Oleh: Ipou Igo’n
Pengantar
![]() |
(Papua, Google.com) |
Masyarakat Papua Barat telah
mengalami berbagai macam kenangan pahit yang sulit dilupakan (memoria passionis) dalam bingkai Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Semua kisah pahit tersebut merupakan bukti
bahwa masyarakat telah mengalami atau pernah berada dalam konteks memoria yang akan dituangkan dalam tinta
sejarah dan dikenang oleh generasi berikut sebagai referensi dalam menata masa
depan kehidupan masyarakat bangsa Papua Barat. Sudah bukan rahasia lagi, akar
dari semua kenangan pahit itu adalah sejarah aneksasi Papua Barat kedalam
pangkuan NKRI yang terjadi pada 19 Mei 1961. Kini generasi muda bangsa Papua
telah menaruh harapan pada perjalanan panjang bangsa yang kita sebut dengan “history”seperti yang dikatakan oleh Che
Guevara bahwa “sejarah akan membebaskanku.” Satu kata kunci untuk menyelesaikan
konflik berkepanjangan di Papua Barat adalah “sejarah”
Konteks
kehidupan bangsa Papua Barat selama 53 tahun yang masih berjalan ditempat,
menambah kenyataan pahit. Setiap jerit tangis anak bangsa Papua Barat seakan
menyiksa diri karena tidak ada yang mau mendengarkan dan peduli. Mungkin
tatanan hidup sosial seperti itulah yang diharapkan negara ini beserta
kroni-kroninya yang berkepentingan di bumi Cenderawasih. Negara (baca
pemerintah pusat) telah berhasil memetahkan orang Papua dalam sub-komunitas
demi mempersempit ruang gerak. Tanpa disadari, bahkan dibawa alam sadar, orang
Papua Barat telah terpengaruh dengan penerapan politik devide ed impera gaya Indonesia (pemekaran) hingga berujung pada
hilangnya budaya kolektivitas dalam perjuangan.
Berdasarkan
realitas, pendekatan pembangunan dan kesejahteraan yang tidak mengindahkan
nilai-nilai budaya yang ada, tetap diimplementasikan di tanah Papua. Masyarakat
yang tidak berpartisipasi dianggap separatis, Organisasi Papua Merdeka (OPM)
dan Gerakan Pengacau Keamanan (GPK) sehingga dipukul, diancam dan ditembak mati.
Dengan demikian, partisipasi masyarakat dalam pembangunan diberikan secara
semu. Berbagai macam kebijakan yang dilegitimasi oleh pemerintah pusat, tidak
membawa perubahan signifikan dalam kehidupan masyarakat Papua Barat malahan
memberi ancaman bagi kelangsungan hidup masyarakat Papua Barat itu sendiri.
Jika ditarik kembali ke belakang, perumusan kebijakan dipandang lebih mengarah
kepada kepentingan ekonomi politik antara Indonesia dan Amerika Serikat
sehingga masyarakat khususnya masyarakat Papua Barat menjadi pihak yang
dikorbankan. Kebijakan instan ini, pada akhirnya tidak menghasilkan kebijakan
alternatif terbaik bagi penyelesaian konflik di Papua Barat.
Kondisi
Objektif Papua
Seperti yang telah
dijelaskan sebelumnya bahwa akar persoalan di Papua Barat adalah sejarah
aneksasi Papua Barat yang terjadi pada tahun 1961. Saat itu pemerintah
Indonesia berusaha membungkam proses tersebut dengan kebijakan Penentuan
Pendapat Rakyat (PEPERA). Akibatnya adalah persoalan di dari tahun ke tahun
Papua Barat semakin meningkat, bahkan setelah penerapan Otonomi Khusus (OTSUS),
pelanggaran HAM masih tetap saja terjadi. Menarik bila kita menelaah apa yang
dikatakan oleh (Ahmad Erani Yustika, 2003:2) bahwa:
“Selama arah kemudi negara ini
masih menuju ke lima tiang penjuru tiang negara (lima sila) tersebut, tidak ada
alasan bagi penduduk yang telah sudi tunduk pada cita-cita bersama tadi
mencobah untuk melawannya. Sebaliknya, apabila
lima pandu cita-cita negara itu hanya merupakan busa pidato setiap
pejabat tanpa ada kesanggupan untuk mengerjakannya (atau malah dengan bangga
memanipulasinya), maka jalan pemisahan diri adalah hal yang paling rasional
untuk diupayakan”
Jelaslah
bahwa tawaran instan dalam bentuk kebijakan maupun pembangunan dan
kesejahteraan sudah menjadi tawaran yang basi, artinya sudah tidak relevan
dengan konteks kehidupan masyarakat Papua Barat. Selama puluhan tahun,
masyarakat Papua Barat hidup dibawah tekanan atas bahaya kehilangan kontrol
oleh negara sambil menstigmatisasi, teror dan propaganda untuk membunuh
karakter masyarakat itu sendiri. Sekian tahun masyarakat Papua Barat tidak
ditolong untuk mengenal jati diri mereka sebagai orang Papua Barat. Masyarakat
tidak merasakan hidup dalam suasana demokrasi, mereka (masyarakat) tidak
merasakan apa itu keadilan, apa itu undang-undang, apa itu hukum. Singkat kata
aturan yang berlaku dalam kehidupan masyarakat Papua Barat adalah hukum rimbah
yang menghendaki bahwa “orang atau kelompok kuatlah yang menang”.
