Oleh: Mikael Tekege
***
“Tantangan yang kita hadapi pada saat ini dan keperluan akan
pembaharuan memaksa kita untuk
berunding, untuk bekerjasama, untuk menyesuaikan keinginan dan pikiran
kita sendiri dengan keinginan dan pikiran
orang lain”Uskup Rudolf Staverman, OFM,
November 1967)
Sejak pulau Papua Barat diintegrasikan
kedalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) rakyatPapua telah mengalami
berbagai macam kenangan pahit yang sulit
dilupakan. Semua kisah kehidupan pahit bersama negara Indonesia itu
berawal dari sejarah status politik PapuaBarat. Pada saat itu pemerintah
Belanda menyerahkan kekuasaan atas Papua Baratkepada pemerintah Indonesia
melalui beberapa perjanjian Internasional diantaranya, New York Agreement (15 Agustus 1962) dan RomaAgreement(30 September 1962). Namun demikian, perjanjian
tersebut dinilai dilakukan secara sepihak karena dalam perjanjian tersebut
tidak melibatkan
orang-orang Papua Barat sebagai pemilik tanah dan ahli waris dari Ras
Malanesia.
Walaupun
dalam perjanjian New York terdapat pasal tentang hak untuk menentukan nasib
sendiri, namun pelaksanaannya diserahkan kepada Indonesiasehingga Act Of Free Choice 1969 (PEPERA) di
Papua Baratdilaksanakan penuh dengan ketidakadilandan diluar dari mandat atau
amanat perjanjian New York, yakni satu
orang satu suara (one man, one vote)tetapi
pada pelaksanaan hanya 1026 orang Papua Barat dilibatkan sebagai perwakilan
yang ditentukan oleh pemerintah Indonesia sendiri. Bahkan sebelum PEPERA
dilaksanakan, pemerintah Indonesia dibawah kepemimpinan Soekarno telah
mengeluarkan Tri Komando Rakyat (Trikora) pada 19 Desember 1963 di Alun-alun
Utara Yogyakarta yang berisi tiga pokok penting, yakni: pertama, Bubarkan Negara
Boneka Papua Barat buatan Belanda; kedua, Kibarkan Sang Saka Merah Putih di
seluruh dataran Irian Barat (Papua); dan ketiga, mobilisasi umum merebut Irian Barat.
Tak
pelak, Trikora menjadi awal malahpetaka bagi orang Papua. Berbagai macam
operasi militer dilancarkan untuk menindaklanjuti Trikora ini. Selain itu juga
salah satu tujuan dari operasi militer ialah untuk meloloskan PEPERA. Ada pun
beberapa operasi militer diantaranya, yakni: Operasa Sadar (1965-1966), Operasi
Baratayuda(1966-1967) dan Operasi Wibawa (1967-1969). Dalam operasi-operasi
militer tersebut Organisasi Papua Merdeka (OPM) dan rakyat Papua yang ingin
mendirikan negara West Papua dibunuh
habis-habisan. Kemudian setelah pelaksanaan PEPERA operasi secara sistematis
tetap berlanjut seperti Operasi Pamungkas (1969-1971) dan Pemberontakan
Masyarakt Dani (1977). Danhingga saat ini,
pembunuhan, penculikan, perampasan dan pemerkosaan masih tetap ada(baca
operasi)seakan-akan telah menjadi bagian dari kehidupan orang Papua Barat.
Orang
Papua dari sejak dulu hingga saat ini selalu mempertanyakan sejarah tersebut.
Hal ini dikarenakan, masyarakat Papua telah menyadari bahwa persoalan utama
yang terjadi di tanah Papua berawal dari sejarah. Meskipun demikian, pemerintah
Indonesia menganggap segala macam persoalan yang terjadi di seluruh pelosok tanah
Papua Barat adalah masalah pembangunan
dan kesejahteraan.Sehinggatak herankonsep kebijakan Otonomi Khusus (Otsus) dan
Unit percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat (UP4B) serta kebijakan
tumpang tindi lainnya dengan kucuran dana triliunan rupiah menjadi solusi
instan. Akan tetapi semua jalan keluar ini tidak membuahkan hasil yang baik
malah jauh dari harapan bahkan menambah persoalan dalam kehidupan masyarakat
Papua Barat.
Berbagai
macam upaya pendekatan pembangunan dan kesejahteraan oleh pemerintah telah pula
menaburkan benih-benih dendam sejarah dalam pola atau metode yang baru. Dan semua itu berjalan dalam penuh
kewaspadaan atas bahaya hilangnya kontrol negara sehingga budaya tradisional
yang merupakan jati diri orang Papua Barat dianggap tidak penting dan ancaman
bagi pemerintah Indonesia sehingga
dipaksakan dan digantikan dengan budaya modern sambil menstigmatisasi berbagai
bentuklabel yakni primitif, bodoh, separatis, OPM dan sebagainya kepada pejabat
maupun masyarakat Papua yang merupakan pembunuhan karakter orang Papua Barat.
Dengan kata lain, pendekatan pembangunan dan kesejahteraan dilakukan atas
kepentingan untuk mengantisipasi disintegrasi sehingga tidak ada inisiatif dan
niat baik untuk membangun orang Papua Barat.
Satu
hal signifikan yang perlu digarisbawahioleh pihak-pihak yang berkepentingandi
bumi Cendrawasih ialah status politik Papua yang sudah dipahami oleh orang
Papua sendiri sehingga pendekatan model apapun yang diberikan oleh pemerintah
Indonesia untuk kepentingan menanamkan jati diri ke-Indonesia-an bagi orang
Papua cukup sulit untuk dilaksanakan. Yang perlu diketahui oleh semua pihak
bahwa orang-orang yang telahmenjadi
korban dalam beberapa operasi militer
sejak dulu hingga saat ini merupakan kausalitas dari sejarah politik Papua Barat,
bukan persoalan makan dan minum yang dipahami oleh pemerintah Indonesiaserta
pihak berkepentingan lainnya selama ini.
Bangsa
yang besar adalah bangsa yang menghargai sejarah (Bung Karno). Bangsa Indonesiaadalah
bangsa yang besar maka harus menghargai sejarah bangsa lain karena bangsa yang
tidak menghargai sejarah bangsa lain, akan tidak dihargai oleh bangsa
lain. Dr. George Junus Aditjondro dalam (Socratez
Sofyan Yoman, 2008: 26) menyatakan “sejarah satu komunitas adalah jati diri dan
sekaligus imajinasi mengenai hari depan
dari komunitas itu sendiri. Atas nama sejarah dan bayangan mengenai masa
depan itu pulalah kini masyarakat Papua menggugat pemerintah RI”. Kutipan ini
sekaligus memperkuat argumen bahwa sejarah politik Papua adalah akar dari semua
persoalan di PapuaBarat.
Pemerintah
Indonesia memberikan banyak tawaran kepada pemerintah Papua Barat, baik otonomi
khusus(Otsus) dengan kucuran dana triliunan rupiah, pemekaran, pendekatan
pembangunan dan kesejahteraan serta UP4B.Akan
tetapi tidak membawah perubahan fundamental yang signifikan dalam kehidupan sosial.
Parahnya lagi orang Papua tidak mau hidup berdampingan dan tidak menghargai
pemerintah indonesia, karena pemerintah tidak menghargai sejarah bangsa
Papua. Perkembangan zamanserta segala bentuk tawaran ini tidak menjamin terjadinya
perubahan fundamental dalam kehidupan masyarakat.
Menarik
jika menyimak apa yang dikatakan oleh Ikhwan Afandi, “Ahli ekonomi misalnya, kemajuan ekonomi dan pragmatisme akan
mengakhiri identitas etnis dan ideologi. Hal senada juga dinyatakan oleh para
ilmuan politik dengan beranggapan bahwa kematangan politik dan demokrasi akan
menghilangkan kesukubangsaan dalam negara-negara multi etnik”Ikhwan Affandi,
dalam buku yang berjudul “Akar Konflik
Sepanjang Jaman”(2011:3). Atau
dengan kata lain, modernisme, liberalisme, dan demokrasi dianggap mampu
menghilangkan identitas etnis dan ideologi antar suku atau kelompok dalam masyarakat dan menciptakan masyarakat yang terintegrasikan kedalam suatu
komunitas lebih besar. Begitu pun dengan anggapan pemerintah Indonesia terhadap
konteks kehidupan di Papua Barat bahwa pendekatan pembangunan dan kesejahteraan
akan menghilangkan ideologi Papua merdeka. Namun anggapan tersebut sangat bertentangan dengan realitas saat ini.
MasyarakatPapua
Barat telah menyadari bahwa kesejahteraan dan pembangunan serta tawaran konsep
undang-undang yang diberikan pemerintah pusat kepada masyarakat Papua merupakan
upaya untuk menghilangkan sejarah politik Papua Barat. Oleh karena itu, jika pemerintah RI menganggapmasyarakat
Papua Barat sebagai manusia yang mempunyai harkat dan martabat, bukalah pintu
hati dan pikiran, mari kita luruskan sejarah politik Papua Barat karena itulah
akar persoalannya. Pemerintah Indonesia maupun masyarakat Papua Barat jangan
berpikir Papua Baratakan lepas atau tidak, tetapi yang signifikan dalam hal ini
adalah kejujuran untuk pelurusan sejarahkarena dari situlah akan ada jawaban bagi kedua belah pihak
(pemerintah RI dan masyarakat Papua) untuk lepas dari NKRI atau tetap berada
dalam bingkai NKRI. Masyarakat Papua Baratmenginginkan Presiden RI yang jujur
dan mau mendengarkan keluhan pelurusan sejarah ini, sebaliknya rakyat Papua
Barat tidak mau presiden yang memberikan berbagai macam tawaran seperti
sebelumnya. Bagi masyarakat Papua Barat tawaran bentuk apapun hanya menambah
dan memelihara serta memperpanjang
persoalan di Papua Barat.
Tidak ada komentar: