Kerusakan Hutan dan Hak-hak Rakyat di Papua


Memandang keadaan alam (Imogiri)
        

Hutan merupakan sumber daya alam yang tidak ternilai karena didalamnya terkandung keanekaragaman hayati sebagai sumber ekonomi, sumber hasil hutan kayu dan non-kayu, pengatur tata air, pencegah banjir dan erosi serta kesuburan tanah, perlindungan alam hayati untuk kepentingan ilmu pengetahuan, kebudayaan, rekreasi, pariwisata dan sebagainya. Karena itu pemanfaatan hutan dan perlindungannya telah diatur dalam UUD 45, UU No. 5 tahun 1990, UU No 23 tahun 1997, UU No. 41 tahun 1999, PP No 28 tahun 1985 dan beberapa keputusan Menteri

Kehutanan serta beberapa keputusan Dirjen PHPA, Dirjen Pengusahaan Hutan dan peraturan daerah khusus propinsi papua No 21 tahun 2008. Namun gangguan terhadap sumberdaya hutan terus berlangsung bahkan intensitasnya makin meningkat.

             Kerusahkan hutan dari tahun ke tahun semakin meningkat sehingga hutan-hutan  di propinsi Papua mengalami kerusakan fatal. Kerusakan  hutan di papua secara cepat atau lambat mengakibatkan  dari tiga jalur yang besar diantaranya: pertama, Penebangan Pohon secara liar (illegal loging) maupun penebangan yang telah diijinkan oleh pemerintah (legal); seperti penebangan kayu-kayu hutan adat orang Asmat di Papua bagian selatan yang dikelola oleh perusahaan HPH PT Artika Optima Inti yang dinilai tidak adil. Mengapa dinilai tidak adil? Pertama, upah penebangan kayu sebesar Rp. 7.500; (tuju ribu lima ratus rupiah) per meter kubik itu dinilai terlalu renda dibandingkan beratnya beban kerja penduduk; kedua, harga kayu Rp. 200; (dua ratus rupiah) permeter kubik juga dianggap tidak adil bagi para pemilik kayu yang sekaligus merupakan pekerja penebang tersebut, (Maria Rita Ruwiastuti, 2000: h, 18) dalam bukunya “Sesat Pikir” Politik Hukum Agraria.  kedua, Pembuangan  limba perusahaan yang tidak memperhatikan kehidupan masyarakat setempat maupun tumbuhan serta habitatnya; dan yang ketiga,  penambangan emas yang tidak memperhatikan hak-hak rakyat setempat hingga korban atas kekayaannya sendiri, seperti PT Freeport dan penambangan liar di Degeuwo kabupaten Paniai yang hamper setiap tahun terjadi pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM

Mengapa Terjadi Konflik Pertambangan

Ibarat gunung es yang mulai memuntahkan lavanya, intensitas kasus pertambangan meningkat dari tahun ketahun baik secara kualitas maupun kuantitas. Konflik-konflik seperti ini bukanlah sesuatu yang baru di Indonesia, tetapi telah terakumulasi sejak masa orde baru. Mulai konflik tanah, buruh, pencemaran lingkungan, hingga pelanggaran HAM. (Siti Maimunah, 2012: hal, 24) dalam bukunya Negara Tambang dan Masyarakat Adat, beberapa penyebab mendasar konflik tersebut adalah: pertama, salah urus terhadap pengelolahan bahan tambang  yang hanya dipandang sebagai komoditas penghasil devisa dan PAD semata. Sehingga seluruh upaya diarahkan untuk bagaimana mengeluarkan ijin sebanyak-banyak dan melakukan pengerukan sebesar-besarnya. Banyak konflik social dipicu oleh tumpang tindi peruntukan dan fungsi lahan. Misalnya kawasan lindung dan wilatah kelolah masyarakat adat tumpang tindi dengan kawasan pertambangan. Kedua, pengingkaran hak rakyat atas penguasaan dan pengelolaan tanah. Tak ada satu pun kontra karya pertambangan dan kuasa pertambangan atau ijin yang mendapatkan persetujuan rakyat sebelum diberikan. Bahkan kontrak karya PT Freeport menyebutkan kawasan pertambangannya sebagai kawasan tidak berpenghuni. Padahal kawasan tersebut adalah wilayah kelola suku pegunungan tengah papua. Dalam UU No 11 tahun 1967 tentang Pertambangan Umum terdapat satu klausul yang mewajibakan penduduk local menyerahkan tanahnya jika ada pertambangan masuk. Akibatnya pilihan  bagi penduduk hanya ada dua: menerima ganti rugi sepihak, atau digusur karena menolak menerima ganti rugi. Ketiga, daya rusak sector pertambangan yang tak mampu dikelola oleh perusahaan dan Negara. Untuk mendapatkan 1 gram emas dibuang setidaknya 750 kg limbah lumpur tailing yang mengandung logam berat dan 1730 kg limbah batuan. Jadi 1 gram emas menghasilkan limbah 2480 ribu kali berat produk yang dihasilkan. Tak hanya itu, lubang-lubang menganga dengan dalam ratusan meter dan puluhan hektar akan menjadi warisan jangka panjang penduduk local. Kemana limbah dengan jumlah masiv ini dibuang? Ke lingkungan sekitar, ke lokasi-lokasi produktif tempat mata pencaharian penduduk bernama sungai, hutan, rawa tropis, lahan pertanian hingga laut.

Pemerintah dan Perusahaan Bekerja Sama “Memelihara” Konflik ?

Meningkatnya konflik-konflik yang terjadi disektor pertambangan karena tak perna mendapatkan penyelesaian yang memadai. Data Pokja PA PSDA menunjukkan sekitar tahun 2002 terdapat sekitar 143 konflik pertambangan. Hanya ada dua cara yang dilakukan dan perusahaan dalam meredam konflik social disekitar wilayah pertambangan. (Siti Maimunah, 2012: hal, 26), dalam bukunya (Negara Tambang dan Masyarakat Adat: Pertama, pendekatan keamanan selalu dipakai oleh pemerintah dan perusahaan tambang dalam meredam protes rakyat terhadap perusahaan tambang. Terlihat pada kasus pendudukan lokasi  pertambangan PT IMK  di Kalteng tahun1999,  kasus penembakan petani dan nelayan yang memblokade PT Unocal tahun 2001, kasus aksi damai petani dan nelayan yang menduduki lokasi tambang Newcrest di Maluku Utara tahun 2004, dan banyak  yang lainnya. Pemerintah telah memilih berhadapan dengan rakyat dan melakukan pendekatan keamanan sebagai pilihan utama dibanding memikirkan langkah-langkah cerdas dan berani untuk memenuhi tuntutan rakyatnya. Jika banyak protes dilakukan penduduk local karena tanahnya diambil alih, bagi pemiskinan atau lingkungannya tercemar  limbah tambang maka mereka akan disebut sebagai “pengganggu objek vital negara”. Atau jika ada tuntutan pembagian hasil lebih adil melalui renegosiasi Kontrak Karya maka disebutlah sebagai “tak ada kepastian hokum bagi investasi” hingga “investasi terancam pergi” yang sangat menghina akal sehat adalah saat protes dan aksi rakyat yang menuntut keadilan dituduh tidak lagi murni tetapi direkayasa oleh pihak lain. Hal ini terlihat jelas dari pernyataan-pernyataan para petinggi militer dan cabinet SBY JK yang menangggapi aksi serentak rakyat Papua dibeberapa lokasi yang menuntut PT Freeport ditutup hingga terjadi bentrok berdara di Abepura tanggal 18 Maret 2006. Mereka seolah ingin menyatakan bahwa orang Papua bodoh sehingga tidak bisa membedakan mana yang provokasi dan mana yang upaya menuntut ketidakadilan.   Atau orang Papua tak akan menutut keadilan jika dikompromi dari luar. Para pengurus negeri ini melupakan sejara dan fakta bahwa operasi pertambangan Freeport telah melahirkan pelanggaran HAM, perusakan lingkungan yang massif dan juga pemiskinan rakyat sekitar.

Kedua, selain pendekatan keamanan, upaya lain yang belakangan ini dipilih adalah Community Development. (CD). Dengan cara ini perusahaan dan pemerintah berharap masyarakat disibukkan dengan menerima, mengelola, bahkan memperebut dana CD. Sehingga tak lagi mengingat ketidakadilan yang mereka rasakan, kualitas lingkungan dan kesehatan yang makin parah hingga waktunya perusahaan pergi dari lokasi tersebut. Program CD Unocal berhasil memeca belah rakyat yang semula gigih memperjuangkan pencemaran 400ha sawa padi di Rapaklama. Pemberian dana CD 1% dari hasil kotor PT Freeport membuat kelompok-kelompok yang dulunya kritis menjadi sibuk memantau bagaimana dana CD dihabiskan. Bahkan terjadi perang suku, suami istri berkelahi satu sama lain. Konflik pertambangan adalah potret buruk pengelolaan sector tambang Indonesia. Rakyat tak bisa terus dibodohi. Meningkatnya konflik-konflik pertambangan dibanyak tempat adalah proses panjang rakyat belajar dan menyadari fakta-fakta bahwa salah urus sector pertambangan merugikan lingkungan dan penghidupan masyarakat. Negara harus segera melakukan kalkulasi manfaat  (benefit) dan mudhorot (cost) industry keruk ini dan mengubah arah pengelolaannya untuk kebutuhan mendesak dan kepentingan antar generasi. Termasuk melakukan penyelesaian konflik sebagai mandate yang harus dilakukan Negara dan perusahaan tambang. Sudah hamper empat decade pengerukan kekayaan tambang kita, dan terus berlangsung tanpa kita tahu berapa cadangan tersisa. Sementara kerusakan lingkungan, pemiskinan, dan pelanggaran HAM di sekitar lokasi tambang terus berlangsung. Surat kabar Dow Jones memberitakan penghasilan PT Freeport meningkat lebih dua kali lipat diakhir tahun 2005.

Sementara Indonesia terus terpuruk utang, pontang-panting mengemis bantuan pengamanan bencana dan terus melakukan pemotongan subsidi-subsidi rakyatnya untuk kesehatan, pendidikan, pangan, air dan energy (listrik, BBM)(Jakarta, 22 Maret 2006)

Perspektif Masyarakat Lokal Terhadap Hutan Papua

            Di lihat dari kondisi alam papua, Belakangan ini menjadi ancaman serius bagi kelangsungan dan keselamatan hidup bagi masyarakat yang bermukim di sekitarnya maupun pada umumnya. Ancaman terbesar di Papua pada saat tertentu  secara tidak sadar akan terjadi: pertama, banjir, longsor  sebuah contoh besar yang kita bisa lihat adalah banjir Wasior yang telah menelan beberapa nyawa orang serta fasilitas yang ada akibat penebangan hutan yang di lakukan oleh oknum-oknum  yang tidak bertanggung jawab ; dan yang kedua, lahan pertanian masyarakat local papua akan di tempati oleh migrasi sehingga dalam kehidupan  masyarakat akan terjadi sebuah masalah dalam hal ekonomi.

              Kemudian dari pada itu, hutan memiliki fungsi  ekonomi bagi masyarakat papua bukan hanya fungsi ekologis. Hutan memberikan banyak kekayaan yang bisa di manfaatkan oleh masyarakat untuk memenuhi kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, keberadaan hutan di papua harus pahami baik-baik pemerintah  kepenjangan tangan dari pusat  (Jakarta) yang mengeksploitasi kekayaan alam papua yang tanpa memperhatikan keberadaan penduduk local papua yang kehidupannya  masih tergantung pada hutan itu.

                Keberadaan hutan papua sebagai ibu yang memberikan makanan kepada penduduk local papua, maka pemerintah jangan anggap hutang sebagai sumber pendapatan yang mendatangkan uang  yang berlipat, jika uang tersebut  digunakan  untuk membangun papua serta memberdayakan masyarakat tidak mengapa, tetapi di gunakan untuk  kepentingan pribadi alias Korupsi Kolusi Nepotisme (KKN) hal demikian inilah yang telah mengorbankan  serta membawa persoalan dalam kehidupan masyarakat local papua.

                 Pengolahan hutan yang di lakukan oleh masyarakat local dengan cara-cara tradisional  di dasari atas  keseimbangan  kebutuhan mereka sehingga pelestarian alam tetap terjaga. Namun, setelah adanya  Otonomi Khusus (otsus), industrialisasi serta pemekaran telah bergeser pengolaan  pemanfaatan pola tradisional. Kapitalis dengan  pengolahan hutan telah mendapat dukungan dari Negara maupun daerah berdampak  secara luas seperti: ekologis, sosial,  budaya, dan ekonomi.

Secara  Ekologis

           Dengan adanya Kapitalis  akan berdampak kerusakan hutan papua karena ia tidak memperhatikan pelestarian hutan  sebagai sumber kehidupan bagi masyarakat local papua, melainkan hanya mengeksploitasi  untuk mencari dan mendapatkan keuntungan yang berlipat sehingga disuatu saat akan terjadi bencana alam, seperti banjir dan longsor.

Sosial Budaya

          Di lihat dari Aspek sosial budaya, yang jelas pengolahan pemanfaatan hutan yang di lakukan oleh kapitalis akan berdampak pada masyarakat  local papua yang selama ini kehidupan mereka tergantung pada hutan akan tersingkir oleh migrasi. Dengan adanya dukungan dari Negara maupun daerah  kapitalis akan merusak hutan papua yang sebelumnya berfungsi sebagai sember ekonomi bagi masyarakat, akhirnya hutan-hutan  tersebut  akan ditempati oleh migrasi.

Aspek Ekonomi

          Di lihat dari aspek ekonomi, kapitalis akan merusak hutan tanpa memperhatikan pelestariannya. Namun, untuk lebih menguntungkan pada  kapitalis itu sendiri serta elit-elit politik local yang kepanjangan tangan dari jakarta. Hutan papua adalah sumber kehidupan masyarakat local papua,  sehingga dengan masuknya kapitalis telah merusak hutan sehingga  yang menjadi  korban masyarakat  local papua dalam  hal ekonomi.

Pemekaran

Aspek yang paling mencolok mengenai proses desentralisasi sungguh tidak terencana. Pemekaran merupakan istilah Indonesia untuk menyebut subdivisi distrik-distrik dan propinsi yang ada dalam rangka menciptakan unit-unit administrasi yang baru. Pemekaran seperti itu juga terjadi dinegara-negara lain. Di Amerika Serikat, pemekaran seperti itu disebut redistricting, yaitu pembentukan kembali distrik-distrik, dan menyangkut politik pemilihan. Di beberapa Negara di Eropa Timur setelah era Soviet berakhir,  tujuannya adalah melepaskan penyatuan paksa dari era Soviet dan kembali ke unit-unit semula yang lebih kecil (Illner 2000; Majcherkiewicz 200). Baik di Amerika Serikat maupun Eropa Timur proses ini tidak controversial.  Tetapi di Afrika ia sama-sama politisnya dengan Indonesia. Di Negeria jumlah distrik pemerintahan local bertambah menjadi dua kali lipat selama tahun 1980-an sebagai akibat dari dorongan desentralisasi yang rakus dan penuh konflik. Para elit terus-menerus mendesak pusat untuk menciptakan satuan pemerintah lokal, sambil mengorupsi dana pembangunan lokal. Demikian juga presiden Museveni di Uganda dipaksa untuk melipat-duakan jumlah distrik selama masa pemerintahannya, meskipun para pakar berpendapat distrik tersebut terlalu mahal dan tidak perlu. Di Indonesia pun,  pergerakan  primordial yang mementingkan daerah lokal menuntut wilayah administrasi baru atas dasar argument argument sejarah yang sering kali tidak jelas. Tujuan sebenarnya adalah menambah jabatan di birokrasi. Kami tetap menggunakan istilah bahasa Indonesia “pemekaran” yang secara harafiah berarti “mekarnya bungu”. Jelasnya, istilah ini sebenarnya merupakan sesuatu yang  “salah kapra”  karena gerakan ini tidak mengarah keluar dank e atas melainkan justru kedalam kea rah dirinya sendiri dalam bentuk subdivisi yang terus terjadi tanpa henti. Istilah yang mungkin lebih tepat “involusi administratif”, sesuai pemikiran Greetz tentang involusi pertanian ketika begitu banyak orang sama-sama butuh menggarap sejengkal tanah yang sama. Pemekaran mencerminkan kemampuan yang sama melakukan improvisasi di saat-saat yang sulit.

Para pembuat kebijakan yang telah mendapat pelatihan di luar negeri dan menulis tentang desentralisasi legislative di Indonesia tidak bermaksud memicu terjadinya pemekaran yang tergesa-gesa (Turner et al. 2003). Terdapat kepustakaan yang luas tentang desentralisasi diseluruh dunia mengenai transfer kekuatan dari  suatu tingkat administrasi ke yang lainnya, tetapi kepustakaan tersebut tidak perna menyebut perlunya menggariskan kembali batas-batas wilayah administratif itu sendiri. Namun itulah yang justru terjadi di Indonesia. Dalam kurun waktu beberapa tahunsaja jumlah provinsi bertambah dari 27 buah menjadi 33 sementara jumlah distrik yang ada (kadang-kadang disebut daerah tingkat dua atau kabupaten) meningkat hamper 50% hingga 440.

Pemekaran yang terjadi setelah tahun 1998 secara umum dipicu dari bawah. Meskipun para pejabat Kementerian Dalam Negeri di Jakarta menyangkal bahwa pemekaran sering tidak perlu dilakukan dan sangat mahal, namun berkali-kali para politisi setempat berhasil untuk memaksakannya agar bisa mengusulkan provinsi dan distrik yang baru. Para politisi setempat biasanya melakukan pendekatan dengan pihak pusat di Jakarta tapi tentu saja tidak melalui birokrasi langsung namun lewat DPR, yang kemudian menerbitkan undang-undang yang memerintahkan pembentukan unit-unit baru. Untuk memperkuat argument mereka bahwa pemekaran akan lebih “mendekatkan pemerintah dengan rakyatnya”,  mereka diam-diam menyogok uang dalam jumlah yang sangat besar. Masing-masing distrik baru akan berubah menjadi sebua bonanza bagi para kontraktor bangunan karena distrik-distrik baru harus dilengkapi dengan sederetan kantor-kantor baru.  Pihak militer dan politi tentu saja mendukung pemekaran ini karena struktur komando territorial mereka juga akan segera diperbarui mengikuti perubahan itu.

Kombinasi dua proses yang pada dasarnya berbeda-desentralisasi administrative dan demokratisasi popular-membuahkan kompetisi yang begitu bebas antara para elit lokal dalam upaya mengendalikan Negara.  Mereka sering melakukan kompetisi seperti itu dalam tataran etnis.  Bagi  masing-masing faksi,  sebuah distrik dijadikan alas an melakukan kompetisi. Pemekaran karenanya merupakan  suatu studi kasus untuk menjawab pertanyaan “mengapa pembentukan provinsi begitu bersifat etnis sementara kondisi Negara lemah?”  pemekaran yang begitu tergesa-gesa mirip dengan yang terjadi pada tahun 1950-an, ketika kekuasaan formal Jakarta juga menjadi semakin lemah karena pergolakan antarfaksi dipusat serta pemberontakan bersenjata di provinsi-provinsi.  Pusat akhirnya merespon pergolakan itu dengan menciptakan delapan provinsi baru. Meski begitu akan sangat keliru beranggapan semua itu merupakan suatu kemenangan kekuatan-kekuatan sentrifugal. Dibalik semangatnya gerakan identitas lokal tidak ada keinginan untuk melepaskan diri, namun justru untuk menyingkirkan lawan lokal dengan membuktikan diri lebih loyal lagi kepada Jakarta,  yang bagaimanapun masih merupakan sumber uang tunai. Memang Jakarta pada tahun 1950-an menawarkan provinsi-provinsi baru sebagai imbalan bagi para loyalis karena mereka telah menyingkirkan kaum separatis (Klinken 2006), (Nordholt Schulte Henk and Klinken van Gerry, 2007: h, 25),dalam bukunya: Renegotiating Boundaries; Local Politics in Post-Suharto Indonesia, yang diterjemakan dalam bahasa indonesia pada  Yayasan Obor Indonesia.

Pemekaran Merusak Hutan Papua

           Ketika ada pemekaran yang di mekarkan oleh pemerintah Pusat orang akan menyambut dengan baik tanpa melihat maksud dan tujuannya dari pada  pemekaran tersebut. Semua orang telah mengetahui bahwa maksud dan tujuan dari pemekaran adalah untuk membangun daerah tersebut. Namun, dilihat dari perkembangannya  untuk kepentingan oknum-oknum tertentu sehingga  atas dukungan mereka capitalis  masuk untuk merusak hutan dengan alasan untuk membangun daerah tersebut.  Dilihat dari realitasnya, Pemekaran-pemekaran baik Provinsi maupun kabupaten khususnya di papua mudah di respon oleh pemerintah pusat  (Jakarta) sehingga  papua pada umumnya pada saat ini kita bisa  katakan satu suku tiga atau empat  kabupaten  contohnya adalah suku MEE yang terbagi ke dalam beberapa kabupaten seperti: Paniai, Dogiyai dan Deiyai,  dan beberapa tahun kedepan kemungkinan akan terjadi  satu keluarga satu kabupaten, sungguh pemekaran ini memisahkan kami yang dulu bersatu. Pemekaran ini menjambatani sehingga para kapitalis masuk dengan mudah untuk mengeksploitasi hutan atas dukungan pemerintah pusat maupun pemerintah daerah demi kepentingan mereka sendiri. Dalam hal ini untuk mengoksploitasi hutan yang ada tanpa melihat kehidupan masyarakat local  yang kehidupannya selalu tergantung dari pada hutan itu sendiri. 

            Pemekaran-pemekaran yang di mekarkan bukan untuk membangun serta memberdayakan masyarakat dalam hal Ekonomi, kesehatan, pendidikan, dan sosial melainkan untuk kepentingan Jakarta dan elit-elit politik local untuk memanfaatkan kekayaan alam papua, sehingga kehidupan masyarakat  berada dibawa garis kemiskinan atas kekayaannya sendiri.

           Oleh karena itu, kami mengimbau kepada pemerintah daerah provinsi Papua mulai hari ini juga semua pemekaran baik provinsi maupun kabupaten harus berhenti, karena melalui pemekaran itu merusak hutan-hutan di papua serta telah mangorbankan masyarakat papua, seperti yang telah terjadi konflik antara pendukung kandidat satu dengan kandidat yang  lain di kabupaten puncak yang telah menelan nyawa sebanyak 40an orang pada  tanggal 19 juli 2011 hingga masih belum selesai sampai masuk pada tahun 2012. Pemerintah Provinsi papua serta masyarakat  juga harus sadar bahwa pemekaran bukan membawa kesejahteraan dan membangun papua tetapi, untuk kepentingan oknum-oknum tertentu, dan membawa bencana diantara masyarakat.

           Kemudian daripada itu, pemerintah juga harus mengambil kebijakan yang jelas untuk  menutup penebangan pohon seperti yang di kabupaten nabire distrik wanggar, penambangan liar seperti di Degeuwo kabupaten paniai yang hampir setiap tahun menelan korban nyawa manusia, dan juga yang di pertengahan jalan trans Nabire Paniai tepatnya di kilo meter 64,  yang di lakukan dengan seenaknya.

            Thomas Hobbes mengatakan (homo ets homini lopus), artinya manusia adalah serigala dari manusia yang lain, artinya manusia ingin menguasai atau berkuasa atas orang lain  tanpa memperhatikan hak dan kewajiban orang lain, melakukan tindakan sewenang-wenangnya  atas orang lain. Pada hal setiap orang mempunyai hak yang tidak boleh di ganggu gugat  oleh siapa pun, sama hal yang sedang terjadi di papua yang mana hak hak masyarakat dirampas oleh orang-orang yang ingin menguasai bumi cendrawasih itu.

              Pengalaman adalah guru yang baik demikian tutur orang bijak, alangka banyaknya segudang pengalaman yang di miliki oleh bumi cendrawasih ini, sehingga apabila kita tidak melihat  serta belajar  dari pengalaman yang sudah ada, maka bencana alam pada saat tertentu akan terjadi lagi pula beberapa tahun kedepan  kehidupan orang asli papua dan juga pulau papua itu sendiri akan menjadi pulau jawa  yang kedua. Untuk itu, pemerintah yang kaki tangan pusat (Jakarta) harus sadar jangan pikir kepuasan sesaat saja. Namun,  hutan papua perlu di lestarikan demi kehidupan anak cucu kita kedepan maupun tetap terjaganya dari bahaya bencana alam yang mengorbankan masyarakat lokal papua.

Baca Juga Berita Terkait

Tidak ada komentar:

Leave a Reply