Yesus berkata kerajaan Tuhan berada di dalam
dirimu, dan setiap perbuatanmu, bukan gedung kayu dan batu. Belah sepotong kayu
dan Aku ada disana. Angkat sebuah batu dan kau temukan Aku disana.
perbuatan setiap insan manusia, bukan didalam bangunan batu dan kayu, belah
batu maka Aku ada disana
(kitab. Santo Thomas)
Orang Papua
pada umumnya dari awal mula tahu mana yang baik dan yang buruk, mana yang harus
dilakukan dan yang tidak, mana yang penting dan yang tidak penting, dan kapan bekerja dan istrahat. Dari
dahulu Orang tuah memberikan nasehat kepada anaknya “jangan mencuri, jangan
membunuh, jangan bersaksi dusta, jangan berbuat cabul, dan lain-lain
karena umurmu akan pendek” nasehat
itu sebagai pegangan hidup dan inilah sepuluh perintah Allah yang kita kenal dalam ajaran
agama. Sebelum injil
masuk, kehidupan orang Papua tidak terlepas dari nilai-nilai humanisme dan
religius , mereka hidup rukun, gotong royong, dan kolektifitas. Kasih terhadap
sesama merupakan hal yang dipegang teguh oleh orang Papua, bahkan telah menjadi
bagian dari kehidupan mereka. Orang Papua
menyebut Tuhan dengan istilah bahasa daerah masing-masing, misalnya orang Mee,
menyebut Yesus adalah “Koyeidaba” dan
Allah adalah “Poyamee”. Hanya saja
belum dituliskan sehingga itu disampaikan secara lisan dari generasi ke
generasi (regenerasi).
Pertanyaannya adalah apa bedahnya nilai-nilai kehidupan masyarakat Papua dengan
nilai-nilai yang tercantum didalam injil itu?
Injil
masuk di tanah Papua hanya ketegasan dalam bentuk tulisan dengan maksud orang bisa melihat dan membaca kembali nilai-nilai injil itu sehingga umatnya tidak mudah terlepas dari nilai-nilai tersebut yang
sebelumnya sudah dipraktekkan namun belum tertulis
itu, karena memang belum mengenal tulisan. Memang kita mengakui bahwa sebelum masuk injil
di tanah papua, nilai-nilai itu
suda ada dan dipraktekan dalam kehidupan orang Papua dan juga mungkin bangsa-bangsa lain di dunia pun demikian. Lebih tegas lagi bahwa sebelum injil masuk di tanah Papua, orang Papua takut melanggar norma yang ada dan berbuat sesuai dengan nilai-nilai tersebut dalam kehidupannya karena orang tuah atau seseorang yang diakui sebagai kepala menjatuhkan hukuman yang
berat, jadi waktu itu orang Papua hidup dalam nilai-nilai kebenaran dari Tuhan. Setelah injil masuk dan pada jaman modern ini, orang Papua menjadi pertanyaan dalam
mepraktekan nilai-nilai itu. Kemudian
selain injil membawah ketegasan, nilai-nilai kebenaran apa yang mereka bawah?
Orang barat membawah injil serta cara beribadat yang telah dikonsepkan oleh
para ilmuwan, bukan tulisan dan konsep asli dari Tuhan. contohnya, dalam injil
ada sebutan negara atau wilayah Israel, Sion, saitun, Roma, dan lain sebagainya. Pertanyaannya adalah
mengapa ada sebutan negara atau wilayah barat itu? apakah Surga itu ada disana? menurut saya tidak, ada
sebutan Israel, Roma dan lain sebagainya karena mereka yang tulis. apabila kita orang Papua yang menulis injil atau alkitab, pasti ada
sebutan Papua, Jayapura, Nabire, Wamena, dll. Pertanyaan
selanjutnya, Apakah itu sesuai dengan budaya kita? oleh karena itu, selama ini kita tidak perna
sadar kalau kita dijajah dari sisi budaya melalui agama itu sendiri. Kita orang Papua menerima dan menjalankan konsep itu hingga saat ini, harusnya kita
mempertimbangkan nilai-nilai budaya yang ada.
Oleh karena itu, selama ini ada
banyak kalangan salah dalam mengartikan makna daripada injil masuk Papua
tersebut, misalnya Injil menerangi Papua yang dulunya gelap, Injil membawah
damai ditanah Papua, ini berarti pertanyaan selanjutnya adalah apakah dulu
orang papua tidak mengenal Tuhan (atheis)? Apakah dulu kehidupan orang
Papua tidak aman? Berdasarkan fakta nasehat orang tuah secara kontinu seperti
diatas ini juga dikatakan oleh Pdt. Socrates Sofyan Yoman seperti yang dilansir
di http://www.suarabaptis.org Socratez: Tak Benar Injil Masuk Papua Saat Kegelapan
Agama: Awal
Rusaknya Fondasi Hidup
Membangun sebuah rumah atas dasar
pondasi yang kuat agar dapat bertahan terhadap badai dan guncangan gempah yang
sekalipun dahsyat. Begitupun dengan manusia menjalani kehidupan berdasarkan
pondasi yang kuat supaya tidak mudah terdoktrin dengan pengaruh-pengaruh dari
luar yang berusaha mengarahkan masyarakat pada ambang kehancuran. Pondasi
yang saya maksud di sini adalah aturan hukum adat dan nilai-nilai budaya
setempat. Orang yang melangkah atas dasar pondasi yang kuat mampu membedahkan
mana yang baik dan yang buruk sehingga tidak mudah terpengaruh.
Begitu pula dengan orang Papua Barat
yang kehidupannya tidak terlepas dari pondasi kehidupan tersebut. Namun,
penyebaran misi agama di daratan Papua Barat berdasarkan perselingkuhan
kepentingan ekonomi politik (glory, gold dan gospel) merupakan awal kehancuran
pondasi kehidupan. Untuk mewujudkan misinya adat dan budaya yang
mengandung nilai-nilai positif dianggap tidak penting dan primitif sehingga
perlu digantikan dengan budaya modern atau Eropa. Adat dan budaya tradisional
mulai retak dan hilang secara evolusi yang diwarnai dengan berbagai macam
konflik diseluruh aspek kehidupan orang Papua Barat.
Kehadiran kaum misionaris
membuka pintu bagi pemerintah kolonial Belanda dan pemerintah kolonial Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang masuk secara ilegal. Aneksasi pulau
Papua Barat merupakan menambah malahpetaka dengan jalan menghancurkan pondasi
kehidupan secara represif dan halus demi meng-indonesia-kan atau menanamkan
jati diri ke-Indonesia-an terhadap orang Papua Barat.
Pemerintah NKRI telah berhasil
karena realitas saat ini pondasi telah dirusak sehingga masyarakat
kebanyakan terlihat seperti manusia robot yang digerakkan oleh pihak lain. Pondasi telah rusak, menanti guncangan
gempah meratakan yang tak kuat ini. Usaha dan upaya untuk memperbaiki dan menggali
kembali merupakan sesuatu yang
berbahaya bagi mereka (pemerintah) hingga berujung pada kebuntutan. Disanalah
diperhadapkan pada dua pilihan yakni "maju atau mundur".
Maju untuk
memperbaiki dan mundur untuk membiarkan begitu saja. Pilihan ini memang sulit
ditentukan, karena kedua ini memiliki kausalitas yang sama beratnya. Kadang
satu istilah mengandung banyak pengertian, sehingga berakibat pada kebingungan
untuk menentukan pilihan itu karena memang sengaja sejak awal dibuat
bingung dengan satu kata yang tidak
asing bagi kita, yakni "Kasih Sayang".
Kasih sayang menurut ajaran
penceramah dengan ajaran para leluhur sangatlah berbeda. Menurut penceramah, kasih
sayang terhadap siapa saja dan kapan saja sekalipun orang yang menyakiti kita.
Istilah itu sudah mendara daging dalam sebagian besar orang Papua dan telah diaktualisasikan
dalam kehidupan sehari-hari. kasih
sayang selalu menghantui setiap aktivitas manusia. Pada hal, apabila meneropong ke belakang istilah itulah awal rusaknya
fondasi hidup ini. Sedangkan menurut leluhur, kasih sayang kepada orang
yang susah dan membutuhkan bantuan uluran tangan pihak lain, baik dalam
bentuk moril dan materil.
Itulah
kelemahannya dia yang pintar ceramah ini apabila tidak mengandung unsur-unsur
politis dan itulah pintarnya dia untuk
meloloskan misi kepentingan yang tersembunyi dibalik ceramah dimimbar yang
menurut mereka mimbar suci. Sebagian kecil orang baru mengerti, ternyata
kasuciannya telah berselingkuhan dengan politik yang tak ber-etika. Pesan yang disampaikan antitesis dari
realitas sosial dan kebutuhan masyarakat bahkan kadang bertentangan dengan
nilai-nilai budaya setempat.
Melalui ceramah di mimbar suci,
terdengar ungkapan persuasif untuk tunduk pada sistem kepentingan yang merusak
pondasi hidup anak bangsa yang sedang melebur dalam pencarian jati diri yang
sebenarnya. Memelihara berbagai macam problem dengan satu kata yang sangat
sederhana, yakni “damai”. Kita berbicara damai, tetapi tidak perna membicarakan
bagaimana memperjuangkan untuk mewujudkan damai tersebut, selain memintah damai
melalui doa.
Kasih sayang menciptakan
konteks kehidupan yang sulit menemukan lawan yang berusaha menginjak-injak
harkat dan martabat manusia. Sedangkan kata damai membuat masyarakat menerima perlakuan
apa saja, sekalipun pembunuhan, cukup dengan kata damai. Damai memberikan
kecolongan bagi mereka untuk melakukan hal yang sama pada masa mendatang.
Pasrah menerima apapun yang terjadi itulah diceramahkan dan itu sering kali
bertentangan aturan hukum adat yang merupakan jati diri setiap orang.
Sudah menjadi rahasia umum
sebagian besar masyarakat Papua bahwa awal rusaknya fondasi kehidupan adalah
agama, tetapi tidak mungkin melepaskan diri dari agama tersebut. Oleh
karena itu, ceramah harus disesuaikan dengan ajaran nilai-nilai budaya budaya
yang ada serta kebutuhan masyarakat setempat, (Ipou Igo’n)
Tidak ada komentar: