Papa Minta Saham, Papua Minta Keadilan



(Foto dok pribadi TS, ASLI)

TANPA SUARA_ Pada akhir-akhir ini, saya sebagai orang Papua, pikiran saya terganggu ketika permasalahan kontrak karya PT. Freeport Indonesia yang mengeruk perut bumi Timika Papua itu diperbincangkan melalui berbagai media cetak maupun elektronik dengan topik  “Papa Minta Saham” yang kemudian mengalahkan pemberitaan lainnya. Persoalan itu muncul ketika pemerintah mewajibkan perusahaan asal Amerika itu melepaskan sebagian sahamnya kepada pemerintah Indonesia (divestasi) dan membangun smelter (pemurnian bahan tambang). Semua biaya pembangunan smelter ini, diserahkan kepada perusahaan raksasa ini. Namun sebagai perusahaan yang mengejar keuntungan sebesar-besarnya, tentu merasa rugi dengan syarat yang diwajibkan oleh pemerintah ini.

Ternyata, konteks ini dimanfaatkan oleh para pemburuh rente. Para pemburu rente ini kemudian berusaha menjawab keraguan para petinggi perusahaan ini dengan bargaining position baru demi kepentingan peribadi dan kelompoknya.  Pada pertemuan 8 Juni 2015 di Rirz-Carlton, Setya Novanto yang ditemani oleh pengusaha minyak Muhammad Riza Chalid dengan Maroef Syamsoedin dengan mencatut nama Presiden Joko Widodo yang mengizinkan perpanjangan kontrak karya PT Freeport yang berakhir 2021. Sebagai imbalannya, Setya Novanto meminta 49 persen saham pembangkit listrik UGIMUKA di Paniai Papua.

Meskipun sudah terbukti salah dan telah menjadi perhatian publik, tetapi para elit politik  yang telah dan sedang mendapatkan hasil dari perusahaan raksasa ini berusaha membenarkan diri dengan merasa tidak bersalah sedikit pun, bahkan lebih mengherankan lagi, mereka tidak merasa malu sedikit pun. Konteks ini memberikan gambaran kepada kita bahwa banyak pemburu rente di Jakarta akan mengalami kerugian ketika perusahaan asing ini angkat kaki dari bumi Cenderawasih. Mereka khawatir, lahan suburnya tidak memberikan keuntungan. 

Kekhawatiran inilah yang kemudian membuat para elit pemburu rente ini berusaha  kedudukan mereka sebagai wakil rakyat menjadi kesempatan untuk memperkaya diri dan kelompoknya dengan cara-cara kotor ini. Para pemburu rente ini mungkin lupa atau dilupakan oleh kepentingannya tentang berbagai macam persoalan yang dimunculkan oleh perusahaan asal Amerika yang memakai nama Indonesia ini. Pencemaran lingkungan, pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), perampasan tanah adat dan ketidakadilan yang merendahkan harkat dan martabat manusia Papua, terutama suku Amungme dan Kamoro di Timika Papua itu dianggap biasa oleh para pemburu rente ini.

Bahkan mereka lupa dan tidak tahu bahwa kekayaan alam yang dikuras oleh perusahaan asing ini adalah milik rakyat Papua yang telah dan sedang dikorbankan, hingga tidak dilibatkan ke dalam perbincangan ini. Apa lagi dilibatkan dalam pengambilan keputusan tentang status keberadaan perusahaan ini. Rakyat Papua, terutama suku Amungme dan Komoro, bingung bahkan tidak percaya dan tidak mengerti  apa yang sedang diperbincangkan di Jakarta tentang Papa Minta Saham ini. Sikap bingun, tidak percaya dan tidak mengerti ini bukan karena mereka bodoh, tetapi mereka membayangkan bagaimana hak milik mereka, kekayaan alam mereka yang dikuras sambil menindas dan memenjarahkan kehidupan mereka itu dijadikan sebagai kepentingan yang diperbincangkan tanpa dilibatkan oleh orang-orang yang tidak dikenal dalam kehidupan mereka.

Papua Minta Keadilan

Sudah bukan rahasia lagi, rakyat Papua pada umumnya dan khususnya suku Amungme dan Kamoro di Timika Papua adalah korban atas kepemilikan kekayaan alam yang dikuras secara tidak adil oleh perusahaan asing dengan mengabaikan nilai kemanusiaan dan keadilan demi kepentingan keuntungan berlipat ini.

Hampir setiap tahun terjadi penembakan misterius, pembunuhan kilat oleh Orang Tak Dikenal (OTK) di areal PT asing ini yang hingga kini belum terungkap siapa pelakunya. Pencemaran lingkungan kini mencapai rekor dunia akibat pembuangan limbah tailing perusaan ini, sungai Ayikwa tidak memberi makna hidup bagi suku Kamoro, lahan perburuan menyempit, hutan sagu digusur hingga tercipta ketergantungan terhadap dana nol persen dari hasil kotor yang kemudian disebut dengan Development Comunity (CD) atau Corporate Social Responsibility (CSR).

Perusahaan yang mulai beroperasi berdasarkan UUPA No. 1 tahun 1967 itu seharusnya memberikan kesejahteraan kepada masyarakat Papua pada umumnya, terutama masyarakat yang berada di areal perusahaan ini, justru menjadi penindas yang lebih mengutamakan kepentingan keuntungannya. Rakyat Papua pada umumnya tentu sangat kecewa dengan keberadaan penindas raksasa asing ini. Bentuk kekecewaan mereka ditunjukan dalam berbagai bentuk aksi demonstrasi secara damai. Namun, pemerintah Indonesia menanggapi aksi kekecewaan ini dengan kekerasan melalui aparat keamanan dan militer yang telah dijadikan sebagai pagar bagi perusahaan asing ini. 

Rakyat Papua telah dijadikan sebagai musuh negara, meskipun rakyat mengungkapkan kekecewaan atas kekayaan alam yang dirampas secara tidak adil. Kalau seperti ini, pantaslah rakyat Papua terutama suku Amungme dan Kamoro tidak dilibatkan dalam perbincangan tentang perpanjangan kontrak karya ini. Para petinggi negara yang lebih mengejar rente ini berusaha memperjuangkan kepentingan pribadi dengan kelompoknya. Para elit ini berlomba meminta dan mendapat serta mempertahankan saham yang diberikan oleh perusahaan ini. Para aparat dan militer yang selama ini mendapatkan keuntungan dari perusahaan ini dapat dipastikan bahwa tidak ingin kontraknya diputus.

Di sini menjadi jelas, rakyat Papua yang menuntut keadilan atas kepemilikan yang kemudian dianggap sebagai musuh negara itu, ternyata untuk melindungi kepentingan keuntungan yang mereka dapat dari penindas raksasa asing itu. Atau dengan kata lain, Papa Minta Saham, tetapi dilindungi dan dibela mati-matian dan Rakyat Papua Minta Keadilan diperhadapkan dengan moncong senjata.

Kepada Siapa Papua Minta Keadilan?

Para pemburu rente minta saham kepada penindas raksasa ini, sedangkan penindas raksasa berusaha agar kontrak karya yang akan berakhir pada tahun 2021 itu diperpanjang hingga tahun 2041. Konteks ini kemudian membuat rakyat Papua mencapai pada sebuah pertanyaan: kepada siapa kami minta keadilan?

Seharusnya rakyat Papua, terutama suku Amungme dan Kamoro yang selama ini korban atas kekayaan alam mereka ini dilibatkan dalam pembincangan apapun tentang penindas raksasa asing ini. Pemerintah seharusnya merubah paradigma berpikir atau cara pandang terhadap masyarakat Papua, terutama suku Amungme dan Kamoro yang selama ini dianggap sebagai musu negara ini. 

Pemerintah Indonesia harus mengakui bahwa bumi Timika dengan kekayaan alam yang ada di atas maupun di dalam tanah adalah milik suku Amungme dangan Kamoro pada khususnya dan rakyat Papua pada umumnya. Pengakuan ini dapat diwujudkan dengan cara melibatkan mereka dalam membicarakan masalah perpanjangan kontrak karya ini. 

Sekalipun dilibatkan, luka batin rakyat Papua selama ini tidak secara langsung terobati, tetapi penulis yakin, keterlibatan rakyat Papua, terutama suku Amungme dan Kamoro dalam pengambilan keputusan tentang kontrak karya ini akan memberikan rasa puas, karena adanya pengakuan bahwa Timika adalah milik suku Amungme dan Kamoro dan penindas raksasa asing ini mengeruk kekayaan alam di sana, sehingga pemilik tanah harus berbicara dari posisi yang terhormat. Semoga.....!!! (TS/ASLI)

Baca Juga Berita Terkait

Tidak ada komentar:

Leave a Reply