Perbaiki Tali Koplen Rp 605.000




Foto: dok pribadi
Nabire, TANPA SUARA_ Sekitar pukul 23:00 WIT  saya naik motor Mega Pro dari Bumi Wonorejo menuju ke Kota Baru, dipertengahan jalan, tepatnya di Kios Panjang tali Koplen putus sehingga saya mendorong motor  hingga sampai di Kota Baru dan bermalam disana. Pada pagi hari, Senin (18/8/2014) sekitar pukul 7:00 WIT saya dorong Motor itu dari Kota Baru hingga sampai di perempatan Pasar Karang Nabire, bersama keringat memebanjiri seluruh tubuh saya. Memarkir Motor di sebuah bengkel yang terletak di samping Pasar itu dan menanyakan kepada petugas Bengkel berapa ongkos untuk memperbaiki tali koplen yang telah  putus itu.

Sungguh saya sangat kaget dengan ongkos perbaiki di Bengkel itu, hanya tali koplen dengan kampasnya saja katanya 605.000,00. Saya mulai dorong motor  dari bengkel satu ke bengkel yang lain, namun petugas mengatakan tidak ada alat itu. Saya tidak tahu apakah memang benar-benar tidak ada atau bohong. Ada salah satu bengkel yang bersedia memperbaiki motor saya dengan ongkos 50.000. Saya bingung sendiri dan bertanya "mas ongkosnya betul 50.000 kah?" iya, betul mas, inikan hanya tali koplen aja, kampasnya masih bagus, kata mas petugas bengkel  yang berasal dari Bantul itu. Saya perbaiki motor dan setelah selesai saya pergi ke bengkel yang membohongi saya, setibahnya saya marah sama petugas bengkel itu, ia (petugas bengkel) keringat dingin dan  tidak bicara apa pun. Tunduk kepala dan menjadi pendengar setia.

Dari kondisi tersebut saya menganalis bahwa ternyata petugas bengkel itu, memanfaat saya yang penampilannya seperti orang gila dengan ongkos perbaiki Rp. 605.000. Penampilan seperti orang gila mampu membongkor kebohongan dan kecurangan yang dilakukan kaum pencari makan diatas tanah Papua ini. Mereka (petugas bengkel) memetahkan masyarakat Papua yang datang perbaiki motor itu sehingga orang kampung yang tidak perna sekolah, khususnya masyarakat yang tidak mengetahui dalam hal itu menjadi korban  kebohongan kaum pencari makan itu sehingga tanpa meragukan mereka (masyarakat) membayar begitu saja. Dengan kata lain, banyak masyarakat pastinya terjebak dalam situasi tersebut.

 Kaum pencari makan yang latar belakangnya tidak jelas itu, menguras kantong masyarakat Papua dengan cara-cara bodoh yang tidak mendidik itu. Itulah cara-cara kolonial menjajah masyarakat dari sisi ekonomi sehingga masyarakat menjadi korban dan miskin dinegerinya sendiri. Kaum pendatang datang diatas tanah (Papua) seakan-akan penduli terhadap orang Papua dan pembangunan, padahal kerjanya hanya menipu dan tidak jujur terhadap orang Papua. Dengan kata lain orang Papua menjadi objek penipuan dari mereka (kaum pendatang).

Bukan hanya itu, hal yang telah  menjadi rahasia umum dikalangan masyarakat Papua sejak tahun 60-an hingga saat ini terjadi ketidakadilan diberbagai lini kehidupan masayarakat Papua, baik yang dilakukan oleh pihak aparat keamanan (TNI/Polri), pemerintah, pihak swasta dan kaum terpelajar  serta antar masyarakat. Semua itu masyarakat menganggap hal yang wajar dan biasa, mungkin karena masyarakat  tidak tahu apa itu keadilan karena berada dan hidup dalam situasi seperti itu. Dengan kata lain, karakternya telah dibunuh sehingga membiarkan ketidakadilan itu terjadi begitu saja. 

Masyarakat Papua telah dibiasakan dengan kondisi seperti itu, meskipun itu bertentangan dengan hukum maupun moral dan norma sosial yang berlaku dalam kehidupan masyarakat pada umumnya.  Ketidakadilan oleh pihak  pelaku menganggap hal yang wajar dan biasa  (banalitas kejahatan) sehingga masyarakat pun ikut terbiasa dengan konteks tersebut. Tidak ada masyarakat yang berani menentang konteks tersebut karena daya berpikir secara kritis telah dibunuh melalui aksi teror secara fisik maupun non-fisik. Mereka (pelaku) memanfaatkan konteks kehidupan masyarakat yang telah diciptakannya sendiri  itu sehingga  masyarakat melakukan apa saja diperintahkan oleh sang pelaku, meskipun kadang mereka (masyarakat) tahu itu tidak adil dan tidak perlu dilakukan. 

Itulah yang dialami oleh masyarakat Papua pada umumnya, namun saya yakin semua itu tidak akan bertahan lama. Akan berakhir pada waktunya, karena bukan itulah yang dikehendaki dalam kehidupan orang Papua pada umumnya.


(Ipou Igo’n)



Baca Juga Berita Terkait

Tidak ada komentar:

Leave a Reply