Hanya Orang Papua yang Bisa



(Foto: Saat Barapan di Kali APY Yogyakarta, Dok: TS)

“Semua persoalan itu akan dijawab oleh orang Papua, terutama generasi muda Papua yang memiliki hati dan panggilan jiwa yang benar-benar mengabdi demi keselamatan masyarakat bangsa Papua”, (Dance Kayame, 27 Mei 2015)

Yogyakarta-TANPA SUARA-Mahasiswa yang tergabung dalam Komunitas Peduli Kampung (KPK) menggelar diskusi bedah buku karya Prof. Dr. Hj. Sedarmasyanti, Dra., M., Pd, (2004 ) yang berjudul Good Governance: Membangun Sistem Kinerja Guna Meningkatkan Produktivitas Menuju Good Governance , pada hari Rabu, 27 Mei 2015 di Asrama Papua, Kamasan 1 Yogyakarta.
Diskusi kali ini dengan pemateri Benediktus Degei, panggilan akrab Bendi dan dipandu oleh Dance Kayame, sebagai moderator. Bendi menyampaikan bahwa sebagai mahasiswa tentunya sudah mengetahui berbagai macam persoalan yang dihadapi oleh masyarakat Papua dan masyarakat Indonesia pada umumnya di semua aspek kehidupan. Apa yang menjadi tugas dan tanggungjawab pemerintah untuk mewujudkan good governance tidak direalisasikan dengan baik sehingga muncul banyak persoalan.

“Sudah diketahui bersama bahwa persoalan dalam sosial di semua aspek terjadi karena pemerintah tidak memaknai good governance secara baik dan benar”, ujar Bendi, mahasiswa jurusan Ilmu Pemerintahan ini.

Jika tata kelola pemerintahan yang baik (Good Governance) dijalankan dengan baik, maka sangat membantu bagi masyarakat.  Dinamika berjalannya roda pemerintahan di Papua tidak dapat disesuaikan dengan konteks kehidupan masyarakat setempat di semua lini kehidupan sehingga keberadaan pemerintah di Papua saat ini memberikan makna yang berbeda, yakni memunculkan berbagai macam permasalahan di aspek sosial budaya, ekonomi, politik, hak asasi manusia, perampasan tanah adat dan sebagainya.

“pemerintah yang memiliki tugas dan tanggungjawab, harus berperan aktif untuk menjawab atau merespon semua persoalan ini, dan program apapun harus disesuaikan dengan konteks sosial budaya masyarakat setempat karena program yang bertentangan dengan tata nilai dan norma akan memunculkan persoalan baru dalam kehidupan masyarakat”, jelas Bendi.

Jika kita mempelajari tentang good governance, pasti kita akan menemukan siapa yang bertanggungjawab atas semua persoalan ini. Dan idealnya pemerintahan yang baik itu seperti apa? Telah jelas bahwa yang bertanggungjawab atas semua persoalan ini, dan berjalannya roda pemerintahan di Papua, tak se-ideal dalam konsep good governance itu sendiri. Namun, tak semudah itu terjadi banyak persoalan di Papua, seharusnya ada upaya pencegahan dari pemerintah, Kesal Bendi.

“Pemerintah ada karena masyarakat ada atau keberadaan pemerintah dilegitimasi oleh keberadaan masyarakat sehingga seharusnya apa yang menjadi aspirasi atau kebutuhan masyarakat harus dipenuhi oleh pemerintah. Dalam menjalankan roda pemerintahan harus didasarkan pada prinsip-prinsip good governance, seperti partisipasi, artinya diperlukan keterlibatan semua komponen dalam perumusan kebijakan maupun dalam proses pembangunan; teransparansi,. Pertanggungjawaban (akuntability), yakni memiliki rasa tanggungjawab dari semua komponen dalam menjalankan pembangunan dan responsibility adalah daya tanggap semua komponen dalam menjalankan pembangunan”, terang Bendi.

Lanbjut Bendi, Dalam menjalankan roda pemerintahan yang baik juga perlu memiliki asas-asas, yakni; kepastian hukum, tertib penyelenggaraan, kepentingan umum, keterbukaan, proporsionalitas, profesionalitas, dan akuntabilitas. Berdasarkan asas tersebut pemerintah perlu memiliki rencana strategi pembangunan sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Kebutuhan masyarakat inilah yang menjadi urgen yang dapat dijadikan sebagai sasaran pembangunan.

“Rencana strategi pembangunan (renstra) kadang salah diartikan oleh pihak pemerintah untuk cara mencapai antara tujuan dan sasaran.  Seharusnya untuk mencapai tujuan harus didahulukan sasaran, bukan sebaliknya. Hal ini juga menjadi salah satu penghambat pembangunan di Papua”, jelas Bendi.

Pemerintah juga perlu mempunyai strategi meningkatkan Sumber Daya Manusia (SDM) aparaturnya. Menurut, Covey, Roger dan Rebecca Merril (1994) bahwa peningkatan kompetensi bergerak dibidang: kompetensi teknis, konseptual, kompetensi hidup dalam ketergantungan. Disamping itu, menurut West (2000) bahwa ciri individu secara konsisten harus dikembangkan: nilai-nilai intelek dan artistik, ketertarikan pada kompleksitas, kepedulian pada pekerjaan dan pencapaian, ketekunan, pemikiran mandiri, toleransi terhadap ambiguitas, otonom, kepercayaan diri, dan kesiapan mengambil resiko. Sementara menurut, Daft (1992) bahwa proses inovasi sebagai proses melibatkan lima unsur, yakni: kebutuhan, ide, implementasi, dan sumber-sumber.

“Peningkatan kompetensi aparatur pemerintah dipandang penting dan dapat dilakukan melalui berbagai pelatihan, pendidikan dan sebagainya. Aparatur pemerintah harus benar-benar siap secara intelektual, kreatifitas, inovasi dan lain-lain agar memberikan pelayanan publik yang baik kepada masyarakat”, Jelas Bendi.

Selain dari itu, lanjut Bendi bahwa peningkatan profesionalitas aparatur pemerintah menjadi urgen agar dapat menjalankan tugas atau memberikan pelayanan yang baik kepada masyarakat. Menurut Badudu dan Saini (1989) bahwa profesionalitas dari kata profesi artinya pekerjaan dari padanya mendapatkan nafkah untuk hidup dan pekerjaan yang dikuasai karena pendidikan keahlian. Oleh karena itu, profesionalisme, artinya bersifat profesi; memiliki keahlian dan keterampilan karena pendidikan dan pelatihan; dan memperoleh bayaran karena pekerjaan itu.

“Berdasarkan profesionalisme itu, selanjutnya wujudkan pelayanan public secara umum, yakni: meningkatkan mutu dan produktifitas pelaksanaan tugas dan fungsi instansi pemerintah dibidang pelayanan publik; mendorong upaya mengefektifkan sistem dan tata laksanaan pelayanan umum yang lebih berdaya guna dan berhasil guna; mendorong tumbuhnya kreatifitas, peran serta masyarakat dalam pembangunan serta pelayanan masyarakat”, jelas Bendi.

Disamping itu, pemerintah perlu membangun pemahaman tentang organisasi kepada aparaturnya agar dapat menjalankan tugas dan fungsinya sesuai dengan posisinya. Menurut, Wakley dan Yulk dalam Kasim (1993:1) bahwa organisasi merupakan suatu pola kerjasama antara orang-orang yang terlibat dalam  kegiatan-kegiatan yang saling berhubungan untuk mencapai tujuan. Tujuan organisasi dapat dinyatakan sebagai berikut: mempermudah pelaksanaan tugas; meningkatkan efisiensi; mempermudah pengawasan; menhindarkan duplikasi tugas; dan menentukan orang yang diperlukan oleh organisasi. Sementara asas pembagian dibagi ke dalam: fungsionalisasi; koordinasi; kesinambungan;  pendelegasian; keluwesan; rentang pengendalian; jalur staf; dan kejelasan dalam pembagian, Jelas Bendi.

Tanggapan-Tanggapan

Sony Aidatoyai Tenouye, mahasiswa jurusan Manajemen Kesehatan ini menyatakan bahwa pemerintah seharusnya lebih memperhatikan masyarakat asli daerah setempat di Papua dalam birokrasi maupun swasta agar dapat bersaing dengan masyarakat lain di Indonesia di semua segi kehidupan. Tidak ada alasan bagi pemerintah dengan mengatakan SDM Papua kurang siap, kalau seperti ini, pertanyaannya adalah yang bertanggungjawab menyiapkan  SDM itu siapa? Yang memperhatikan pendidikan, kesehatan dan ekonomi di Papua itu siapa sehingga masyarakat Papua di dominasi oleh orang luar? Harus menyadari itu.

“Apa yang menjadi tugas dan tanggungjawab pemerintah harus dijalankan untuk meminimalisir sejumlah persoalan yang terjadi di Papua, tidak ada alasan tidak ada SDM dan sebagainya. Kalau memang SDM tidak ada, ya harus menyiapkan SDM-nya melalui pendidikan formal, nonformal dan informal, bukan mendatangkan orang luar yang tidak jelas latar belakangnya”, Tegas Aidatoyai.