Kondisi
kehidupan masyarakat Papua Barat saat ini bertentangan dengan lima tiang
penjuru arah kemudi negara yang telah dikonsepkan oleh the founding fathers bangsa Indonesia sehingga tuntutan bangsa
Papua Barat untuk melepaskan diri dari NKRI merupakan hal wajar dan rasional
yang perlu diupayakan. Selain itu, dalam
UUD 1945 pada alinea pertama pun menghargai eksistensi suatu bangsa, termasuk
bangsa Papua Barat untuk bebas dari penjajahan atau kolonialisme:
Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu
ialah hak segala bangsa, oleh sebab itu maka penjajahan diatas dunia harus
dihapuskan karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan.
Perjuangan
setiap bangsa telah dijamin oleh hukum dan HAM internasional yang diperincikan
kedalam Undang-undang setiap negara (termasuk Indonesia) seperti kutipan di
atas. Namun, negara ini termakan oleh UUD-nya sendiri sehingga menembak mati
para pejuang, memenjarakan para pejuang kemerdekaan serta memporak-poranda
kehidupan sosial bangsa lain (Papua). Berangkat dari kondisi seperti ini
penulis melihat ada tiga poin penawaran solutif yang coba dibedah dari
kehadiran tiga kelompok besar yakni Organisasi Papua Merdeka (OPM), pemerintah
dan Jaringan Damai Papua (JDP). Ketiga poin tersebut antara lain;
Organisasi
Papua Merdeka
Organisasi Papua
Merdeka (OPM) dengan tawaran refrendumnya saat ini masih berpegang teguh pada
prinsip sejarah perebutan tanah Papua Barat itu sendiri melalui Penentuan
Pendapat Rakyat (PEPERA) 1969 yang dinilai cacat hukum. Pelaksanaannya
diserahkan kepada Indonesia sehingga Act
Of Free Choice 1969 (PEPERA) di Papua Barat dilaksanakan penuh dengan
ketidakadilan dan diluar dari mandat atau amanat perjanjian New York,
yakni satu orang satu suara (one man, one vote) tetapi pada
pelaksanaan hanya 1026 orang Papua Barat dilibatkan sebagai perwakilan yang
ditentukan oleh pemerintah Indonesia sendiri.
Bahkan
sebelum PEPERA dilaksanakan, pemerintah Indonesia dibawah kepemimpinan Soekarno
telah mengeluarkan Tri Komando Rakyat (Trikora) pada 19 Desember 1961 untuk membantai
orang-orang Papua yang pro kemerdekaan untuk mendirikan negara West Papua. Oleh
karena itu, perlu dilakukan refrendum ulang.
Pemerintah
NKRI
Pemerintah dengan
tawaran kesejahteraan dan pembangunan. Pemerintah sejak dulu hingga kini masih
berpegang teguh pada pembangunan dan kesejahteraan akan menyelesaikan persoalan
tumpang tindi di Papua Barat, sehingga Papua Barat perlu diperhatikan secara
khusus melalui kebijakan khusus pula (UU No. 21/2001, UP4B dan lain-lain).
Namun, realitasnya kebijakan ini menjadi suatu sumber konflik yang
memperpanjang persoalan dalam kehidupan bangsa Papua Barat.
Pembangunan
dan kesejahteraan merupakan tawaran instan dari pemerintah yang merupakan
kepanjangan tangan dari Jakarta tanpa memperhatikan akar persoalan yang sebenarnya.
