![]() |
Moana Carcasses Katokai Kalosil menyampaikan pidatonya dihadapan sidang Hak Asasi Manusia (HAM) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) ke 25 (IST) |
Jayapura,
5/3 (Jubi) – Selasa, 4 Maret 2014, pukul 12.15 waktu Jenewa, Perdana Mentri
Vanuatu, Moana Carcasses Katokai Kalosil menyampaikan pidatonya dihadapan
sidang Hak Asasi Manusia (HAM) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) ke 25.
Dihadapan para pemimpin negara-negara anggota PBB ini, Moana menyampaikan
keprihatinan tentang situasi yang dialami rakyat Melanesia di Papua. Moana juga
mempertanyakan komitmen dalam sidang HAM PBB yang dari tahun ke tahun seakan
buta dan tuli terhadap masalah Orang Asli Papua. Di akhir pidatonya, Moana
menegaskan komitmen pemerintahannya untuk terus memperjuangkan hak-hak dasar
bangsa Papua di atas tanahnya sendiri.
Pidato
PM Vanuatu ini bisa disaksikan di laman UN Web TV.
Berikut
transkrip pidato PM Vanuatu yang diterjemahkan oleh Jubi. Transkrip berbahasa
Inggris bisa diakses di laman West Papua Daily
REPUBLIK
VANUATU
Pidato
oleh
YANG
MULIA MOANA CARCASSES KATOKAI KALOSIL PERDANA MENTERI REPUBLIK VANUATU DI
HADAPAN SIDANG TINGKAT TINGGI DEWAN HAK ASASI MANUSIA PERSERIKATAN
BANGSA-BANGSA YANG KEDUA PULUH LIMA JENEWA, SWISS
4
MARET 2014
Tuan
Ketua Sidang Dewan Hak Asasi Manusia PBB, Tuan Sekretaris Jendral PBB, Ban Ki Moon. Delegasi-delegasi yang terhormat Tuan-tuan dan nyonya-nyonya, Republik Vanuatu
amat bersyukur untuk dapat menyampaikan pidato pada pertemuan hari ini.
Saya
datang kemari untuk bergabung dengan para pemimpin dunia guna membahas dan
mengangkat keprihatinan mengenai tantangan hak asasi manusia yang berbeda-beda
yang melanda jutaan warganegara tak berdosa di seluruh penjuru dunia, mulai
dari negara-negara kepulauan dan di dalam negara-negara di semua benua.
Tuan
Ketua, fokus dari pidato saya di sini dan hari ini terdiri dari dua hal penting
tapi menyangkut masalah-masalah yang amat penting bagi seluruh penduduk negara
saya. Pertama, saya hendak memusatkan perhatian atas hak masyarakat adat untuk
memraktikan ritual adat dan spiritual mereka di dua pulau kami di Provinsi
Tafea, Selatan Vanuatu. Dan kedua, saya akan memaparkan kepada sidang sebagian
masalah yang berkaitan dengan pelanggaran hak asasi manusia di Papua yang telah
mencapai tingkat yang sangat meresahkan bagi masyarakat demokratis di seluruh
dunia.
Tuan
Ketua, perjuangan negara saya untuk meraih kemerdekaan politis di tahun 1980
ditandai dengan berbagai aksi protes sosial dan munculnya berbagai gerakan
politis di negara kami. Kami bangsa Melanesia diperintah oleh Inggris dan
Perancis di tanah kami sendiri. Sebelum tahun 1980 kami tidak memiliki status
negara di negeri kami dan kami juga bukan warganegara Perancis atau Inggris.
Selama 3 empat dasawarsa, kami dibenturkan dengan aturan asing. Dengan demikian
kami harus berjuang untuk membentuk identitas sebagai bangsa merdeka yang hidup
di negeri kami secara bermartabat. Kemerdekaan adalah tujuan kami. Ini adalah
dorongan kuat yang menggerakan para pemimpin kami untuk meraih sesuatu yang
tidak lebih kurang dari kemerdekaan politis. Kami tidak berjuang untuk
kemerdekaan karena secara keuangan dan ekonomi kami sudah siap. Kami tidak
berjuang untuk kemerdekaan karena tuan-tuan penjajah membunuh bangsa kami.
Tidak. Kami berjuang untuk kemerdekaan politis karena Tuhan kami telah
memberikan hak untuk bebas. Kebebasan adalah hak yang tidak tergadaikan. Itu
adalah hak asasi manusia. Dan Vanuatu dinyatakan merdeka pada 30 Juli 1980.
Tiga
puluh tiga tahun sesudah kami merdeka, saya senang untuk menyatakan bahwa
Perancis telah mulai menunjukkan niat baiknya kepada masyarakat adat kami yang
pergi mengunjungi dua dari pulau-pulau yang amat sakral, Umaepnune (Matthew)
dan Leka (Hunter) di bagian Selatan negeri kami guna memenuhi kewajiban adat
dan spiritual mereka. Ritual dan upacara-upacara adat terus dilangsungkan di pulau-pulau
lain di Provinsi Tafea setiap tahunnya meski sebelumnya ada pelarangan yang
diterapkan oleh Pemerintah Perancis terhadap masyarakat adat kami untuk
bepergian ke Pulau-pulau suci Umaepnune dan Leka guna memenuhi kewajiban adat
dan kultural mereka.