Dance Kayame, mahasiswa jurusan Ilmu Pemerintahan ini memiliki tanggapan yang berbeda dengan mengatakan bahwa pemerintah atau kepala daerah selalu mengandalkan kontrak politik bersama swasta untuk mendapatkan uang kampanye sehingga setelah mendapatkan atau memenangkan pilkada kontrak politik itulah diperjuangkan, ketimbang memperhatikan kebutuhan masyarakat. Kalau seperti itu terus, maka perlu membangun dan memberikan pendidikan dan pemahaman politik yang baik kepada masyarakat.

“Politikus yang memenangkan pemilihan kepala daerah (Pilkada) berdasarkan money politik yang serat dengan kontrak politik tidak akan pernah membangun Papua di semua aspek kehidupan sosial. Oleh karena itu, pendidikan dan pemahaman politik bagi masyarakat harus dilakukan oleh pihak-pihak yang memiliki peranan di dalamnya, terutama DPRD. Pendidikan itu, jangan yang terlalu besar, berikan pemahaman atau pendidikan tentang apa tugas dan fungsi DPRD, Bupati dan jabatannya lainnya, siapa dan orang seperti apa yang berhak menjadi DPRD dan Bupati serta Gubernur dan sebagainya”, Jelas Dance.

Koteka Goo, mahasiswa jurusan Manajemen Kesehatan ini mengatakan,  semua segi kehidupan orang Papua sudah dikuasai oleh orang-orang luar. Dalam konteks demikian, pembangunan infrastruktur yang represif itu tetap dijalankan, bahkan pemekaran tetap berjalan. Sementara pemerintah Indonesia sendiri mengatakan SDM di Papua kurang siap, jika demikian, pembangunan untuk siapa? Pemekaran demi siapa? Kita orang Papua saat ini disingkirkan betul-betul. Maka tidak ada niat bagi untuk membangun Papua, selain berusaha menghancurkan tatanan hidup masyarakat Papua.

“Seharusnya jika pemerintah mau membangun Papua harus diperhatikan pendidikan, pemberdayaan ekonomi dan jaminan kesehatan yang memadai, untuk memenuhi SDM yang dikatakan kurang tadi. Kalau seperti ini pemerintah tidak akan pernah membangun orang Papua, selain orang Papua membangun dirinya sendiri”, tegas Koteka.

Pemerintah daerah di Papua, baik Gubernur , Bupati sampai ditingkatan Desa kelihatannya tidak memahami tugas, fungsi, dan tanggungjawabnya sehingga  lebih berorientasi pada harta atau uang. Maka tidak heran, uang pembangunan selalu dikorupsi. Hal ini terjadi karena, Menurut Yulius  Yagekouyo Kudiyai, akibat dari intelektualitas pemerintah yang terbatas sehingga uang untuk pembangunan selalu dikorupsi.

“Banyak kepala daerah maupun jajarannya di Papua, ditingkat provinsi maupun kabupaten hingga di kampung atau desa, tidak memahami tugas dan fungsinya sehingga pembangunan macet. Karena mereka (pemerintah), ada yang membeli ijazah sehingga tidak memiliki konsep pembangunan yang jelas karena intelektualitasnya terbatas sehingga uang pembangunan selalu dikorupsi”, Jelas Yulius, mahasiswa jurusan Teknik Pertambangan ini.

Sementara tanggapan dari Manfred Tenouye, mahasiswa jurusan Manajemen Kesehatan ini, bahwa  pemerintah lebih banyak mengumbal janji-janji politik kepada masyarakat yang tidak pernah nyata dalam kehidupan masyarakat. Hal ini terjadi karena banyak utang politik yang diperjuangkan oleh pemerintah akibat money politik. Hal ini menjadi salah satu penghambat pembangunan di Papua.

“Pemerintah selalu berpikir bagaimana mengembalikan uang yang digunakan dalam kampanye. Akibatnya masyarakat yang menjadi korban dan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah semakin terkikis. Dengan demikian, pemerintah membangun atau tidak, masyarakat membiarkan begitu saja, karena memang sudah dibiasakan oleh konteks tersebut”, jelas Manfred.

Koteka Goo, menambahkan bahwa, sebenarnya pemerintah telah mengetahui konteks kehidupan masyarakat Papua saat ini, tetapi mereka membiarkan begitu saja bahkan uang untuk membangun dari segi fisik lebih menonjol ketimbang segi nonfisik, sehingga peluang itu dimanfaatkan oleh orang-orang luar Papua. Pemerintah daerah Papua pada umumnya dan Meeuwodide pada khususnya tidak ada jiwa membangun dan saling mendorong. Yang ada hanyalah saling menjatuhkan berdasarkan praduga ambisi yang sempit.