Pemerintah pusat maupun elit politik lokal berusaha memekarkan sejumlah Daerah
Otonomi Baru (DOB) sebagai jawaban atas persoalan Papua Barat namun upaya
tersebut tidak menjamin adanya perubahan fundamental yang signifikan dalam
kehidupan masyarakat Papua Barat. Malah upaya ini menjadi satu persoalan baru
bagi masyarakat Papua Barat karena pemekaran bukanlah yang dikehendaki oleh
masyarakat itu sendiri.
Pemekaran
DOB di Papua Barat memiliki dua perpektif yang berbeda dan saling menguntungkan
antara pemerintah pusat dan elit politik lokal, yakni pertama, pemerintah pusat
hanya mengejar pertahanan keutuhan teritorial untuk meminimalisir gerakan kaum
nasionalis Papua (baca pemerintah pusat); kedua, elit politik lokal, hanya
mengejar kekuasaan politik lima tahunan dalam birokrasi atau mengejar harta,
tahta dan wanita (baca aktor lokal). Dalam konteks ini masyarakat Papua Barat
berada pada pihak korban dari kedua kepentingan ini.
Jaringan
Damai Papua
JDP menawarkan solusi
Dialog Damai untuk pelurusan sejarah yang dimediasi oleh pihak ketiga (PBB)
secara netral; Konsep dialog lahir dari kondisi objektif yang telah dan sedang
terjadi dalam kehidupan masyarakat Papua (manipulasi sejarah, pelanggaran HAM,
ketidakadilan dan lain-lain). Dialog untuk memperjelas atau mengidentifikasi
letak persoalan tumpang-tindi disemua aspek kehidupan masyarakat Papua secara
damai dengan mengutamakan prinsip keterbukaan, kejujuran dan keadilan. Dalam konteks
dialog tersebut, pemerintah NKRI maupun masyarakat Papua harus meletakkan
kepentingan masing-masing (papua berada dalam NKRI atau merdeka), sehingga saling terbuka dan mengakui
kesalahan masing-masing pihak. Dari persoalan yang diidentifasi ini menjadi
pedoman dalam menentukan jalan keluar (solusi) untuk menyelesaikan persoalan
yang berkepanjangan ini.
Kesimpulan
Dari ketiga tawaran
solusi penyelesaian yang ditawarkan oleh OPM, Pemerintah dan Jaringan Damai
Papua, dapat menarik kesimpulan berdasarkan realitas konteks kehidupan
masyarakat bangsa Papua Barat, (seperti yang dijelaskan diatas ini) bahwa
tawaran kesejahteraan dan pembangunan dari pemerintah telah gagal, bahkan
tawaran ini bukanlah substansif persoalan. Kemudian tawaran refrendum dari OPM
dan juga dialog dari JDP menjadi dua konsep alternatif penyelesaian persoalan di Papua yang perlu
didukung dan diperjuangkan oleh elemen-elemen yang menginginkan terselesainya
persoalan berkepanjangan di semua aspek kehidupan masyarakat Papua.
Saya telah berpikir bahwa semua perusahaan pinjaman online curang sampai saya bertemu dengan perusahaan pinjaman Suzan yang meminjamkan uang tanpa membayar lebih dulu.
BalasHapusNama saya Amisha, saya ingin menggunakan media ini untuk memperingatkan orang-orang yang mencari pinjaman internet di Asia dan di seluruh dunia untuk berhati-hati, karena mereka menipu dan meminjamkan pinjaman palsu di internet.
Saya ingin membagikan kesaksian saya tentang bagaimana seorang teman membawa saya ke pemberi pinjaman asli, setelah itu saya scammed oleh beberapa kreditor di internet. Saya hampir kehilangan harapan sampai saya bertemu kreditur terpercaya ini bernama perusahaan Suzan investment. Perusahaan suzan meminjamkan pinjaman tanpa jaminan sebesar 600 juta rupiah (Rp600.000.000) dalam waktu kurang dari 48 jam tanpa tekanan.
Saya sangat terkejut dan senang menerima pinjaman saya. Saya berjanji bahwa saya akan berbagi kabar baik sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres. Jadi jika Anda memerlukan pinjaman, hubungi mereka melalui email: (Suzaninvestment@gmail.com) Anda tidak akan kecewa mendapatkan pinjaman jika memenuhi persyaratan.
Anda juga bisa menghubungi saya: (Ammisha1213@gmail.com) jika Anda memerlukan bantuan atau informasi lebih lanjut