Tuan
Ketua, sekarang saya ingin membahas tantangan-tantangan hak asasi manusia yang
sudah bersifat kronis dan telah berdampak serius bagi masyarakat adat Melanesia
di Tanah Papua sejak 1969. Dan saya berbuat ini dengan penuh rasa hormat dan
kerendahan hati.
Negara
saya dalam forum ini hendak menggemakan apa yang menjadi keprihatinan atas
situasi hak asasi manusia di Tanah Papua. Kami sangat prihatin tentang cara dan
sikap komunitas internasional yang mengabaikan suara orang Papua, yang hak
asasinya telah diinjak-injak dan secara keras ditekan sejak tahun 1969.
Tuan
Ketua, Anda memimpin sidang dalam organ PBB yang paling mulia: Dewan HAM PBB.
Tetapi apa yang kita buat saat hak-hak bangsa Melanesia di Tanah Papua ditindas
oleh campur tangan dan kehadiran militer? Sejak Pepera tahun 1969 yang bersifat
kontroversial itu, Bangsa Melanesia di Papua telah menjadi korban pelanggaran
hak asasi manusia yang terus terjadi yang dilakukan oleh aparat keamanan
Indonesia. Dunia telah menyaksikan litani penyiksaan, pembunuhan, perampasan,
perkosaan, penyerbuan militer, penangkapan sewenang-wenang dan perpecahan
masyarakat sipil akibat operasi intelijen. Komnas HAM telah menyimpulkan bahwa
tindakan-tindakan tersebut tergolong kejahatan terhadap kemanusiaan menurut UU
no. 26/2000 (KOMNAS HAM 2001, 2004).
Dalam
suasana ketakutan dan penindasan protes politik, dan pengabaian masyarakat
internasional secara terang-terangan termasuk PBB dan negara-negara berkuasa
sejak 1969, senyatanya ras yang terlupakan ini masih berani mendambakan
persamaan dan keadilan. Namun demikian negara-negara demokratis tetap bungkam
seribu bahasa.
Tuan
Ketua, sebagai warga Melanesia, saya datang kemari untuk menyerukan adanya
tindakan segera. Ketidakadilan di Tanah Papua adalah ancaman atas prinsip
keadilan dimanapun di dunia. Saya tidak tidur ketika saya tahu bahwa di tahun
2010 Yawan Wayeni, yang dikenal sebagai seorang pemberontak direkam oleh aparat
keamanan saat rebah di pinggir kolam bersimbah darah dengan usus memburai dari
perutnya. Saya prihatin ketika di tahun 2010 Telengga Gire dan Anggen Pugu Kiwo
diikat oleh TNI dan secara keji disiksa. Sungguh-sungguh memprihatikan saat
saya melihat tayangan video saat sekelompok laki-laki Papua diikat dan ditendang
oleh para prajurit TNI tak berseragam yang seharusnya melindungi mereka. Saya
gelisah karena antara Maret 2011 dan Oktober 2013, 25 orang Papua telah dibunuh
dan tidak ada tindakan untuk membawa pelaku ke meja hijau. Sungguh memalukan
bagi saya, warga Melanesia, saat mengetahui bahwa sekitar 10% dari populasi
Papua telah dibunuh oleh tentara Indonesia sejak 1963. Meski 15 tahun proses
reformasi Indonesia telah berlangsung, saya juga cemas bahwa bangsa Melanesia
akan segera menjadi kaum minoritas di tanah mereka sendiri.
Tuan
Ketua, dalam dunia yang kini begitu erat terhubung dengan teknologi baru,
seharusnya tidak ada lagi dalih mengenai kurangnya informasi mengenai situasi
hak asasi manusia yang menimpa orang Papua selama lebih dari 45 tahun. Carilah
internet dan riset kalangan akademisi dan LSM-LSM internasional, dan Anda akan
menemukan fakta-fakta dasar yang menggambarkan pelanggaran hak-hak orang
Melanesia di Papua secara brutal. Tetapi mengapa kita tidak membahasnya dalam
Sidang ini? Mengapa kita memalingkan muka dari mereka dan menutup telinga kita
terhadap suara-suara sepi orang Papua, yang banyak di antaranya telah
menumpahkan darah demi keadilan dan kebebasan yang mereka dambakan. Banyak yang
menjadi martir yang telah dianiaya dan dibunuh secara keji karena mereka
menyuarakan suara-suara yang tak terucapkan dari jutaan manusia yang kini hidup
dalam ketakutan di lembah-lembah dan puncak-puncak gunung di Papua. Mereka
menuntut pengakuan dan persamaan hak serta penghormatan atas hak-hak asasi
manusia mereka dan hak untuk hidup secara damai. Akankah sidang Agustus nanti
mendengarkan rintihan mereka dan ambil langkah untuk melindungi hak-hak asasi
mereka dan mengakhiri segala kesalahan masa lalu itu?
Saya
telah mendengarkan dengan seksama suara seorang mantan PNS Tuan Filep Karma dan
mahasiswa Yusak Pakage yang masing-masing divonis penjara 15 dan 10 tahun.
Mereka berseru dari balik terali besi dan menyerukan agar negara-negara di
Pasifik bersuara menentang ketidakadilan yang menimpa mereka. Kami ini anak-anak
pejuang yang gigih berjuang selama Perang Dunia II di Pasifik dan yang telah
berhasil membawa damai dan keamanan di belahan bumi Pasifik. Kini saatnya kami
berkewajiban untuk membawa damai bagi kampung-kampung dan masyarakat-masyarakat
adat Papua dengan memperjuangkan hak-hak dasar mereka yang bagi sebagian
terbesar dari kita di sini telah kita terima begitu saja secara cuma-cuma.
Saya
sungguh merasa bersemangat karena perkara ini sekarang telah sampai di meja
Komite Hak Asasi Manusia Parlemen Eropa dan kami berharap ada tindakan-tindakan
nyata untuk memperbaiki kondisi hak asasi manusia bagi saudara dan saudari kami
di Papua. Selanjutnya saya menyerukan kepada pemerintah negara-negara maju,
khususnya negara-negara Afrika dan negara kepulauan Karibia dan Pasifik agar
mengutuk tindakan pelanggaran hak asasi manusia ini. Saya ingin menyuarakan
kembali kata-kata Martin Luther King Jr., yang mengatakan dalam pidatonya di
tahun 1963 bahwa, “tidak ada hal di dunia ini yang lebih berbahaya daripada
sikap pengabaian yang polos dan ketololan yang disengaja.” Kita negara-negara
demokratis tidak boleh mengabaikan erang kesakitan bangsa Papua.
Tuan
Ketua, keprihatinan yang kami angkat ini lebih daripada sekedar perkara menjaga
70% kekayaan minyak dan gas di Papua. Ini adalah perkara status politis.
Keprihatinan kami di sini lebih daripada sekedar perkara ekonomis dimana 80%
kekayaan hutan, laut dan tambang tetap menjadi milik Papua. Ini adalah perkara
penghormatan atas hak asasi dan eksistensi bangsa Melanesia. Perhatian kami
tidak menyangkut berapa banyak mereka disuap dengan sendok emas, melainkan
seberapa jauh mereka dihargai hak-haknya sebagai sesama warganegara. Dan sejauh
mana masyarakat sipil diberi hak untuk menyampaikan pendapat mengenai mutu
pemerintahan di tanah mereka sendiri karena inilah yang menjadi ukuran suatu
demokrasi yang hidup dan berkembang.
Tuan
Ketua, akses harus diberikan kepada ahli-ahli hak asasi manusia PBB, wartawan
internasional and LSM internasional untuk mengunjungi Papua.
Dari
berbagai sumber sejarah telah nyatalah bahwa bangsa Melanesia di Papua adalah
kambing hitam perang dingin dan menjadi tumbal untuk memenuhi selera akan
kekayaan sumber alam yang dimiliki Papua. Tuan Ketua, jika Utusan Sekjen PBB
waktu itu, Tuan Ortiz Sanz telah mengibaratkan Papua sebagai kanker “dalam
tubuh PBB dan tugas beliau adalah menghilangkannya,” maka dari apa yang telah
kita saksikan ini amat jelaslah sekarang bahwa kanker ini tidak pernah
dihilangkan tetapi sekedar ditutup-tutupi. Suatu hari, kanker ini akan
didiagnosa. Kita tidak boleh takut jika PBB telah membuat kesalahan di masa
lalu. Kita harus mengakui kesalahan kita dan memperbaikinya.
Tuan
Ketua, sebagai penutup, pemerintahan saya berkeyakinan bahwa tantangan hak
asasi manusia di Papua harus dibawa kembali ke dalam agenda PBB. Saya
menyerukan agar Dewan HAM PBB mempertimbangkan untuk mensahkan resolusi
mengenai keadaan hak asasi manusia di Papua. Mandat sebaiknya mencakup
penyelidikan atas dugaan pelanggaran hak asasi manusia di Papua dan memberikan
saran bagi penyelesaian politik secara damai di Papua. Hal sedemikian akan
membantu upaya Presiden Yudhoyono dalam mengupayakan dialog untuk Papua.
Terimakasih
sekali lagi atas kesempatan untuk menyampaikan pendapat saya dalam forum ini.
Long
God Yumi Stanap. Dalam Tuhan kami berpijak. Terimakasih.
———-
(Sumber: http://tabloidjubi.com/Admin)
(Sumber: http://tabloidjubi.com/Admin)
Tidak ada komentar: