Sang Korban Bernama Rakyat


           Tukang sepatu membuat sepatu, tetapi si pemakailah yang mengatakan dibagian mana sepatu itu menggencet, demikian pepata Athena kuno. Rakyat biasalah yang merasakan dampak atau pengaruh kebijakan-kebijakan pemerintah dalam implementasinya. Dan dalam hal ini kebijakan pemerintah dapat mencerminkan keinginan rakyat sebagai pemegang kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), jika legalitas kebijakan tidak menafikan aspirasi rakyat.  Adanya rencana kebijakan menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) pada bulan Mei mendatang dengan rincian harga premium mobil pribadi Rp 6.500 perliter, sedangkan kendaraan roda dua dan angkutan umum masih tetap yakni Rp 4.500 perliter merupakan kebijakan teranyar dari pemerintah. Sudah bukan rahasia lagi, rencana ini masih hangat dibicarakan diberbagai kalangan. Terutama rakyat kecil (wong clik) yang akan menghadapi atau menerima dampak kebijakan tersebut. Tak pelak harga barang dan jasa semakin melonjak tinggi menambah beban rakyat.
Kebijakan yang dibuat oleh pemerintah saat ini tidak memperhatikan aspirasi rakyat. Pemerintah merumuskan dan melegitimasinya atas dasar tampuk kekuasaan, seperti yang dikatakan oleh Thomas R. Dye : “Public Policy is whatever government choose to do or not to do.” Apapun yang dipilih pemerintah untuk bertindak untuk melakukan atau tidak melakukan. Pernyataan ini mengandung makna bahwa, pertama, kebijakan publik tersebut dibuat oleh badan pemerintah, bukan organisasi swasta. Tetapi pembuatan kebijakan selama ini tidak terlepas dari perselingkuan kedua organisasi (pemerintah dan swasta) tersebut sehingga negara dan swasta menduduki level yang sejajar sedangkan masyarakat berada di pihak yang menerima dampak kebijakan tersebut. Dominasi pihak swasta, menempatkan masyarakat pada posisi penerima dampak atau korban kebijakan tersebut.
Kedua, kebijakan publik menyangkut pilihan yang harus dilakukan atau tidak dilakukan oleh badan pemerintah. Pembuatan kebijakan pemerintah memiliki legalitas dengan memperhatikan kebutuhan masyarakat maupun organisasi swasta, namun realitas yang terjadi kebijakan lebih dominan memperhatikan organisasi swasta bahkan kebijakan menjadi jembatan bagi organisasi swasta, sedangkan masyarakat tetap menjadi pihak yang korban. Idealnya menurut teori Good Governance, negara menempati level paling atas sedangkan masyarakat dan organisasi swasta (pasar) menduduki posisi setara atau sejajar di bawah negara, sehingga negara mengatur dan memenuhi kebutuhan masyarakat dan organisasi swasta. Sebagai negara yang menganut paham demokrasi seharusnya semua kebijakan termasuk rencana kenaikan BBM ini, pemerintah perlu memperhatikan kebutuhan rakyat yang selama ini tersingkir dari kepentingan kedua organisasi (negara dan pasar) itu.
Pemerintah telah kehilangan moral, mereka acuh tak acuh dengan situasi dan kondisi yang terjadi didepan mata. Sesungguhnya kehidupan rakyat Indonesia sejahtera apabila pemerintah mengelola kekayaan alam ini dengan baik. Negara Indonesia sendiri mempunyai sumber minyak serta tambang terbesar yang menjamin hampir seluruh dunia. Jika rencana Kenaikan BBM benar-benar dilegitimasi, yang jelas akan berpengaruh pada seluruh aspek kehidupan. Ini semua adalah akibat dari liberalisasi ekonomi Indonesia yang semakin mengarah pada minimnya peran Negara dalam hal ini untuk mensejahterakan rakyat. Undang-undang telah menjambatani untuk masuknya kapitalis asing untuk mengeksplorasi dan mengeksploitasi SDA khususnya minyak dan gas (migas) bumi Indonesia.
Harapan saya: pertama, mengembalikan semangat awal proklamasi kemerdekaan Indonesia; kedua, pemerintah mengembalikan Pancasila dan UUD 1945 sebagai dasar Negara; ketiga, bangun kemandirian teknologi untuk menjawab tantangan zaman; dan keempat, nasionalisasi aset asing yang menguasai hayat hidup orang (Ipou)

Baca Juga Berita Terkait

Tidak ada komentar:

Leave a Reply