Pemateri Benediktus Degei, mahasiswa jurusan Ilmu Pemerintahan ini, menambakan sekaligus menperjelas tanggapan dari perserta diskusi, bahwa setelah runtuhnya rezim orde baru, Jakarta telah memberikan kewenangan penuh kepada semua daerah di Indonesia untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri di dalam bingkai NKRI, termasuk Papua lebih diperincikan kewenangannya melalui UU Otsus No. 21/2001.  Namun, kita harus mengakui bahwa kebijakan pelimpahan wewenang ini bersifat situasional sehingga masyarakat Papua belum siap untuk menjalankan tugas berat ini. Kesan yang kemudian muncul adalah kebijakan setengah hati demi mempertahankan Papua ke dalam NKRI sehingga negara berusaha menguasai bumi Cenderawasih dengan cara menjalankan program transmigrasi, pembangunan infrastruktur yang bukan menjadi kebutuhan dan substansi persoalan masyarakat Papua, jelas hanya untuk mempermudah aktifitas perusahaan yang mengeruk kekayaan alam di Papua. Maka tidak heran jika banyak perusahaan bermunculan di Papua atas nama pembangunan yang pada kenyataannya mengorbankan masyarakat, merampas tanah adat, pelanggaran HAM, pencemaran lingkungan.

Lanjut Bendi, seharusnya memahami tugas dan fungsi, dan memiliki pengetahuan yang luas kemudian menempatkan orang-orang dalam birokrasi sesuai dengan skil atau disiplin Ilmu yang ditekuninya agar mempermudah dalam menjalankan tugas dan fungsinya. SDM masyarakat Papua kurang siap, tetapi persoalan itu diabaikan, maka cara instan yang digunakan oleh pemerintah daerah Papua adalah memberikan kepercayaan kepada orang luar Papua dalam birokrasi maupun swasta (proyek) sehingga mereka mendapatkan keuntungan berlipat. Sementara masyarakat Papua semakin tersingkir. Seharusnya pemerintah harus memberdayakan masyarakat melalui pendidikan formal, nonformal dan informal agar masyarakat Papua mampu bersaing dengan orang luar Papua. Kemudian kontekstualisasi pembangunan harus diperhatikan berdasarkan local wisdom (kearifan lokal). Dan program pembangunan harus dapat disesuaikan dengan potensi masyarakat dan alam yang ada pada masyarakat.

Yafet Adii, mahasiswa jurusan Ilmu Pemerintahan ini menambahkan bahwa sebenarnya good governance itu dispesifikkan untuk bergerak terutama yang menjadi prioritas adalah public service. Pelayanan publik harus bergerak di aspek pelayanan pendidikan baik dan terjangkau dari aspek kualitas maupun biaya, pelayanan kesehatan, yang berkualitas dan terjangkau, dan pemberdayaan ekonomi yang luas kepada masyarakat asli Papua, terutama masyarakat Meeuwo (kabupaten Paniai, Dogiyai dan Deiyai) harus diperioritaskan.

Manfred, menambakan sesuai dengan realitas berdasarkan jurusannya bahwa, rumah sakit umum daerah (RSUD) di Meeuwo sudah dikuasai oleh orang luar yang pelayanannya tidak jelas, karena orientasi mereka adalah uang, bukan pelayanan untuk menyelamatkan masyarakat. Seperti banyak masyarakat asli Papua yang sakit kepala, tetapi setelah diberikan pengobatan sakit tidak pernah sembuh, bahkan meninggal. Lebih parahnya lagi, kawan-kawan di organ kiri yang tertembak atau dapat pukul dari aparat keamanan, tidak mendapatkan pelayanan yang baik, bahkan meninggal sia-sia, meskipun masih memiliki harapan untuk hidup. Hal senada juga dikatakan oleh Sony Tenouye, bahwa selama saya di RSUD Nabire dan Paniai, hampir setiap hari orang Papua meninggal 3-4 orang sekalipun sakitnya ringan. Kesalahan atau sumber kematian itu terlatak pada : Pertama, pengendalian diri pasien dalam menjaga kesehatannya, kedua, menajemen rumah sakit dan direktur rumah sakit yang diisi oleh orang luar Papua  yang orientasi pada uang, bukan pelayanan sehingga kadang memberikan obat-obat yang kadaluarsa bahkan salah kasih obat yang tidak sesuai dengan sakit yang di derita pasien. Untuk itu, pemerintah maupun semua komponen masyarakat harus memperhatikan hal itu.

“Pemerintah harus membiayai mahasiswa Papua yang menngambil jurusan kedokteran, karena dokter yang berperan penting dalam memberikan resep obat, pelayanan kesehatan yang baik agar orang Papua yang meninggal di rumah sakit dengan mencurigakan itu bisa diatasi. Intinya orang yang menjadi dokter baru masyarakat Papua meninggal itu lebi bagus dari pada orang luar”, Harap Manfred dan Sony.

Daud Awiipode Agapa, mahasiswa jurusan Ilmu Pemerintahan ini megatakan, pemerintah daerah di Papua, khususnya Meeuwo harus dicontoh dari Drs. AP Youw yang telah mampu menerjemahkan atau menerapkan prinsip-prinsip good governance di Kabupaten Nabire selama dua periode (10 tahun). Sekalipun bapak AP Youw memiliki sisi kelemahan, yang perlu dicontoh adalah sisi positifnya yang mana telah menjalankan pembangunan di Nabire.

Sementara Dance menambakan bahwa, satu hal yang perlu kita sadari adalah masyarakat Papua saat ini sedang di jajah sehingga negara yang menjajah tidak mungkin memperhatikan konteks kehidupan bangsa Papua. Penyebaran penyakit HIV/AIDS, minuman keras (Miras) di Papua merupakan bagian dari upaya sistematis dan terencana yang dijalankan oleh militer Indonesia, konflik antar kelompok merupakan ciri dari politik aduh domba demi uang pengamanan begitu juga persoalan diaspek kehidupan sosial lainnya. Oleh karena itu, semua itu akan dijawab oleh orang Papua, terutama generasi muda Papua yang memiliki hati dan panggilan jiwa yang benar-benar mengabdi demi keselamatan masyarakat bangsa Papua.

Kesimpulan 

Keberadaan pemerintah di tengah masyarakat Papua saat dari dulu hingga kini tak memberikan makna bagi kelangsungan hidup masyarakat. Berbagai macam persoalan, terutama masalah kesehatan, pendidikan, dan ekonomi semakin meningkat dan memposisikan masyarakat pada pihak korban. Jika dilihat dari sudut pandang good governance, semua persoalan itu merupakan tanggungjawab bersama semua pemangkuh kepentingan di Papua, terutama pemerintah daerah dan negara Indonesia. Tetapi sampai saat ini, persoalan di ketiga aspek ini belum tuntas, bahkan semakin meningkat.

Pemerintah tidak mampu menerjemahkan konsep good governance dalam berjalannya roda pemerintahan, karena kemampuannya terbatas. Masalah terbatasnya SDM menjadi busa pidato yang tidak pernah diwujudkan upaya-upaya pemberdayaan melalui pendidikan formal, nonformal, dan informal. Pembangunan infrastruktur yang represif terus di jalankan, pemekaran berjalan diluar syarat-syarat yang ditentukan melalui berbagai macam kebijakan, terutama SDM. Solusi instan untuk mengisi jabatan birokrasi di wilayah pemekaran adalah mendatangkan orang luar Papua. program transmigrasi terus berjalan dan mendominasi sektor ekonomi. Orang Papua semakin tersingkir diatas tanah warisan leluhurnya sendiri.

Konteks ini jelas merupakan ciri tersirat bahwa masyarakat bangsa Papua hidup dibawah tekanan kolonialime Indonesia dan kapitalisme Amerika Serikat dan negara-negara yang berkepentingan di dalamnya untuk mengeruk kekayaan alam Papua. Pelanggaran HAM terjadi di mana-mana, perampasan hak milik masyarakat adat Papua semakin meningkat, pencemaran lingkungan mencapai rekor dunia, banyak masyarakat terutama generasi muda Papua meninggal sia-sia di usia yang produktif karena terinveksi virus paling mematikan (AIDS) dan mengonsumsi minuman keras hingga meninggal karena kecelakaan bahkan dibunuh. Tidaklah mungkin negara yang menjajah itu membangun Papua. Oleh karena itu, sangat dibutuhkan kesadaran diri pribadi orang Papua demi keselamatan. Atas dasar kesadaran orang Papua, terutama generasi muda harus memiliki rasa peduli, dan memiliki panggilan jiwa demi keselamatan manusia Papua, alam Papua, peradaban orang Papua. Hanya orang Papua yang bisa mengakhiri semua persoalan ini.

(TS/ASLI) Notulen: Mikael Tekege, anggota KPK (Komunitas Peduli Kampung).

Baca Juga Berita Terkait

Tidak ada komentar:

Leave a Reply