Pemekaran kabupaten/provinsi kami akan
menyetujui dengan syarat dari partai kami memintah beberapa kursi Dawan
Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) diwilayah tersebut. (kata seorang mantan DPR RI pada saat diskusi)
Kata pemekaran (Mekar), bunga yang mekar.
Mekar adalah istilah botani yang digunakan oleh pemerintah Indonesia. Jika kita
ibaratkan dengan bunga yang mekar, maka bunga mekar itu akan layu dan mati pada
saatnya, mekar bukan selamanya. Artinya indonesia
memekarkan pola atau metode penindasan dalam bentuk baru secara halus. Ini
mengandung makna bahwa pemekaran dilihat dari peta politik indonesia untuk
mematikan seluruh aspek kehidupan masyarakat Papua baik ekonomi, sosial budaya,
dan politik (ekosospol).
Aspek yang paling mencolok mengenai proses
desentralisasi sungguh tidak terencana. Pemekaran merupakan istilah Indonesia
untuk menyebut subdivisi distrik-distrik dan propinsi yang ada dalam rangka
menciptakan unit-unit administrasi yang baru. Pemekaran seperti itu juga
terjadi dinegara-negara lain. Di Amerika Serikat, pemekaran seperti itu disebut
redistricting, yaitu pembentukan
kembali distrik-distrik, dan menyangkut politik pemilihan. Di beberapa Negara
di Eropa Timur setelah era Soviet berakhir,
tujuannya adalah melepaskan penyatuan paksa dari era Soviet dan kembali
ke unit-unit semula yang lebih kecil (Illner dan Majcherkiewicz, 2000: 200). Baik di Amerika Serikat maupun Eropa Timur proses ini tidak
controversial. Tetapi di Afrika ia sama-sama
politisnya dengan Indonesia. Di Nigeria jumlah distrik pemerintahan local
bertambah menjadi dua kali lipat selama tahun 1980-an sebagai akibat dari
dorongan desentralisasi yang rakus dan penuh konflik. Para elit terus-menerus
mendesak pusat untuk menciptakan satuan pemerintah lokal, sambil mengorupsi
dana pembangunan lokal. Demikian juga presiden Museveni di Uganda dipaksa untuk
melipat-duakan jumlah distrik selama masa pemerintahannya, meskipun para pakar
berpendapat distrik tersebut terlalu mahal dan tidak perlu. dalam buku yang
berjudul “Politik local Indonesia” (Henk dan Gerry 2007:25-), Di
Indonesia pun, pergerakan primordial yang mementingkan daerah lokal
menuntut wilayah administrasi baru atas dasar argument-argument sejarah yang sering kali tidak
jelas. Tujuan sebenarnya adalah menambah jabatan di birokrasi.
Peraturan pemerintah
No.129/2000 menggariskan criteria untuk perubahan administrasi dalam rangka
otonomi daerah. Tujuan-tujuan formal antara lain: pelayanan pemerintah yang
lebih baik, demokratisasi, pembangunan ekonomi daerah, penggunaan yang lebih
baik atas kapasitas daerah, keamanan yang lebih baik dan hubungan yang harmonis
antara pusat dan daerah. Peraturan ini juga menyebutkan prasyarat-prasyarat
bagi perubahan seperti itu menurut berbagai kategori: ekonomis, kapasitas
daerah, sosio-budaya, sosio-politis, populasi, daerah geografis, dan
pertimbangan-pertimbangan lain. Peraturan ini menandaskan bahwa sebuah provinsi
minimal harus terdiri dari tiga kabupaten dan atau kota madya. Sebuah kabupaten
baru harus terdiri dari sedikit-dikitnya tiga kecamatan.
UU No 22 dan 25 /1999 maupun
peraturan pemerintah No. 129/2000 telah direvisi dan diganti dengan UU No. 32
dan 33/2004. Diseluruh Indonesia, gerakan-gerakan lobbying bermunculan untuk memperebutkan daerah-daerah administrasi
baru yang didorong oleh ambisi para elit lokal dan tidak secara otomatis
membuahkan good governance. Dengan
menyodorkan criteria yang lebih ketat, UU No. 32/2004 yang telah direvisi itu
menegaskan kembali control pusat dengan jalan memasang barikade-barikade
(hambatan) terhadap proses pemekaran yang seakan tak mengenal batas itu.
undang-undang itu melakukannya dengan jalan meningkatkan persyaratan jumlah
minimal kabupaten dan atau kota madya untuk menetapkan sebuah provinsi baru
(lima), dan jumlah kecamatan untuk membangun sebuah kebupaten baru.
Undang-undang itu juga menetapkan batas waktu untuk mencegah akselerasi
pemekaran: Provinsi-provinsi baru boleh memisahkan diri setelah sepuluh tahun,
kabupaten baru setelah tuju tahun dan kecamatan baru setelah lima tahun (UU
No.32/2004, Bab II, Ayat 4/5)
Criteria kuantitatif itu
membuat proses pemekaran diberbagai tingkat menjadi saling tergantung dan saling
terkait. Dengan demikian, pemekaran-pemekaran kecamatan menciptakan kondisi
yang penting bagi pemekaran kabupaten. Pada gilirannya, peningkatan dalam
jumlah kabupaten bisa menjadi basis bagi sebuah provinsi baru. Interaksi yang
dinamis antara proses-proses diberbagai tingkatan juga sangat menentukan bagi
usaha memahami opsi-opsi politis yang senantiasa bergeser,
preferensi-preferensi dan pilihan pilihan dalam perjuangan mewujudkan sebuah
provinsi dan kabupaten, (Dik Roth).
Papua sangat berpengaruh dengan
pemekaran. Pada tahun 2003 Papua barat terpisah dengan Papua, dan sekarang di Papua dan Papua barat berbagai gerakan pemekaran bermunculan,
tuntutan paling kuat datang dari elit politik lokal yang masyarakat kecil
dijadikan sebagai alat kepentingan. Janji politik dan pengaruh berdasarkan
argument omong kosong itu mempengaruhi masyarakat berkampanye menuntut
pemekaran. Sebenarnya masyarakat itu tidak mengerti tentang kepentingan politik
pemekaran sehingga mudah didoktrin. Untuk mengatasi hal tersebut DPRD
memiliki fungsi komunikasi dan sosialisasi politik, tetapi sampai saat ini
tidak perna dilakukan sehingga kita perlu kerja sama, baik mahasiswa, LSM maupun DPRD untuk memberikan pendidikan politik yang baik agar
tidak ikut arus dengan janji-janji politik yang tak perna direalisasikan itu.
Banyak aspirasi yang
disampaikan oleh masyarakat Kepada
pemerintah terkait dengan situasi
dan kondisi dalam kehidupan social demi membuka ruang baru, tetapi mereka (pemerintah) diam, tuli, dan bisu terhadap semua yang terjadi didepan
matanya. Pemerintah daerah
maupun pusat,
khususnya institusi/depertemen terkait hanya respons terhadap aspirasi elit-elit tertentu
untuk memekarkan sejumlah kabupaten maupun provinsi di Papua dan Papua barat seperti yang dilansir http://www.bintangpapua.com/headline/25021-usulan-pemekaran-ternyata-28-kabupaten
http://regional.kompas.com/read/2012/09/04/22061190/Pemprov.Papua.Diminta.Serius.Dukung.Pemekaran. pemekaran yang bertujuan untuk memdekatkan masyarakat
kepada pemerintah dan membangun serta kesejahteraan ini realitasnya hanya untuk kepentingan elit-elit local maupun pusat hingga memperparah problem social yang ada dalam
kehidupan masyarakat. Yang menjadi pertanyaan adalah Dewan Perwakilan Rakyat baik
ditingkat provinsi maupun pusat serta departemen terkait sudah tahu konteks kehidupan social di Papua tetapi mengapa usulan pemekaran direspon dengan
baik? Ada apa dibalik itu?
Sungguh pemekaran ini memetakan, serta
mimisahkan kita orang papua sendiri yang dulunya bersatu, kolektif dan hidup berdampingan. Dengan adanya pemekaran kita membedakan antara satu sama yang lain
(jeruk makan jeruk) pada hal kita satu ras (Malanesia) yang tengah mencari jati
diri kita yang diinjak-injak oleh orang
luar.
Pengalaman adalah guru yang baik, demikian
tutur orang bijak. Sungguh bumi cenderawasih ini mempunyai segudang pengalaman
untuk kita bisa belajar agar dimasa mendatang
tidak terulang kesalahan atau persoalan masah lalu. Bukti empirik yang kita perlu ketahui adalah
bahwa dengan adanya pemekaran telah menjadi musuh antara Bapak dengan Anak, Ibu dan Anak, Kakak dan Adik, Keluarga dengan Keluarga lain, dan Suku dengan Suku lain seperti Konflik yang terjadi antara
kandidat calon Bupati puncak. Konflik pemilihan
kepala daerah (Pilkada) di Puncak Ilaga, Papua, menelan 47 korban jiwa dan
ratusan orang luka http://zonadamai.wordpress.com/2012/05/21/konflik-pilkada-puncak-tewaskan-47-warga/ bukan hanya itu saja, seringkali pilkada berakhir dengan konflik. Ini sengaja
diciptakan oleh Negara secara sistematis untuk menguasai bumi Cendrawasih yang kaya akan Sumber Daya Alam (SDA) itu serta mempersempit ruang gerak
orang Papua. Semua problem dampak pemekaran itu tidak perna ada tanggapan
dari pemerintah pusat. Meskipun demikian, sampai saat ini masih banyak
pemekaran dilobbying oleh elit-elit
kepanjangan tangan senayan (Jakarta).
Aktor-aktor yang turut melobbying pemekaran adalah elit politik lokal yang kalah dalam kompetisi
politik PILKADA, TNI/Polri bermain dibelakang layar untuk memperluas eksistensi
institusinya. Namun,
pemekaran wilayah yang bergerak sedemikian cepat itu, terbukti belum menjangkau
tujuannya.
Dibidang pelayanan
pendidikan di Papua, para tenaga pengajar
banyak yang beralih ke panggung politik dengan adanya banyak wilayah
pemekaran yang tidak mengenal batas itu. Rendahnya motivasi dan komitmen kerja
ini mengorbankan siswa/i. Hal ini bukan hanya terjadi pada tanaga pengajar,
tetapi juga petugas kesehatan (tidak insentif), sehingga proses belajar mengajar tidak berjalan, biaya
pendidikan pun tinggi disegala jenjang.
Dibidang pelayanan kesehatan Rakyat Papua tetap mengeluh terhadap biaya
kesehatan yang tidak mampu mereka jangkau. Di bidang kesehatan, Gubernur
Propinsi Papua mengeluarkan Keputusan No. 6/2009 tentang Pengobatan Gratis bagi
Rakyat Asli Papua melalui subsidi dana Otsus. Tetapi kebijakan tersebut tidak
diimplementasikan dengan baik.
Berdasarkan hasil survei
kematian ibu dan anak semakin meningkat. Kasus HIV dan AIDS terus meningkat,
jumlah pengidap HIV dan AIDS di Tanah Papua adalah 5.555 orang, Laporan Dinas
Kesehatan Provinsi Papua dan Papua Barat yang dipublikasikan oleh KPA Provinsi
Papua, 31 Maret 2008 menyebutkan bahwa : 1). Provinsi Papua memiliki jumlah
pengidap HIV dan AIDS adalah 3.955 orang yang terklarifikasi sebagai berikut
dimana HIV : 2.181 Orang, sedangkan AIDS 1.773 Orang, Sedangkan untuk Papua
Barat memiliki jumlah 1600 HIV dan AIDS, dari kasus HIV/AIDS 70 % adalah Orang
Asli Papua ( Hasil survey Foker LSM Papua tentang keadaan kesehatan di Papua,
).
Pemekaran Merusak Hutan
Papua
1.
Secara Ekologis
Dengan adanya pemekaran merusak lingkungan hidup orang Papua,
penebangan hutan terjadi besar-besaran, sungai-sungai tercemar,
perusahaan-perusahaan mengeksploitasi SDA Papua dengan alasan formal untuk
membangun sehingga tidak memperhatikan pelestarian hutan sebagai sumber kehidupan bagi masyarakat
local papua, melainkan hanya mengeksploitasi
untuk mencari dan mendapatkan keuntungan yang berlipat.
2.
Sosial Budaya
Pengolahan pemanfaatan
hutan yang di lakukan oleh kapitalis merusak hutan di Papua atas dukungan pemerintah
pusat maupun daerah. Lahan-lahan maupun hutan ditebang dan ditempati oleh transmigrasi. Kehidupan
masyarakat Papua tersingkir oleh transmigrasi.
3.
Aspek Ekonomi
Hutan di Papua berfungsi
sebagai sumber ekonomi/ ibu yang memberikan makanan kepada orang papua. Tetapi
pemerintah tidak memperhatikan hal itu, sehingga mengeksploitasi dengan alasan
pembangunan, dan PAD semata atau untuk
lebih menguntungkan pada kapitalis serta elit-elit politik yang berkepentingan. Masyarakat
menjadi penonton atas kekayaannya sendiri.
Semua persoalan ini tidak terlepas
dari sejarah politik Papua yang telah direkayasa dalam perjanjian-perjanjian
internasional oleh negara-negara yang berkepentingan di tanah Papua. Sejak papua dianeksasikan kedalam pangkuan Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI) pada 1 Mei 1963 merupakan awal dari penindasan,
pembunuhan, pemerkosaan, dan perampasan hak milik rakyat papua sampai saat ini. Sehingga dengan adanya keprihatinan Dewan Hak Asasi
Manusia PBB mengkaji pelaksanaan Hak Asasi Manusia di Indonesia dalam
pembahasan Universal Periodic Review. Dalam forum yang berlangsung sejak 23 Mei
lalu di Jenewa, Swiss, ada sejumlah delegasi yang mempertanyakan mengenai indikasi pelanggaran HAM di
Papua http://www.suarapembaruan.com/home/pertemuan-jenewa-pelanggaran-ham-di-papua-ditanyakan-sejumlah-delegasi/20702. Keperihatinan ini membuat Negara Indonesia merasa bahwa
perbuatan mereka telah di ketahui oleh masyarakat internasional sehingga
Indonesia menutup akses dan melarang wartawan/I asing meliput berita di bumi cenderawasih dan telah
merubah polah untuk membunuh orang papua secara
halus , salah satunya adalah
melalui Pemekaran itu sendiri.
Thomas Hobbes mengatakan (homo ets
homini lopus), artinya manusia adalah serigala dari manusia yang lain, ini
mengandung makna bahwa manusia ingin menguasai atau berkuasa atas orang
lain tanpa memperhatikan hak dan
kewajiban orang lain, melakukan tindakan sewenang-wenangnya atas orang lain. Pada hal setiap orang
mempunyai hak yang tidak boleh di ganggu gugat
oleh siapa pun, sama hal yang sedang terjadi di Papua yang mana hak-hak
masyarakat dirampas oleh orang-orang yang ingin menguasai bumi cendrawasih itu.
Kita sebagai mahasiswa Papua yang
merupakan agent of change (agen
perubahan) yang memiliki peranan penting dalam mengatasi semua persoalan yang
terjadi di bumi Cendrawasih ini. Oleh karena itu, Bagaimana kita memposisikan diri dalam
semua problem itu? kemudian Apa yang harus kita lakukan?
Tidak ada komentar: