![]() |
(Ilustrasi Google.com/TS) |
Yogyakarta,
TANPA SUARA_ Komunitas
Peduli Kampung (KPK) menggelar diskusi
pada pukul, 19: 40 WIB, di Asrama Papua, Kamasan 1 Yogyakarta dengan
topik tentang “Peduli Kampung di Papua”. Pemateri, Bendi, mengatakan kita
berbicara mengenai kampung atau desa di Papua tidak terlepas dari dasar hukum,
yakni Undang-undang No. 21 tahun 2001
tentang Otonomi Khusus bagi Papua dan Papua Barat dan juga Undang-undang No. 6
tahun 2014 tentang Desa.
“dinamika
kehidupan masyarakat Kampung atau Desa telah diatur dalam undang-undang yang
menjadi patokan dasar dalam mengatur dan mengurus kehidupan mereka”, demikian, tuturnya.
UU otsus, mengamanatkan keberpihakan,
perlindungan dan pemberdayaan yang diperuntukan kepada orang asli Papua. Tetapi
realitas saat ini berkata lain, konsep otsus ini hanya berhenti diatas kertas
putih karena tidak didukung oleh implementasi yang baik dari pihak-pihak yang
berwenang (pemerintah).
Lanjut Bendi, bukti konkrit yang bisa kita
saksikan bersama adalah, banyak persoalan sosial yang terjadi dalam kehidupan
masyarakat Papua pada umumnya dan khusus kehidupan masyarakat Kampung.
Pemerintah dengan pihak swasta mengeksploitasi kekayaan alam Papua, masyarakat
setempat tidak diberdayaan dengan baik sehingga tetap menjadi korban.
“pemerintah
(elit politik dan birokrasi) dan juga pihak berkepentingan (interest group) di
bumi Cenderawasih sibuk mengurus kepentingan masing sehingga nasib hidup
masyarakat tidak dipikirkan, akhinya menjadi korban atas kepentingan”, Jelas Bendi.
Disamping otsus, pemerintah pusat juga
mengeluarkan UU desa. Ini merupakan upaya pemerintah pusat untuk memberikan
kewenangan kepada masyarakat adat sebagai sebuah pengakuan atas otonom desa.
Berdasarkan peraturan ini juga masyarakat desa mengelolah sumber daya alam
maupun sumber daya manusia secara mandiri dengan menggunakan anggaran
pendapatan dan belanja desa (APB Des) yang bersumber dari APBN dan APBD
sebagaimana termaktub dalam pasal 35 UU/6/2014.
Lanjut Pemateri, melalui UU desa ini diharapkan
masyarakat kampung dapat diberdayakan dan memberikan lapangan kerja bagi mereka
agar dapat memenuhi kehidupan sehari-hari untuk memutus mata rantai
ketergantungan masyarakat terhadap pemerintah yang telah lama tercipta. Selama
ini masyarakat kampung dijadikan sebagai objek penyedia bahan baku dan tenaga
kerja murah bagi kota.
“Seharusnya
masyarakat desa atau kampung dijadikan sebagai subjek sebagaimana yang
diamanatkan melalui uu desa tersebut. “
Ujar Bendi.
Dalam konteks masyarakat yang tidak berdaya,
dimanfaatkan oleh masyarakat pendatang dengan mengambil ali semua aktifitas
masyarakat kampung yang sebelumnya dilakukan oleh masyarakat kampung, seperti
pelihara ternak, nelayan, jualan pinang dan sebagainya. Pemerintah juga tidak
mengelola lokasi-lokasi yang bisa dijadikan
sebagai tempat wisata. Jika itu dimanfaatkan, masyarakat kampung
dikerjakan disitu, kemudian bisa memasarkan hasil keringat untuk pemberdayaan
perekonomian masyarakat, sementara pemerintah dapat PAD, sehingga saling
menguntungkan.
“jika
pemerintah daerah kreatif, bisa menciptakan lapangan kerja yang mampu mendorong
perekonomian dan pemberdayaan masyarakat, sementara pemerintah mendapatkan
pendapatan asli daerah (PAD), tetapi hal ini tidak dipikirkan.” Jelas Bendi.
Setelah pemateri memaparkan materinya, salah satu
peserta diskusi, Daud Agapa, bertanya mengapa pemerintah daerah Papua tidak
menolak orang pendatang? Kita ada dalam NKRI sehingga pemerintah pusat
mengatur dan mengambil kebijakan
transmigrasi untuk menempatkan di Papua. Masyarakat Papua tidak diberdayakan
solusi instan dari pemerintah adalah mendatangkan orang luar dengan alasan
pembangunan. Masyarakat luar didatangkan untuk memenuhi syarat kuantitatif pemekaran.
Pemerintah daerah seharusnya, mengambil kebijakan peraturan daerah (PERDA)
untuk mengendalikan dan mengontrol jumlah penduduk di Papua, tetapi tidak perna
dibuat sehingga pendatang kuasai birokrasi, bahkan disemua aspek kehidupan
orang Papua. Jawab Bendi.
“Pemerintah,
khususnya bupati dan DPRD tidak mampu membuat PERDA tentang pengendalian
penduduk di Papua pada umumnya sehingga ini menjadi tugas bagi kita supaya
belajar bagaimana membuat PERDA yang baik untuk menjawab persoalan ini.” Jelas Bendi.
Sedangkan Januar, menjawab pertanyaan ni dengan
melihat kembali kehidupan masyarakat Papua pada masa lalu. “Transmigrasi sudah
ada sejak Papua dianeksasi kedalam NKRI dengan misi menguasai Papua, sehingga
pemerintah mengambil PERDA pun sama saja tidak akan berjalan baik, karena misi
negara Indonesia menguasai Papua. Apa lagi DPRD dan Bupati saat ini yang hanya
mengejar jabatan dan kekuasaan. Jawab
Januar.
Daud Agapa bertanya kembali, mengapa pemerintah
dengan masyarakat kampung tidak bekerja sama untuk mengelolah wisata? Jawab
Januar, Orang Papua pada umumnya dan khususnya pemerintah banyak bicara, tetapi
tindakannya nol. Misal Bupati memberikan janji politik untuk membangun rumah
yang baik bagi masyarakat tetapi tidak perna dibuktikan. Bupati mengutamakan hubungan
kekerabatan dalam pengangkatan PNS dan jabatan Karier. Inilah yang membuat
masyarakat tidak percaya terhadap pemerintah.
Sementara Bendi, menyatakan program pembangunan
daerah yang sifatnya mengangkat dan menggali harkat dan martabat masyarakat
Papua pada umumnya dan khususnya masyarakat kampung tidak dijalankan sehingga
masyarakat tidak percaya terhadap pemerintah. Sekalipun dijalankan pasti akan
ditantang oleh pemerintah pusat, karena bedah misi diatas tanah Papua.
Kemudian, Dance menjawab pertanyaan ini dari segi
politik kepentingan di Papua. Kehidupan masyarakat sangat kacau, pemerintah
tidak melaksanakan tugas dengan baik, kebanyakan korupsi, kolusi dan nepotisme
(KKN). Masyarakat sebagian besar bergabung dalam gerakan pembebasan untuk Papua
Merdeka, sehingga masyarakat tidak mau bekerja sama dengan pemerintah. Karena
pemerintah Indonesia selama 52 tahun gagal mensejahterakan masyarakat papua.
Sementara menururut Melki Tekege, Pemerintah tidak direalisasikan janji politiknya
pada saat kampanye, masyarakat semakin tidak percaya kepada pemerintah. Pemerintah
tidak memberdayakan masyarakat kampung, salah satunya dengan membangun pasar
bagi mama, dan tidak ada hingga saat. Mama Papua berjualan beralaskan plastik
dan karung di tanah, tetapi pemerintah tuli dan bisu terhadap realitas ini.
Mengapa kepala desa bukan yang berpedidikan?,
demikian, tanya Januar Tatogo. Sebelum UU no 6. Ketentuan belum jelas tetapi
sekarang ada syarat bahwa yang menjadi kepala desa minimal pendidikan SMP, jawab,
Dance Kayame. Desa dibagi kedalam dua, yaitu desa administratif dan desa adat.
Desa adat pengaturannya diserakan kepada
masayarakat desa/kampung. Sedangkan desa, diatur melalui PERDA daerah
masing-masing.
Pertanyaan Dance Kayame, menarik, yakni: UU Desa
mengamanatkan miliaran rupiah akan didapatkan oleh desa, bagaimana mengelolah
uang itu bagi desa adat di Papua? Pemerintah mempunyai tugas untuk
memsosialisasikan isi UU tersebut kepada masyarakat. Pemerintah memberikan
pemahaman dan pendampingan kepada masyarakat kampung terutama tentang penggunaan
anggaran desa tersebut, jawab Bendi. Setelah dana disalurkan ke kampung,
pemerintah harus kontrol supaya dana tersebut benar-benar dimanfaatkan untuk
kesejahteraan masyarakat setempat.
Sementara Daud Agapa mengemukakan kekhawatirannya
berdasarkan pengalaman terkait dana tersebut yang kadang hilang diantara
pejabat daerah dengan masyarakat kampung.
“Dana
diberikan dari pusat, dipangkas ditingkat provinsi, kabupaten/kota dan
ditingkatan kampung itu sendiri sehingga masyarakat hanya mendapatkan sebagian
kecil saja. Dana ini berpotensi untuk dilakukan korupsi oleh bupati, dinas
terkait dan kepala desa itu sendiri,”
tutur Daut Agapa, khawatir.
Berangkat dari pengalaman program respek di
daerah saya, yang mana pemerintah daerah memberikan dana sebesar 200 jutah
tetapi yang kelihatan hanya 100 juta.
Kebiasaan seperti itu sedah menjadi perilaku buruk bagi aparat desa sehingga
dana desa bisa dikorupsi sehingga sehingga kita berikan pemahaman kepada
masyarakat terkait besar dana penggunaan dana dan sebagainya, jelas Melki
Tekege. Saat ini uang menjadi Tuhan sehingga bagi masyarakat kampung di Papua
yang belum memahami penggunaan dana secara baik itu, seharusnya pemahaman
terkait dengan itu lebih duluan dilakukan , kemudian berikan dana sebesar itu
supaya dapat dimanfaatkan dengan baik. Kalau tidak, dananya harus dikurangi. (TS/ASLI, KPK/Mikael).
Tidak ada komentar: