Sejarah Bukan Sejahtera



Oleh: Ipou Igo’n

Sejarah tidak bisa ditawar dengan kesejahteraan, begitu juga sebaliknya. Memoria passions bagi masyarakat Papua  berawal dari sejarah dan sejarah pula yang akan mengakhiri semua penderitaan masyarakat bangsa Papua.

Sebenarnya kehidupan orang Papua Barat sudah sejahtera, tetapi sejarah menciptakan konflik yang berkepenjangan. Namun, pemerintah saat ini hanya berpikir bagaimana meningkatkan pembangunan dan kesejahteraan secara represif  berdasarkan pendekatan militeristik yang sangat kejam. Berusaha membungkam sejarah dengan kebijakan istan dan murahan.

Selama puluhan tahun berlalu, rakyat Papua Barat berjalan ditempat yang sama atau hidup dalam berbagai bentuk penindasan yang seakan-akan bagian integral dari kehidupan mereka.  Semua persoalan itu berawal dari sejarah politik bangsa Papua Barat yang sangat berbeda dengan bangsa Indonesia, sehingga segala bentuk kejahatan kemanusiaan yang dilakukan oleh NKRI merupakan bagian integral dari upaya untuk membungkam atau menyembunyikan fakta sejarah yang ada. Pemerintah melakukan upaya represif untuk menanamkan jati diri ke-Indonesia-an terhadap orang Papua. Namun, upaya yang tidak humanistik ini tidak berhasil dan membawah suatu hubungan kausalitas bagi pemerintah pusat maupun masyarakat Papua Barat.

Segala macam tawaran bersama kucuran dana triliunan rupiah yang diberikan oleh pemerintah pusat kepada rakyat Papua Barat melalui kepanjangan tangan selama ini dalam realitas objektif membuktikan bahwa tidak ada niat baik untuk membangun Papua dengan hati. Sehingga aplikasi atau implementasinya masih jauh dari harapan yang telah dikonsepkan dalam kebijakan maupun undang-undang. Berdasarkan konteks tersebut Adriano (2001) mengatakan“Pihak pemerintah atau siapapun perlu membuat komitmen baru tentang pembangunan di Papua sebagai sesuatu yang betul-betul “membangun” dan “menghidupkan” bukan sesuatu yang menghancurkan dan mematikan harkat kemanusiaan. Hal ini penting mengingat untuk kepentingan integrasi Bangsa kedepan.” Kutipan ini sekaligus mempertegas argumen bahwa berbagai macam metode digunakan untuk menanamkan jati diri palsu kepada masyarakat papua.

Demi kepentingan menanamkan jati diri ke-Indonesiaan kepada orang Papua Barat, pemerintah pusat menganggap masyarakat Papua Barat pada umumnya tidak mempunyai budaya, bahkan budaya yang ada merupakan suatu ancaman atas bahaya hilangnya kendali atau kontrol negara ini, seperti yang dikatakan oleh Wanaha, dkk dalam (Adrianto, 2001). Para pembaharu dan perancang pembangunan menganggap masyarakat lokal “tidak memiliki budaya” sehingga patut “diberikan budaya baru” untuk menggantikan budaya tradisional mereka yang dianggap primitif dan patut diganti dengan budaya modern.Akibatnya rakyat papua yang hidup dalam bingkai negara ini semakan lupa budaya. Dan hal ini sengaja diciptakan atau dilakukan oleh negara ini. Pemerintah tidak menolong rakyat  untuk mengenal jati diri mereka (rakyat Papua Barat) yang sebenarnya. Dimata pemerintah pusat, kebudayaan tradisional dianggap sebagai suatu ancaman disitegrasi dalam menjalankan misi kepentingan ekonomi politik diseluruh tanah Papua.

Gus Dur: Kesejahteraan dan Damai

Presiden NKRI yang keempat oleh sebagian masyarakat Papua Barat khususnya dan rakyat Indonesia pada umumnya dianggap sebagai Bapak pluralis, demokrasi, humanis, dialogis dan lain-lain. Memang pemimpin seperti inilah yang diharapkan oleh rakyat Indonesia pada umumnya, namun yang menjadi pertanyaan bagi masyarakat Bangsa Papua Barat adalah apakah cukup dengan anggapan itu sehingga melupakan sejarah Politik Papua Barat? Sementara Gus Dur membatasi dan bersikap tegas terhadap usaha bangsa Papua memisahkan diri dari NKRI. 

Hal itu diungkapkan dalam pidato politik Presiden Gus Dur yang disampaikan kepada wartawan  di istana Merdeka pada kamis, 30 november 2000 dalam Adrianto (2001:164) “langkah-langkah komprehensif untuk menyelesaikan masalah Aceh dan Irian Jaya (Papua Barat) yang terus dilakukan pemerintah dalam kerangka solusi damai dalam bingkai NKRI, dan lebih mengutamakan pendekatan dialog dan komunikasi politik hendaknya terus dilakukan dengan baik. Oleh karena itu, setiap upaya yang menyimpan dari semangat dan komitmen ini, apa lagi bila berbentuk suatu gerakan untuk memisahkan diri dari NKRI tentu akan dihentikan serta diberikan tindakan tegas sesuai konstitusi, amanah MPR dan hukum yang berlaku”.“Tuntutan masayarakat Aceh dan Irian Jaya (Papua) yang bersifat politis yaitu menuntut kemerdekaan tidak dapat ditolerir pemerintah pusat. Tetapi pemerintah masih tetap peduli dan mau mendengarkan suara hati rakyatnya”.  (Gus Dur, Gugat, Desember 2000). Berdasarkan status politik Papua Barat, rakyat mengalami berbagai macam pengalaman hidup pahit yang sulit dilupakan (memoria passionis). Tidak cukup hanya dengan dialog, damai dan kesejahteraan bagi rakyat Papua Barat tanpa pembebasan totalitas untuk mengatur dan mengurus dirinya sendiri (merdeka penuh). Suatu hal signifikan yang perlu dipahami oleh masyarakat Papua khususnya dan Indonesia pada umumnya bahwa memoria passionis merupakan hubungan kausalitas dari sejarah politik Papua Barat itu sendiri.

Pengalaman membuktikan bahwa ketika ada orang Papua Barat yang berbicara soal makan dan minum merupakan kepanjangan tangan pemerintah pusat yang memanfaatkan isu Papua merdeka demi kepentingan kekuasaan diatas penderitaan rakyat Papua Barat. Oleh karena itu, beribu-ribu nyawa orang Papua yang telah dan akan menjadi korban itu tidak cukup dengan kata “damai” dan “kesejahteraan”. Jika mereka korban atas kebenaran sejarah demi kemerdekaan dinegerinya, maka kemerdekaan adalah jawaban atas memoria pasionis itu sendiri.

Jokowi Bagi Masyarakat Papua

Saya terkaget ketika nama Jokowi disebut-sebut oleh masyarakat di pedalaman Papua yang tidak  mendapatkan akses informasi. Kita tidak dapat  memungkiri bahwa Jokowi membangun image yang baik dikalangan publik dan pintar mencuri hati rakyat sehingga namanya terpopuler.

Terlalu mudah bagi berbagai kalangan mengambil kasimpulan bahwa Jokowi adalah sosok yang tepat menjadi Presiden Indonesia ditengah potensi multietnis dan multikultur. Mungkin berbagai kalangan saat ini berpikir bahwa rakyat Indonesia hanyalah masyarakat Jakarta yang tentunya memiliki karakter yang berbeda dengan masyarakat di wilayah lain.

Beberapa minggu lalu, Jokowi telah melakukan kampanye politik di Papua dan mendapatkan respek yang sangat baik dari masyayarakat Papua. Namun, mungkin masyarakat tidak mengerti atau lupa dengan segudang pengalaman yang telah dialami bersama, bahwa menjelang pileg dan pilpres banyak politisi berusaha akrab dengan rakyat hanya untuk mencari dukungan suara. Setelah menduduki jabatan mereka berpikir besok dapat apa dan makan siapa.

Untuk masyarakat Papua yang telah terhipnotis dengan popularitas Jokowi, perlu diingat bahwa “kita dijajah”. Pembangunan dan kesejahteraan dalam bingkai NKRI merupakan mimpi siang bolong. Semua persoalan ini terjadi karena kita di jajah, maka kita tidak perlu mengharapkan mereka untuk merespon persoalan, selain kitalah yang menentukan nasib sendiri.

Sejarah kolonial di belahan bumi ini membuktikan bahwa, tidak ada cerita penjajah yang membangun dan menyejahterakan bangsa yang dijajah. Namun, yang ada hanyalah penindasan, pembunuhan, pemerkosaan, pengeksploitasian kekayaan alam dan perusakan tatanan hidup sosial.

Perlu kita ketahui bersama, semangat dasar kolonialisme dengan tiga pilar utama untuk menaklukkan bangsa jajahan adalah; dominasi politik, eksploitasi ekonomi dan penetrasi budaya. Oleh karena itu, bagi masyarakat Papua tidak ada harapan dan misi keselamatan di dalam negara ini.Masyarakat Papua jangan hanya mencari keselamatan pribadi, tetapi harus mengambil sikap golput terhadap PilPres ini.

Golput adalah hak setiap orang yang dijamin oleh prinsip demokrasi (kebebasan). Bebas menentukan pilihan, dalam arti bahwa memberikan suara atau golput sehingga tidak perlu dikawatirkan. Bagi masyarakat Papua golput akan membuka ruang untuk mendapatkan jawaban atas semua persoalan ini. Sikap kita akan menentukan masa depan Papua, dan sikap kita akan menjadi tindakan bagi mereka yang peduli dengan konteks kehidupan kita.

Masyarakat Papua yang ingin bebaskan diri dari semua belenggu persoalan dalam semua lini kehidupan, mari mengembil sikap yang bijak dengan golput. Memilih adalah hanya untuk memperpanjang persoalan yang ada, karena pilihan kita menentukan siapa yang akan memperlakukan kita seperti biasa dialami selama ini. Kita memilih sama saja, memilih setan untuk memperpanjang persoalan. Mari mengambil sikap golput sebagai justifikasi mutlak demi mendapatkan jawaban atas penindasan ini.

Sikap golput dari rakyat Papua, selain demi keselamatan juga sebagai sebuah bentuk penghargaan terhadap semua kalangan yang selama ini berjuang demi harkat dan martabat bangsa Papua. Masyarakat Papua partisipasi dalam pilpres merupakan sebuah bentuk pengimis terhadap NKRI. Kita jangan mengemis kepada negara ini, karena negara ini bukanlah siapa-siapanya kita. Pikiran yang ada dalam otak negara ini hanyalah seperti yang kita alami selama ini.

Rakyat Papua mari kita pertahankan moto kita “one people, one soul”.  Dan memaknai moto kita dalam menentukan dan mengambil sikap yang mutlak, yakni “satu rakyat satu semangat” untuk golput.

Baca Juga Berita Terkait

Tidak ada komentar:

Leave a Reply