Sengketa Politik Papua Barat


a.      Latar Belakang

1 Desember 1961 bagi orang Papua yang perna berada, hidup dan menyaksikan masa tahun 1950-1960-an sulit melupakan peristiwa proses demokrasi amat bersejarah ini. Tetapi sebaliknya, bagi bangsa indonesia ini peristiwa yang melawan terhadap bangsa indonesia.

Pada tahun 1952 pemerintah belanda mengakui penentuan nasib sendiri bangsa Papua barat sebagai suatu hak dalam kaitannya dengan pasal 37 piagam perserikatan bangsa-bangsa (PBB) dan mulai menyiapkan bangsa Papua untuk kemerdekaan. Setelah berulang kali indonesia mengklaim untuk memiliki New Guinea Barat secara sah, maka Belanda mengundang indonesia untuk menjelaskan klaimnya atas New Guinea Barat didepan hukum pengadilan internasional, namun indonesia menolak. Khawatir invasi bisa saja terjadi, Negeri Belanda mempercepat pendidikan dan program-program teknik dalam persiapan kemerdekaan. Sebuah akademi kelautan dibuka pada tahun 1956, Tentara Papua dan calon perwira angkatan laut mulai bertugas pada tahun 1957. Sampai tahun 1959, sudah ada orang  Papua yang menjadi suster, dokter, juru gambar, arsitek, tukang reparasi radio, teknisi listrik, polisi, ahli kehutanan dan staf meteorologi.

Pada tanggal 5 April 1961 orang Papua terpilih dari Nieuw Guinea Raad (dewan New Guinea) yakni anggota parlemen pertama dan bertanggungjawab untuk merancang dan melaksanakan kemerdekaan penuh. Pada tanggal 19 oktober 1961 Nieuw Guinea Raad mengadakan kongres nasional I Papua di Holandia (sekarang Jayapura) yang menetapkan simbol-simbol Negara Papua Barat. Lagu kebangsaan “Hai Tanahku Papua”, bendera nasional Papua Barat “Bintang Kejora”lambang Negara “Burung Mambruk” dan memutuskan nama ofisial Negara menjadi  “West Papua”. Juga memutuskan tanggal 1 Desember 1961 pengibaran Bintang Kejora (Socratez Sofyan Yoman, 2008: 27).

19 Desember 1961 Menyikapi pengibaran dan deklarasi kemerdekaan Bangsa Papua Barat dengan reaksi Soekarno pada tanggal 19 Desember 1961 dengan maklumat yang disebut  TRIKORA, yaitu:

1.      Bubarkan Negara Boneka Papua Barat bikinan Belanda.
2.      Kibarkan Sang Saka Merah Putih di seluruh dataran Irian Barat.
3.      Mobilisasi umum merebut Irian Barat.

Ir. Soekarno sendiri telah mengakui ada sebuah negara yang perlu dibubarkan. Tindakan ini sangat berlawanan dengan nilai dan semangat pembukaan UUD 1945 yang menyatakan bahwa “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa oleh sebab itu, maka penjajahan diatas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan”.Bapak Mohammat Hatta mengatakan, “secara pribadi ingin saya menyatakan bahwa bagi saya masalah Irian Barat tidak perlu dipersoalkan. Saya tahu bahwa bangsa Papua pun berhak menjadi bangsa yang merdeka” (Socratez Sofyan Yoman, 2008: 30).

b.      Jenis Sengketa

Sudah bukan rahasia lagi bahwa Papua barat dipaksakan masuk dalam NKRI merupakan bagian tidak terpisahkan ekspansi  teritorial demi kepentingan kekuasaan, ekonomi dan politik oleh negara indonesia dan Amerika di tanah Papua yang hingga kini masih memanas. Hal ini dibuktikan dengan apa yang dikatakan oleh Ali Moertopo bahwa “kami tidak suka orang Papua, yang kami suka hanya kekayaan alam Papua”, 

Dr. Ikrar Nusa Bhakti dalam (Socrates Sofyan, 2008:32) menyatakan satu kata kunci dari kepentingan Indonesia dan Amerika Serikat adalah: kekayaan alam bumi cendrawasih (hutan, tembaga, emas dan minyak bumi). Dan memang itulah realitas yang terjadi dalam kehidupan masyarakat dari dulu hingga saat ini.

c.       Aspek-aspek yang menjadi fokus dalam sengketa

Aspek yang menjadi fokus dalam sengketa politik Papua adalah sejarah aneksasi Papua kedalam pangkuan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang terjadi pada tanggal 1 Mei tahun 1963. Pada tahun itu, bagi negara indonesia adalah tahun kemenangan dan kesuksesan merebut Papua, namun bagi masyarakat Papua adalah awal malapetaka dan pemusnaan etnis Papua ras malanesia yang dilakukan oleh pemerintah indonesia demi kepentingan ekonomi politik. Karena orang papua sebelum menyatakan pilihannya dalam PEPERA 1969 indonesia sudah mengirim pasukan militer dan menerapkan peraturan-peraturan Indonesia di Papua dan militer melaksanakan tugasnya dengan lebih kejam dalam menghadapi orang-orang Papua.

d.      Ciri-ciri sengketa dan Pihak yang terlibat

Adanya berbagai macam aksi penolakan atas kehadiran pemerintah Indonesia ditengah masyarakat Papua karena sejarah membuktikan bahwa kehadiran pemerintah merupakan tidak sesuai dengan hukum yang berlaku (ilegal).  Berdasarkan hal tersebut, banyak organisasi pemerintahan maupun nonpemerintahan yang turut memberikan dukungan secara moril maupun materil kepada masyarakat Papua untuk menyelesaikan sengketa politik Papua yang berkepanjangan itu.  Dalam konteks tersebut masyarakat Papua berada pada posisi yang dikorban. Kekayaan alam Papua dikeruk dan eksploitasi habis-habisan. Kemiskinan struktural diciptakan oleh pemerintah NKRI. Orang Papua distigma berbagai macam label bahkan nyawa menjadi taruhan diatas kebenaran sejarah.

e.      Pihak yang terlibat di luar sengketa

Masalah sengketa politik Papua barat sudah diketahui oleh banyak pihak, karena masalah Papua adalah masalah internasional. Dr. Ikrar Nusa Bhakti dalam (Socrates Sofyan, 2008) menyatakan sejak dulu hingga kini, persoalan Irian Jaya (Papua) bukan hanya persoalan antara indonesia dan penduduk Papua, melainkan juga persoalan menyangkut internasional. Ia bukan hanya mengaitkan hubungan antara masyarakat dan masyarakat, masyarakat dan pemerintah, antar pemerintah dan pemerintah tetapi juga antar gereja (Sofyan Yoma, 2008: 37). Dan George Junus Aditjondro juga menulis sebuah buku yang berjudul “Persoalan Papua adalah Persoalan Internasional”.

Berdasar hal tersebut masyarakat di dalam maupun diluar negeri memberikan dukungan kepada masyarakat Papua yang merupakan pihak korban kepentingan negara Amerika dan Indonesia serta PBB yang tidak mengkaji laporan UNTEA.

f.        Bentuk-bentuk Penindasan

I.                    15 Agustus 1962 Perjanjian New York

1.      Perjanjian New York dibuat atas sponsor Amerika Serikat untuk menyelesaikan masalah persengketaan antara Belanda dan Indonesia atas status politik Papua Barat. Tujuan utama dari perjanjian ini adalah, “penyelesaian persengketaan antara Belanda dan Indonesia atas status politik orang Papua barat dan untuk memberikan kesempatan kepada orang Papua untuk penentuan nasib sendiri atas negeri dan masa depan kelangsungan hidup diatas tanah leluhurnya atas pengawasan PBB” (Socratez Sofyan Yoman, 2008: 32).

Namun, perjanjian ini sangat memalukan bagi negara-negara yang terlibat pembuatan perjanjian ini. Ada empat alasan yang sebenarnya mencontreng muka ketiga negara ini, yakni:

2.      Perjanjian New York 15 Agustus 1962 dibuat tanpa melibatkan orang-orang Papua sebagai pemilik tanah dan ahli waris dari Ras Malanesia.
3.      Perjanjian New York 15 Agustus 1962 yang terdiri dari  29 pasal ini sama sekali tidak membicarakan nasib dan masa depan orang Papua, tetapi yang ditetapkan adalah tentang peralihan Papua dari tangan Belanda kepada UNTEA (United Nations Temporary Executive Administration: administrasi eksekutif sementara PBB) dan selanjutnya dari UNTEA PBB kepada Indonesia pada tanggal 1 Mei 1963.
4.      Perjanjian New York tidak dibicarakan nasib orang Papua yang pro-Merdeka yang sesungguhnya hampir 99 persen. “pandangan-pandangan politik pribadi kepada tim PBB adalah 95 persen orang-orang West Papua mendukung gerakan Papua Merdeka dan bahwa PEPERA adalah suatu penghinaan”. Sudjarwo, Pimpinan tugas Operasi sadar juga mengakui “banyak orang Papua Barat kemungkinan tidak setuju tinggal dengan Indonesia”. Dr. Fernando Ortiz Sanz, perwakilan PBB di Wes Papua dalam laporannya menyatakan “mayoritas orang Papua menunjukkan berkeinginan untuk berpisah dengan Indonesia dan mendukung pikiran mendirikan Negara Papua Merdeka”. Pada bulan juli 1969, Duta Besar Amerika Serikat saat berkunjung ke Papua mengakui kepada anggota tim PBB, Ortisanz secara rahasia (tertutup), bahwa “95% orang-orang Papua mendukung gerakan kemerdekaan Papua”.
5.      Perjanjian New York ini dibuat hanya dengan tujuan dan kepentingan ekonomi, politik dan keamanan tanpa mempertimbangkan kepentingan masa depan dan kelangsungan nasib hidup orang Papua. Dr. Ikrar Nusa Bhakti menyatakan, “dalam bahasa Osborn, satu kata kunci dari kepentingan Indonesia dan Amerika Serikat (AS) adalah kekayaan alam bumi cendrawasih (hutan, tembaga, emas dan minyak bumi)” (hal: xiv), (Socratez Sofyan Yoman, 2008: 32)

II.                  30 September 1962, Roma Agreement.

30 September 1962 adalah perjanjian Roma (Roma Agreement), sebelum perjanjian New York diberlakukan pada tanggal 1 Oktober 1962, maka muncul perjanjian baru yang ditanda tangani oleh Amerika, Indonesia, Belanda yang disutradarai oleh Subandrio (Menteri Luar Negeri saat itu). isi dari perjanjian Roma memuat beberapa pokok penting, yang kontroversial dengan isi  perjanjian New York, bahkan sangat bertentangan dengan hukum internasional. Pokok-pokok penting tersebut adalah:

1.      Penundaan atau bahkan pembatalan pelaksanaan Penentuan Pendapat Rakyat tahun 1969.
2.      Indonesia menduduki Papua Barat selama 25 tahun terhitung 1 Mei 1963 sampai 1988.
3.      Pelaksanaan Penentuan Pendapat Rakyat tahun 1969 adalah dengan sistem “musyawarah” untuk “mufakat” sesuai dengan sistem dewan musyawara indonesia.
4.      Laporan akhir tentang pelaksanaan Plebisit tahun 1969 kepada sidang umum PBB diterima tanpa sanggahan terbuka.
5.      Pihak Amerika Serikat bertanggungjawab menanamkan modalnya pada sejumlah BUMN dibidang ekploitasi SDA Papua Barat.
6.      Amerika Serikat menunjang Pembangunan Papua Barat selama 25 tahun melalui jaminan kepada Bank pembangunan Asia sebesar USD 30 juta.
7.      Amerika Serikat menjamin pendanaan program Transmigrasi indonesia ke Papua Barat melalui Bank Dunia.

III.                5 Oktober 1962

Sebagian besar orang indonesia dan orang Papua Barat belum mengetahui proses peralihan tanah Papua dan Orang Papua Barat dari tangan Belanda Kepada UNTEA (PBB) dan selanjutnya menyerahkan kepada Indonesia. Dalam perjanjian New York Agustus 1962 Pasal II berbunyi:

Setelah pengesahan resolusi yang dirujuk pada pasal I, Belanda akan menyerahkan pemerintahan wilayah pada otoritas eksekutif Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNTEA) yang dibentuk oleh dan dibawah kewenangan Sekertaris Jendral  pada saat administrator Perserikatan Bangsa-bangas yang sesuai pasal IV. UNTEA sebaliknya menyerahkan pemerintahan pada Indonesia sesuai pasal XII.

Kutipan ini menjadi jelas bahwa bahwa UNTEA menjalankan tugas pemerintahan di Papua Barat hanya selama kurung waktu tujuh bulan dari 1 Oktober 1962 sampai 1 Mei 1963. Selanjutnya UNTEA menyerahkan pemerintahan penuh kepada indonesia sebelum dilaksanakan Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) 1969.

IV.               1 Mei 1963

Tanggal 1 Mei 1963 adalah sejarah kemenangan bagi bangsa Indonesia. Sementara bagi orang Papua tanggal 1 Mei 1963 adalah awal malapetaka dan pemusnaan etnis Papua ras Malanesia. Sebelum orang Papua menyatakan pilihannya dalam PEPERA 1969, indonesia sudah mengirim pasukan militer dan menerapkan peraturan-peraturan Indonesia di Papua dan militer melaksanakan tugasnya dengan sangat kejam dalam menghadapi orang-orang Papua (Socratez Sofyan Yoman, 2008: 32).
Operasi-operasi militer di seluruh tanah Papua Barat sebagai berikut:

a.      Tahun 1965-1966, Operasa Sadar.
b.      Tahun 1966-1967, Operasi Baratayuda.
c.       Tahun 1967-1969 Operasi Wibawa.

Dalam operasi-operasi militer tersebut OPM dan orang-orang Papua yang ingin mendirikan negara West Papua dibunuh habis-habis, untuk meloloskan PEPERA. Kemudian setelah pelaksanaan PEPERA operasi  secara sistematis berlanjut sampai saat ini entah kapan akan berakhir. Tahun 1969-1971 Operasi Pamungkas, Tahun 1977, Pemberontakan Masyarakat Dani. Dan, pembunuhan, penculikan, perampasan dan pemerkosaan seakan-akan telah menjadi bagian dari kehidupan orang Papua Barat.

V.                 Act Of Free Choice 1969 (PEPERA di Papua Barat)

Dr. George Junus Aditjondro mengatakan, “dari kaca mata yang lebih netral, hal-hal apa saja yang dapat membuat klaim Indonesia atas daerah Papua Barat ini pantas untuk dipertanyakan kembali”, (200: 8). Robin Osborn, mengungkapkan, “bahwa penggabungan daerah bekas jajahan Belanda itu kedalam wilayah Indonesia didasarkan pada premis yang keliru. Yaitu ketika 1.025 orang delegasi yang dipilih pemerintah indonesia memberikan suara mereka dibawah pengawasan PBB diartikan sebagai aspirasi politik dari seluruh masyarakat Papua Barat. Kini premis ini diragukan keabsahannya berdasarkan hukum internasional” (2000: xxx).

Militer indonesia memainkan peran sangat besar dan penting sebelum melaksanakan PEPERA tahun 1969. Hal ini terlihat dalam dokumen militer: “Surat Telegram Resmi Kol. Inf. Soepomo, Komando Daerah Militer XVII Tjenderawasih Nomor: TR-20/PS/PSAD/196, tertanggal 20-2-1967, berdasarkan Radio Gram MEN/PANGAD No.: TR228/1967 TBT tertanggal 7-2-1967, perihal menghadapi referendum di IRBA tahun 1969”

“Mempergiatkan segala aktifitas dimasing-masing bidang dengan mempergunakan semua kekuatan material dan personil yang organik maupun yang B/P-kan baik dari angkatan darat maupun dari angkatan lain. Berpegang teguh pada pedoman. Referendum di IRBA tahun 1969 harus dimenangkan, harus dimenangkan. Bahan-bahan strategis vital yang ada harus diamankan. Memperkecil kekalahan pasukan kita dengan mengurangi pos-pos yang statis. Surat ini sebagai perintah OPS untuk dilaksanakan. Masing-masing koordinasi sebaik-baiknya. Pangdam 17/PANG OPSADAR.”

Bentuk Resistensi

Sudah bukan rahasia lagi, perjuangan untuk melepaskan diri dari NKRI terus dilakukan oleh orang Papua dari dulu hingga saat ini. Walaupun konsekuensi perjuangan tersebut adalah pengorbanan darah, nyawa dan harta tidak terkirakan, namun hal tersebut tidak perna menyurutkan semangat perjuangan. Justru sebaliknya, setelah dengan bergulirnya reformasi, rakyat Papua bangkit membicarakan hak-haknya dan mempersoalkan status politiknya di dalam NKRI.

Referensi

Yoman Sofyan Socratez, (2008) Suara Gereja Bagi Umat Tertindas. Reza Enterprize: Jakarta Timur

Baca Juga Berita Terkait

Tidak ada komentar:

Leave a Reply