Perjalanan Panjang




Gonjang-ganjing makna politik mengarah kepada dua hal baik atau buruk. Di satu sisi politik itu buruk, yah memang benar adanya bagi yang menyadarinya (Zoon politicon). Pun disisi lainnya  politik itu baik dan mulia karena dalam politik itu ada etika yang mengatur berjalannya politik tersebut, seperti kejujuran, transparansi dan lain sebagainya. Dalam kehidupan kontemporer ini, etika politik tidak diperdulikan. Politik (baca aktor politik) hanya memanfaatkan dan  mengorbankan rakyat  seperti yang dikatakan oleh Thomas Hobbes, “manusia adalah serigala dari manusia yang lain (homo homini lopus)”. Rezim orde baru merupakan serigala  bagi rakyat Indonesia. Rezim orde baru pun kemudian secara perlahan-lahan memunculkan kesadaran politik dalam benak masyarakat terutama  mahasiswa untuk melengserkan jabatan Soeharto sebagai presiden Republik Indonesia yang berkuasa selama 32 tahun. 

Akan tetapi harapan menuju kebaikan bersama (bonnum commune) di zaman reformasi malah jauh dari harapan. Seruan reformasi  bukan saja memberi kesan seakan-akan menjadikan masalah “gawat darurat” kurang penting, malah seperti dulu juga-telah pula mulai menaburkan benih “dendam sejarah”. Ucapan pimimpin atau politisi Indonesia tidak sejalan dengan  perbuatan. Inikah sosok pemimpin atau politisi kita?Sudah  tidak rahasia lagi, korupsi merupakan berita yang masih hangat dibicarakan sekaligus mempertegas ucapan tak sesuai dengan perbuatan tadi. Korupsi merupakan perbuatan buruk yang tidak bisa ditoleril karena para koruptor adalah serigala yang memangsa rakyat Indonesia. 

Terkait dengan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum yang telah ditetapkan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai tersangka kasus korupsi proyek Hambalang, sudah sewajarnya rakyat Indonesia menyebut Anas maupun  koruptor lainnya sebagai serigala yang memangsa rakyat, karena mereka  telah memikirkan besok dapat apa dan makan siapa dibalik tampuk jabatan. Sungguh tidak manusiawi, masyarakat  memilih wakil rakyat tetapi balas budinya korupsi, ibarat “air susu dibalas dengan air tubah”. Mengutip kalimat dalam Pembukaan UUD 1945 “mengantarkan rakyat Indonesia kedepan pintu gerbang kemerdekaan”, rakyat Indonesia belum masuk kedalam pintu tersebut karena dihalangi oleh para koruptor dengan segala bentuk penyimpangannya.

Dalam konteks tersebut hukum merupakan dewi peradilan yang diharapkan oleh masyarakat agar mampu mengusut tuntas kasus tindak pidana(korupsi). Namun, realitas yang terjadi keputusan pengadilan secara agak rahasia dan tidak rahasia dapat ditawar dalam bentuk transaksional.Harapannya ialah KPK dapat mengusut kasus Anas dan para bandit korupsi lainnya sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku secara profesional. Hal ini bisa terjadi jika semua stakeholder yudikatif memiliki semangat profesionalitas dan kejujuran dalam memperjelas siapa-siapa saja yang selayaknya di gantung di Monas. Apakah hanya Anas Urbaningrum saja atau para bandit korupsi lainnya.

Setidaknya, KPK bisa mempercepat implementasi pernyataan Anas ini “jika terbukti korupsi seribu perak pun, anas siap gantung di Monas”. Sehingga citra Indonesia sebagai negara korup dapat tergerus perlahan. Pun kemudian ada baiknya kita memperhatikan penegasan dari  Stephen R. Covey (2004),  tentang pentingnya kita sebagai individu untuk meninggalkan sesuatu yang berharga bagi yang lain, bagi generasi berikutnya. Ini seharusnya dijadikan agenda utama bagi setiap orang sebagai  amanat untuk memimpin. Maka pertanyaannya kemudian ialah apakah kita masih memiliki nurani terdalam untuk mengingat generasi setelah kita yang akan menikmati indahnya bumi katulistiwa ini? Ataukah kita siap “digantung di Monas” daerah kita masing-masing? Hanya kitalah yang tahu jawabnnya. (Ipou Igo'n)

Baca Juga Berita Terkait

Tidak ada komentar:

Leave a Reply