Di suatu tempat sepasang suami istri bersama dua orang anak,
yang pertama perempuan dan yang kedua laki-laki masih diasi. Meski mereka terisolir, tetapi kehidupan mereka sangat bahagia. Rumah
mereka, satu atap dua kamar, satu untuk istri dan kedua anak dan yang satu Yameewa, khusus untuk bapanya.
Pada suatu hari mereka semua pergi ke
kebun ditengah hutan belantara, ditengah kebun itu pun ada sebuah pohon besar
menjulang tinggi. Setibahnya bekerja bergotong-royong semua telah selesai,
hanya tersisa dekat pohon besar itu. Mereka
istrahat beberapa menit dan ibunya mulai kerja yang tersisa itu, tak lama
kemudian anak perempuan itu bertanda buruk bahwa
akan tertjadi sesuatu pada mereka sehingga ia mendekati ibunya dan berkata:
Noukai, piya kouko bou yawipako
pogomainegano yaikiyake neuwaiyi owapa ”Ibu pohon ini akan tumbang ketika
tertiup angin yang kencang, mari kita
pulang ke rumah ”,
Ibunya pun berkata sambil senyum, ibo piya ko pogomeigai” anakku pohon
besar begini tidak akan tumbang”, namun, anaknya
tetap memaksakan untuk pulang ke rumah sehingga kata ibu kepadanya aniyoka dabagaa kiike yokaa mumai
keetiyawineka nadoutou, aweta wiyaumeko enaka taida/bugida kodaa uwiine
“anak ini tinggal sedikit saja, biar saya selesaikan supaya besok lusa kita
pergi kerja di kebun yang satunya”.
Anaknya masih tetap pada prinsipnya
bahwa kita harus pulang, beberapa menit kemudian pembicaraan anak perempuan itu
menjadi nyata, pohon besar itu tumbang dan menginjak/menindis ibunya yang sedang kerja, seluruh
tubuh tak kelihatan hanya ibu jari kaki kanan yang kelihatan. Anak bapa itu
kaget dan meneteskan air mata sambil banting tangan diatas pohon yang tumbang yang menginjak ibunya itu
sambil berkata noukai manako kateganoo magiyoka
nayuwaibeukega “mama,...........mama, anak sudah bilang mengapa tidak
mendengarkan aku”. Anak itu memegang ibu jari kaki ibunya yang kelihatan itu
dan menangis hingga jangkrit berbunyi diperaduannya menjemput datangnya malam.
Ayahnya mengajak kedua anak untuk
pulang ke rumah, tibah-tibah pikiran ayah pun berubah tidak seperti biasanya.
Ayah menyuruh anak perempuan itu gendong adiknya dan bawah hasil kebun itu
kemudian ayahnya pulang duluan ke rumah.
Anak itu gendong adiknya dengan membawah hasil kebun pulang ke rumah.
Setibahnya tak lama kemudian ayahnya mintah makanan kepada anaknya, dan kata
anak kepadanya “ayah belum masak, saya baru tibah dirumah”, kata ayah dengan
suara yang keras “cepat masak, saya lapar ini”, iya ayah, kata anak itu seiring dengan derai air mata atas kepergian
sang ibunda tercinta. Beberapa lama kemudian, ubi telah masak sehingga iapun
kasih ayahnya. Anaknya yang kecil itu, menangis memintah susu dan ayah
berteriak “ba………h, kiimiyo akiweneka
epeepu eti, meeko uno kiyaumineno” Woee…..adikmu itu, bikin dia
bagimanakah, orang mau tidur ini, mereka
berdua kaget, dan yang kecil tambah menangis,
kakaknya itu menyusui adiknya dengan tebuh dan air putih seiring dengan
derai air mata. Setelah itu, adiknya diam dan tidur hingga pagi, dan kini tebuh
dan air putih menjadi pengganti asi bagai seorang
ibu menyusui anak.
Beberapa hari kemudian, ayanya pergi ke
hutan tinggalkan kedua anaknya untuk pasang jerat kus-kus selama seminggu. Kemudian ia membawa kus-kus satu noken besar, anak perempuan itu menggendong adiknya yang
masih minum susu itu dan segera pergi ke
kebun gali ubi, keladi, dan petik sayur hitam (Digiyo) untuk barapen kus-kus
itu. Ia kerja dengan secepatnya lalu kembali
ke rumah dan ayahpun bertanya dengan suara yang kasar “nota, nomo, dogiyo naapoko teki-teki timakegeme?” apakah ubi, keladi dan sayur sudah siap? “iinu, naitai teki” iya ayah, sudah
siap, kata
anak itu sambil meneteskan air mata. Ayah mulai barapen dan anak itu masak ubi
dan keladi, beberapa lama kemudian semua telah masak, ayah mulai bongkar
bungkusan barapen itu dan sebelum bagi
sayur dan daging kuskus, anak itu berikan ubi dan keladi untuk ayahnya.
Kemudian ayahnya mulai bagi daging, sambil berkata “oo kou ikaidani” ini kamu dua punya bagian, anak itu mengambil dan
ternyata hanya kepala, kaki, dan ekor saja kus-kus.
Anak itu bertanya kepada ayahnya “naitai,
keike maakede inaidani niimege?”, ayah apa benar ini kami berdua punya
bagian? “ii, kouko ikaidani kinegaa,
magiyo aadimega” iya itu kamu dua punya bagian, kamu dua minta apa lagi? jawab ayahnya dengan nada yang sangat marah. Anak itu kaget
mendengarnya dan meneteskan air mata, mereka berdua tidak makan kuskus itu
hanya sayur, ubi, dan keladi menyuap
adiknya, kemudian mereka tidur hingga menyambut pagi.
Ketika
matahari membakar kulit bumi, ayah duduk di dalam rumah membuat busur
dan anak panah, sedangkan anaknya kerja kebun di samping rumah, pada saat
itupun seekor burung hitam (Wiguwi)
berkicau diatas pohon “wooyuwe, wootapa
wiyatoo” dua hari kemudian pesta adat suku mee “yuwo” akan dilaksanakan,
anak itu mendengar saja lalu melanjutkan pekerjaan hingga sore. Keesokan
harinya, ayahnya siapkan busur, anak panah, dan menghiasi tubuhnya “utou,
dinai” dan anaknya berkata “naitai
inaina kipeiine” ayah kami berdua juga mau ikut, “auwipako, auwetai kodono, animako tenaapei” tersera mau jalan atau tidak, yang
penting jangan ikut saya, anak itu terdiam memikirkan sikap ayahnya yang telah
berubah semenjak ibunya meninggal, dan dalam benaknya memutuskan akan ikut ayah
pergi ke pesta Yuwoo.
Malam telah tibah, anak itu masak ubi dan keladi terlalu banyak untuk persiapan
mereka berdua dan yang lainnya berikan
pada ayahnya, dan sepanjang malam anak itu tidak tidur menunggu ayah pergi,
sekitar subuh ayahnya pergi ke pesta Yuwoo dan
anak itu mendengar bunyi pintu, kemudian menggendong adiknya lalu pergi
mengikuti bekas kaki ayahnya. Mereka berdua telah lalui enam gunung hingga
terasa capai, banyak orang melewati mereka berdua sambil Yuu dengan membawa
babi ke tempat yuwoo. Adiknya itu menangis meminta susu, dan kakaknya meminumkan air putih, kemudian anak itu bertanya kepada seorang ibu yang
sedang pergi ke tempat yuwoo, “nouu,
yamoko kapamee potoo??” ibu, jauhkah dekat
dari sini ke tempat yuwo?,
ibu itu menjawab sambil menunjuk genung didepan mereka “kii wadouwe dimiiki aito” sebelah gunung itu. Ia
menggendong adiknya lalu melanjutkan perjalanan, ketika mereka berdua tibah di
lereng gunung itu, ada sebuah tanjakan dan mereka berdua tak mampu panjat lagi hingga air matapun jatuh dipipi.
Anak itu membuang pandangan mata ke arah gunung itu, dan terlihatlah ayahnya
bersama rombongannya sedang jalan di atas gunung itu. anak itu menyanyikan
sebuah lagu (gawaii) sambil meneteskan air mata:
Kowake waiko………
kotuh dagiiga aiyokete……..
wouyo keete……
Aniikouko beukipana,
akiyaka yamee yokaa kikee
miyoo ebukiyee…….
Yiiiwaii kagii, noukai kagiii
Ayah ……….biarkan
aku sendiri, tak mengapa
Tetapi ku mohon
kembalilah jemput
Anakmu yang
laki-laki……
dialah yang
akan melanjutkan keturunanmu......
Tak lama kemudian, tibah-tibah
datanglah seorang ibu, hingga mengantar mereka berdua sampai diatas gunung itu,
kemudian ibu itu tibah-tibah hilang juga, ternyata arwa ibunya yang telah
meninggal itu menolong mereka berdua. Anak itu, menyusui dan menyuap adiknya
dan jangkrikpun mulai terdengar di telinga, tandanya menjemput datangnya malam,
kemudian melanjutkan perjalanan hingga
tibah di tempat yuwoo. Mereka berdua mencari ayahnya disetiap “Kewiita, yuwoowapa” gubuk yang dibangun
sebelum dua atau tiga bulan pesta yuwoo berlangsung untuk memasarkan daging
babi serta menginap orang yang datang dari tempat/kampung lain, ayahnya sedang
isap rokok sambil berbincang dan merayu seorang janda di kewiita, yuwoowa yang ke tuju, anak itu memanggil “naitai” ayah, ia
melihat kedua anaknya dengan sangat marah sambil bertanya kepada semua orang
yang ada disitu “kouko wakouwe meiya
yokaiya, nakame eubate kouko ipano” itu siapa punya anak, kasihan mereka
mencari ayah dan ibunya,
anak itu terdiam dan meneteskan air mata. Disetiap kewita, ayahnya telah melaporkan bahwa “koudaka
yagamo yokaakodo, yokama edokitoupiga kouko temei etii, ukamee awagimakiyake amageika” gadis kecil bersama adiknya itu tidak
boleh terima di kewita/yuwowa, karena mereka berdua membunuh ibunya.
Malam itu, hujan deras. Anak gadis itu
menggendong adiknya, berkeliling disetiap kewita/yuwoowa, namun tak satupun
yang menerima mereka berdua hingga bermalam di luar samping salah satu kewita/yuwoowa. Hujan telah membasahi tubuh
mereka hingga menggigil dan terasa keram, namun gadis kecil itu merelakan
semuanya dan berusaha melindungi adik laki-lakinya itu sambil menyusui air
putih dan tebuh hingga datangnya pagi. Mentari pagi mulai menyinari, bau enak
daging babipun kini tercium adiknya yang masih belum bisa bicara itu, hingga anak itu berkata sambil menangis “aatah, naina-naina” kakak, makan-makan,
gadis kecil itu, menyuap ubi dan keladi namun, tak mau dimakan, dan ia mengerti bahwa adiknya mintah daging
tetapi apa boleh buat, tiada hal yang ia lakukan untuk adiknya selain membujuk
dan membawah adiknya jauh dari keramaian itu seiring dengan derai air mata.
Pada saat itu juga, seorang nenek
melihat dan mendekati mereka berdua dengan hati yang sedih sambil berkata “aniyoka, yokakike magiyooka yege teetee? Akukai
akaitai wiyaako kaiya?”
anak, kenapa adikmu menangis? Dimana
ayah dan ibumu? Gadis
kecil itu menjawab bersama tetesan air mata “ekina kinoo yumiyakeko yege goomotegi, anukaiko bokaatega, anaitaiki
yakai topii yamake inai nidouko emogetoo tetee” ketika cium bau daging babi adikku mulai menangis,
Ibuku sudah mininggalkan kami berdua, sedangkan ayah ada disini, tetapi ayah
sangat marah melihat kami berdua. Ketika mendengar nenek itu meneteskan air
mata sambil berkata “aniyoka, meii
auwaino, aniya owaapako ekina umina topaino” anak mari kita pergi ke
rumahku, disana ada banyak daging babi. Kedua anak itu ikut pergi bersama nenek
itu, setibahnya nenek itu segera bakar daging babi lalu menyuap anak yang
sedang menangis itu akhirnya anak itupun diam dan tak menangis lagi. Nenek itu barapen seekor babi dan
mereka makan hingga terasa tak mampu makan lagi. Setelah itu, gadis kecil itu
menceritakan story hidup yang ia lalui bersama adiknya dan nenek itu sangat
sedih dan marah terhadap sikap seorang ayah kepada anaknya yang sangat tidak
bertanggungjawab itu.
Nenek itu mengatakan pada gadis kecil
itu “kouko aniyokaneka yuwoo nogaii”
anak-anakku yang melaksanakan pesta yuwo ini, ternyata nenek itu “tonawi” orang kaya dan terpandang di kampung itu. Satu hari kemudian, semua orang yang
meramaikan pesta yuwoo itu pulang ke kampung dan rumah masing-masing dengan
membawah daging babi yang mereka beli. Nenek itu mengatakan kepada gadis kecil
itu “aniyoka, yakai niyatou, ekina
uminaka yamake tagii meni bage beuka,
ibookiyake ikaiya makiida auwitaka” anakku tinggal bersamaku disini,
banyak ternak babi tetapi tidak ada orang yang mencari makanan, jadi biar nanti sudah besar baru pergi ke kampung
halaman, gadis kecil itu sangat senang mendengar kata nenek itu, dan menjawab
dengan derai air mata “ii….naabai, ide umina” iya nenek, terimakasih banyak.
Kedua anak itu kini menjadi bagian dari kehidupan nenek yang baik hati itu, anak
gadis itu hari-hari sibuk bikin kebun dan mencari makanan ternak babi hingga
tak ada waktu kosong untuk bersenang-senang. Beberapa tahun kemudian, kedua
anak itu sudah besar, yang laki-laki mulai buat pagar untuk kendang ternak babi yang jumlahnya ratusan itu, sedangkan yang gadis
kesibukannya kerja kebun dan mencari makanan ternak, disamping kanan, kiri,
belakang depan rumah serta kebun yang jauh dari rumah dan yang dekat rumah menanami ubi, keladi, tebuh, kacang tanah, dls
“duu pii tapa” dan semuanya dalam pagar yang dibuat oleh pria itu. Nenek itu
sangat senang melihat kedua beradik kakak yang rajin itu, suatu hari nenek itu
mengatakan kepada mereka berdua “ide
umina aniyokaaneiya, aniya meii kitetegaidaka koyokaa, taii, bugi muniya agiyoo, weiyaa agiyo enaato
anatiyawega”
terimakasih banyak, tidak salah ku memilih anak berdua menjadi bagian dari
hidupku. Beberapa hari kemudian, nenek itu memanggil lima gadis sekaligus dari kampung tetangganya untuk menjadi istri
pria yang rajin itu, nenek itu bayar maskawin sekaligus juga. Beberapa hari kemudian, nenek itu
siapkan dua belas noken “mege” kilit
bia yang sejak itu dijadikan sebagai alat tukar (uang), ternak babi puluhan
ekor, barang berharga lainnya, kemudian menyuruh beradik kakak bersama kelima
istrinya pergi ke kampung halamannya dengan membawah semua yang nenek siapkan
itu.
Mereka semua telah siap dan nenek
mengucapkan selamat jalan sambil meneteskan air mata di pipi, semua kebaikan anak berdua Tuhan akan
balas di akhir hayatnya “koyaa uwii,
ikaiya anakeitegaiyakouko ugatamepa Utah aduwaitaka” dan mereka berduapun
mengucapkan selamat tinggal dan terimakasih banyak, teriring dengan
derai air mata
“koyaoo… ide umina” mereka mulai jalan menuju ke kampung halaman, enam gunung
mereka telah lalui tinggal satu gunung sehingga mereka duduk istrahat sambil
makan serta isap rokok. Beberapa lama kemudian, mereka melanjutkan perjalanan
sedikit demi sedikit tibah tak jauh dari rumah. Sang Pria memandang rumah yang telah di tinggalkan sejak kecil, terlihat
hamper roboh diantara rerumputan, air matapun berlinang entah apa sebabnya
dan langkah kakipun cepat hingga tibah di rumah.
Didalam rumah terlihat sang ayah duduk
tak jauh dari tungku api yang tiada
sepotang kayu bakar untuk memberikan kehangatan. Seluruh tubuh sang ayah
terlihat gementar kedinginan, sehingga
anaknya dengan cepat bunuh babi seekor lalu ambil hati dan melampari sang ayah sambil berkata
”koumiyo odinoonoti, ekina dabaakei mee
dabaa teitegeno” dulu ko pelit tapi
ko bakar itu sudah. Sang ayah kaget dan melihat
kedua anak serta kelima istrinya hingga tertunduk malu, tak berkata
apapun. Namun, perkataan anaknya sungguh suatu obat atau mantra pengusir penderitaan yang menimpah
dalam diri sang ayah. Tak lama kemudian, derai air mata menutupi sudut-sudut
mata hingga berpelukan bersama sang ayah. Kini jangkrik berdering menjamput datangnya malam, dan
mereka semua masuk rumah yang hampir rubuh itu hingga tidur berhimpitan. Malam telah berlalu hari barupun tibah,
disitulah saat mulai bekerja membangun rumah baru serta bikin kebun. Selama
beberapa bulan mereka bekerja gotong-royong hingga terbangun enam rumah dan
disamping kiri, kanan, depan, belakang rumah ditanami dengan tanaman sayuran dll. Dan tak jauh dari rumah kandang babi,
sungguh terlihat indah dan hidup merekapun bahagia.
Beberapa tahun kemudian, kelima istri
medapatkan 15 anak, namun masih ingin
nika lagi sehingga ia bersama ayahnya pergi ke kampung sebelah gunung. Setibahnya mereka
dua membawah sepuluh gadis, lima untuk anaknya dan lainnya untuk untuk sang
ayah sehingga tiga hari kemudian membayar maskawin. Seiring dengan berjalannya waktu, anak mereka
tambah banyak ternak babipun semakin banyak
hingga terlihat orang terpandang di wilayah itu (Tonawi), ditengah hutan belantara itu, kini tak lagi terlihat hutan
melainkan kebun yang ditenami dengan horticultural, ubi, keladi, tebuh, dan
lain-lain. Kemudian disamping kebun itu terlihat ternak babi berkeliaran
didalam kandang, kebahagiaanpun kini telah tercipta dalam hidup mereka hingga
tempat yang dulunya sunyi kini dipenuhi dengan anak cucu mereka dan menyebar ke
mana-mana di tengah hutan belantara itu.
(Ipou
Igo’n)
Tidak ada komentar: