiel menemukan ide bahwa hanya satu agamalah yang benar dan Tuhan akan menghukum penyembahan berhala.

Pembuangan atas bangsa Yahudi membuktikan bahwa kutukan para nabi. Jika Yahweh memang mahakuasa, dan bangsa Yahudi adalah kaum pilihan-Nya, maka penderitaan mereka hanya bisa dijelaskan perbuatan sesat mereka. Koreksi paternal bangsa Yahudi disucikan melalui hukuman. Dengan pengaruh kepercayaan ini, selama masa pembuangan mereka mengembangkan suatu ortodoks yang  lebih kuku.

Kitab-kitab historis Perjanjian Lama memberikan kesan yang keliruh, praktek-pratek pemujaan berhala yang ditentang para nabi merupakan penyimpangan atas keyakinan sebelumnya yang lurus. Para nabi adalah pembaharu hingga derajat yang jauh lebih besar daripada apa yang tampak dalam kitab Injil. Pentingnya hari sabat pertama kali ditekankan pada masa ini.

 “Akulah Tuhan, Allahmu, yang memisahkan kamu dari bangsa-bangsa lain” “Kuduslah kamu sebab Aku, Tuhan, Allahmu, Kudus”. Hukum Yahudi adalah produk dari periode ini. Ia merupakan salah satu kekuatan utama yang menyangga persatuan bangsa karena Para nabi, sangat nasionalistis.
Kitab Yesaya adalah karya dari dua nabi berbeda, sebelum dan sesudah pembuangan. Nabi kedua,  disebut Deutero-Yesaya yang paling menonjol  diantara para nabi karena dialah yang pertama kali  menuturkan bahwa “tidak ada Allah, selain Aku”. Kitab Perjanjian Lama (KPL) dipakai untuk membuktikan bahwa para nabi telah menubuatkan kedatangan Kristis.

Sesudah zamannya Ezra dan Nehemia, bangsa Yahudi untuk sementara lenyap dari sejarah. Negara Yahudi tetap tegak sebagai sebuah teokrasi, namun wilayahnya sangat kecil, antara sepuluh sampai lima belas mil di seputar Yerusalem. Sesudah kekuasaan Aleksander, kawasan itu dipertikaikan oleh dinasti Ptolemeus dan Seleucid, dan selama pertikaian bangsa Yahudi dibiarkan bebas melaksanakan ibadah agama mereka. Pepatah-pepatah moral mereka, pada masa ini, dijabarkan dalam kitab Eclesiasticus. Hingga sekarang, kitab ini hanya diketahui dalam versi bahasa Yunani; inilah sebabnya kitab ini di sisihkan dan disatukan dalam kitab Apocrypha. Pelajaran moralnya sangat duniawi. Kejujuran adalah sikap terbaik, karena orang perlu bersikap agar Yahweh berada di pihaknya.

Berlangsungnya sikap diri yang lurus yang begitu mantap ini menjadi berantakan, karena gangguan yang ditimbulkan raja Seleucid, Antiokhus IV, yang bertekad melakukan hellenisasi atas semua wilayah kekuasaannya. Pada tahun 170 SM, Antiokhus terlibat perang dengan Mesir, kaum Yahudi memberontak.  Ia bertekat memusnahkan agama Yahudi dan menghentikan adat khitan dan ketaatan terhadap aturan-aturan mengenai makanan. 

Sejarah periode ini dituturkan dalam kitab Makabe yang pertama. Pada bab pertama Antiokhus memberi perintah bahwa semua warga kerajaannya bersatu, membuang peraturan adat, dan banyak pula orang Israel mereka harus mencamari hari sabat, mempersembahkan korban daging babi dan semua yang tidak mematuhi akan dihukum mati. Namun, ada banyak orang Israel menetapkan hatinya bahwa lebih suka mati daripada  menodai dirinya dengan makanan semacam itu dan menodai dan begitu mencemarkan perjanjian kudus.

Pada masa inilah ajaran imortalitas menjadi dipercaya luas dikalangan bangsa Yahudi. Sebelumnya mereka yakini bahwa kesalehan akan mendapatkan imbalan dibumi ini, namun penganiayaan yang terjadi  yang menimpah orang-orang paling saleh membuktikan bahwa keyakinan tadi tidak benar. Untuk tetap menegakkan keadilan ilahi , perlu ditanamkan kepercayaan pada imbalan dan hukuman  sesudah mati. Ajaran ini tidak diterimah oleh seluruh kaum Yahudi, hingga pada zaman Kristus kaum Saduki masih menolaknya. Namun, selanjutnya semua orang Yahudi  percaya pada Imortalitas.

 Pemberontakan melawan Antiokhus dipimpin oleh Yudas Makabe, merebut kembali Yerusalem (164 SM). Untuk menabahkan diri melawan penganiayaan, bangsa Yahudi mempertahankan adat khitan dan makan daging babi diharamkan. Kitab Makabe Keempat, Townsend mengungkap:

“Telah disebutkan dengan jelas bahwa sekiranya Yudaisme sebagai agama telah musnah dibawah kekuasaan Antiokhus, persemaian Kristianitas akan lemah; dan demikianlah  darah para martir keluarga Makabe yang menyelamatkan Yudaisme, akhirnya menjadi benih-benih lahirnya Gereja. Dengan demikian, karena bukan hanya kekristenan namun juga Islam mengambil sifat monoteismenya dari sumber Yahudi, bisa dikatakan bahwa dunia sekarang ini dalam hal keberadaan monoteisme baik di Timur maupun Barat berhutang budi pada keluarga Makabe.”

Demikian pula bahwa yang menjadi pokok persoalan adalah masalah khitan dan makan daging babi. Dalam hal filsafat, kaum Yahudi di Aleksandria punya niat untuk belajar dari bangsa Yunani, namun mereka memiliki kesetiaan yang sangat tinggi terhadap Hukum Musa, terutama khitan, hari Sabat dan pantang makan daging babi. Sikap kuku inilah yang menyebabkan revolusi yang dilakukan Santo Paulus terhadap dominasi hukum Musa sangat penting.

Disepanjang Abad pertengahan, kaum Islam lebih beradab dan lebih manusiawi, ketimbang umat Kristen. Orang-orang kristen menganiaya bangsa Yahudi, terutama pada masa kegairahan keagamaan.

II.                  Kristianitas di Sepanjang Empat Abad Permulaan

Kristianitas pada mulanya, dikhotbhakan oleh bangsa Yahudi kepada bangsa Yahudi sebagai suatu Yudaisme yang telah diperbaharui. Santo James, dan dalam derajat lebih rendah juga Santo Petrus, mengharapkannya tetap dalam bentuk demikian itu sekiranya tidak ada Santo Paulus, yang bertekad merangkul kaum Kafir tanpa mewajibkan khitan dan atau kesetiaan terhadap Hukum Musa. Perbedaan pandangan kedua kelompok itu dibicarakan dalam “Kisah Para Rasul” dari sudut pandang Paulus. Kepastian-kepastian yang ditawarkan Yudaisme membuat keyakinan itu memancarkan daya tarik, tetapi kewajiban khitan menjadi halangan bagi para pemeluknya. Khitan dan peraturan-peraturan ritual sudah menyebabkan agama Ibrani nyaris mustahil menjadi keyakinan universal.

Pandangan bahwa Yahudi adalah kaum pilihan, betapapun tetap menyinggung harga diri bangsa Yunani , pandangan itu tetap ditolak secara radikal oleh kaum Gnostik. Gnostisisme membangun tempat di pertengahan antara Paganisme Filosofis dan Kristianitas, sebab sementara ia menghormati Kritus, ia pun memusuhi orang Yahudi. Sikap demikian itu berlaku, nantinya pada Manikheisme yang dari situ Santo Agustinus akhirnya memeluk iman Kristiani.

Manikheisme menggabungkan unsur-unsur Kristen dan Zoroastrian dan mengajarkan bahwa angkara adalah suatu prinsip positif, yang terwujud dalam materi, sementara prinsip kebaikan terwujud dalam ruh. Manikheisme mengharamkan makan daging, dan segala hubungan seks, bahkan yang dilakukan dalam pernikahan. Doktrin yang mengambil jalan tengah itu terjadi perpindahan kepercayaan secara berangsur-angsur pada orang-orang Yunani yang terpelajar, namun kitab Perjanjian Baru (KPB) mengingatkan para pemeluk kristen sejati terhadap ajaran seperti itu: “Hai Timotius, peliharalah apa yang dipercayakan kepadamu. Hindarilah omongan yang kosong dan yang tidak suci dan pertentangan yang berasal dari apa yang disebut pengetahuan (Gnosis) karena ada beberapa orang yang mengajarkannya dan dengan demikian telah menyimpan dari iman.

Salah satu ajaran Sekte Gnostik diambil alih oleh Muhammad. Mereka mengajarkan bahwa Yesus adalah manusia yang lumrah, dan bahwa putra Allah turun kepadanya ketika pembaptisan dan meninggalkan dia pada saat penderitaannya di kayu salib. Ajaran Gnostisisme terwariskan kedalam doktrin Islam ortodoks.

Yahweh berkembang  dari suatu dewa suku menjadi satu-satunya Tuhan mahakuasa yang mencipta surga dan neraka, keadilan ilahi, ketika tampaknya tidak menganugrahkan kesejahteraan kepada mereka yang menjunjung tinggi keutamaan, lantas dialihkan menuju surga, yang mensyaratkan kepercayaan terhadap imortalitas.

Sintesis filsafat Yunani dan Kitab Suci  Yahudi boleh dikatakan masih serampang dan fragmentaris sebelum tampilnya Origen (185-254 M) yang dianggap oleh banyak pihak sebagai pendiri Neoplatonisme. Origen menyebutkan bahwa tak ada yang sepenuhnya  tak berjasmani kecuali, Allah-Bapa, Putra dan Roh Kudus. Namun, didakwah telah menyebarkan empat bida’ah:

1.       Pra-eksistensi jiwa, seperti diajarkan Plato.

2.    Bahwa bukan hanya sifat ilahi Kristus, melainkan juga sifat manusiawi-Nya, yang telah ada sebelum Inkarnasi.

3.       Bahwa pada saat kebangkitan tubuh kita akan berubah menjadi tubuh-tubuh yang sepenuhnya etereal.
4.       Bahwa semua manusia, dan bahkan iblis pun,akhirnya akan diselamatkan.

Beberapa argumen Origen yang cukup mengherankan. Ia mengatakan bahwa para tukang sihir memohon kepada “Allahnya Abram”, seringkali tanpa mengetahui siapakah Dia, namun agaknya permohonan inilah yang diandalkan. Nama-nama adalah sesuatu yang penting dalam ilmu sihir, bukannya tak ada bedanya jika Allah disebut dengan nama-Nya yang berasal dari kaum Yahudi , Mesir, Babilonia, Yunani, atau Brahman.

Perkembangan kristianitas sebelum Konstastin maupun motif-motif perpindahan agamanya telah banyak dijelaskan oleh pelbagai penulis. Gibbon menyebut lima penyebab:

1.       Kekakuan dan, jika boleh memakai ungkapan ini, semangat umat kristen yang tidak toleran, yang memang bersumber dari agama Yahudi, namun lantas disaring lewat semangat yang sempit dan tidak berwatak sosial, sehingga bukannya merangkul namun justru menggentarkan golongan Kafir untuk menerima hukum Musa.

2.       Ajaran tentang kehidupan masa depan yang disempurnakan oleh pelbagai suasana tambahan yang memberi bobot serta peningkatan pengaruh bagi kebenaran yang penting itu.

3.       Kekuatan-kekuatan mukjizat yang diyakini pada umat Gereja primitif.
4.       Moral umat kristen yang murni dan keras.
5.     Persatuan dan disiplin republik Kristen, yang berangsur-angsur membentuk sebuah negeri mandiri dan kian kokoh didalam jantung Imperium Romawi.

Periode sejak Konstantin hingga Konsili Kalsedon (451). Ada dua persoalan yang meresahkan dunia Kristen secara berturut-turut: pertama, hakikat Trinitas, dan selanjutnya adalah ajaran tentang Inkarnasi. Arius , seorang Aleksandria yang terpelajar berpendapat bahwa Putra tidak sederajat dengan Bapa, melainkan diciptakan Oleh-Nya.

Ajaran-ajaran Arius dikecam oleh Konsili Nicaea (325) berdasarkan mayoritas meyeluruh. Athanasius,  yang menjabat Uskup Aleksandria  328 hingga wafat, berkali-kali diasingkan karena kegigihannya untuk mendukung ortodoksi Nicene. Dalam kontroversi itu, perasaan kebangsaan yang tampak lenyap sejak penaklukan oleh Romawi, lantas bangkit kembali. Konstantinopel dan Asia condong pada Arianisme; Mesir adalah pendukung fanatik Athanasius; kawasan Barat tetap setiah pada Konsili Nicaea. Setelah kontroversi Aria itu berakhir, sejumlah kontroversi baru yang sejenis pun muncul, di mana  Mesir berpandangan bida’ah disatu jurusan dan Siria di jurusan lain.  Pelbagai pandangan bida’ah itu, yang dihukum oleh kalangan ortodoks, menggoyahkan persatuan Imperium Timur, dan membuka jalan bagi penaklukan umat Islam. Dari situlah awal munculnya separatis berkaitan dengan persoalan-persoalan teologi.

Para Kaisar, sejak tahun 335 hingga 375, mendukung pendapat-pendapat kalangan Aria sejauh mereka punya keberanian, terkecuali Yulianus sang Pengingkar (361-363) yang bersikap netral dalam kaitannya dengan perselisihan internal umat Kristen. Akhirnya, ditahun 379, Kaisar Theodosius memberikan dukungan penuh kepada umat Katolik, sehingga lengkaplah kemenangan mereka diseluruh Imperium.

III.                Tiga Doktor Gereja

Ada empat tokoh disebut para Doktor Gereja Barat: Santo Ambrose, Santo Jerome, Santo Agustinus dan Paus Gregorius Agung. Diantara mereka, tiga tokoh yang disebut pertama hidup sezaman, sedangkan tokoh keempat hidup pada masa yang lebih belakangan. Peradaban mundur selama berabad-abad, hampir seratus tahun kemudian ketika Dunia Kristen melahirkan kembali para tokoh yang sederajat dengan mereka dalam bidang pemikiran dan kebudayaan. Disepanjang zaman kegelapan dan periode pertengahan, otoritas mereka dihormati; lebih daripada para tokoh lainnya, mereka menetapkan batasan-batasan yang menjadi landasan bentuk Gereja.

Secara garis besar, Santo Ambrose menetapkan konsepsi eklesiastik mengenai hubungan antara Gereja dan Negara; Santo Jerome, menyumbangkan bagi umat Gereja Barat kitab Injil berbahasa Latin dan sebagian besar dorongan menuju monastisisme; sedangkan Santo Agustinus menyempurnakan teologi Gereja sampai gerakan Reformasi, dan kemudian, sebagian besar ajaran Luther dan Calvin. Tak banyak tokoh yang melampaui ketiganya, dalam hal pengaruh terhadap perjalan sejarah.
 


 
Bertrand Russel, 2007: 415-450.  Sejarah Filsafat Barat,” Kaitannya dengan kondisi sosio-politik, Zaman kuno hingga sekarang”, Pustaka Pelajar: Yogyakarta

Baca Juga Berita Terkait

Tidak ada komentar:

Leave a Reply