Ini “Kurang Ajar” yang Sebenarnya

(Foto  saat mahasiswa Papua di Yogyakarta  yang tergabung dalam Gempa-KPH-Berapi, menuntut penuntasan kasus penembakan di Paniai. Dok TS)

Tulisan ini sebagai tanggapan atas kekecewaan Uskup Keuskupan Jayapura, Mgr Leo Laba Ladjar OFM dalam menanggapi suara kenabian dari para Rohaniawan yang tergabung dalam Solidaritas Korban Pelanggaran (SKP) HAM Papua.
Oleh Mikael Tekege
Berbagai kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) terus terjadi di tanah Papua tanpa adanya upaya penyelesaian dari pihak-pihak berwajib. Semua persoalan pelanggaran HAM yang melibatkan oknum militer dan polisi itu menempatkan masyarakat Papua pada posisi korban. Para militer dan polisi tidak pernah menyadari apa yang telah diperbuat terhadap masyarakat Papua yang selama ini korban. Bahkan tidak merasa bersalah sedikit pun hingga menambah sederet kasus pelanggaran HAM yang kini menjadi ingatan akan penderitaan (Memoria Passionis) masyarakat Papua

Hukum tidak mampu menjamah, bahkan hukum digunakan sebagai pembenaran atas semua pelanggaran HAM ini sambil melindungi para pelaku sehingga sewaktu-waktu bisa berbuat sewenang-wenang kepada masyarakat Papua yang tak berdaya ini. Penegakan hukum Indonesia di Papua mandul dan negara tuli dan bisu melihat sejumlah persoalan pelanggaran HAM di Papua yang sangat mengkhawatirkan ini.  Konteks ini tentu menjadi perhatian dari berbagai kalangan yang menyeruhkan tentang kemanusiaan, keadilan dan kedamaian. Salah satu diantaranya adalah para rohaniawan Katholik di Jayapura Papua yang tergabung dalam Solidaritas Korban Pelanggaran (SKP) HAM Papua melakukan aksi menuntut penuntasan sejumlah kasus Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) sepanjang tahun 2014-2015, terutama kasus penembakan di Paniai yang hingga kini belum jelas untuk memberikan rasa keadilan kepada masyarakat Papua pada umumnya dan keluarga korban pada khususnya.
Sebagaimana diberitakan di sejumlah media, Solidaritas Korban Pelanggaran (SKP) HAM Papua mencatat, dalam satu tahun terakhir pemerintahan Jokowi-JK, telah mencatat 11 (sebelas) peristiwa kekerasan dengan jumlah korban 10 (sepuluh) orang meniggal dunia dan 39 (tiga puluh sembilan) orang lainnya mengalami luka-luka. Sementara itu 268 (dua ratus enam puluh delapan) orang ditangkap dalam aksi-aksi damai, yang dilakukan oleh aparat keamananTNI/POLRI. Para rohaniawan ini menyampaikan suara kenabian yang dapat dikontekstualisasikan dalam kehidupan rakyat yang ditindas oleh sistem keserbakuasaan.
Para rohaniawan ini menyadari bahwa rakyat Papua perlu diselamatkan dari penderitaan dan penindasan yang meremdahkan harkat dan martabat manusia ini. Dan keselamatan rakyat adalah misi gereja yang paling signifikan sehingga perlu diperjuangkan dan/atau diupayakan oleh para rohaniawan demi menegakan keadilan dan kebenaran serta kedamaian di tengah kehidupan umat manusia. Meskipun demikian, aksi yang dilakukan oleh Solidaritas Korban Pelanggaran (SKP) HAM Papua ini ditanggapi secara serius oleh Uskup Keuskupan Jayapura, Mgr Leo Laba Ladjar OFM. Sebagaimana di lansir di tabloidjubi.com, 24 Desember 2015. Uskup Leo menyatakan kecewa dengan aksi demo yang dilakukan oleh rohaniawan ini. “Gagasan mereka saya setuju ya. Tapi demo pakai jubah itu untuk apa? Itu kan ada yang tidak pernah pakai jubah, karena mau aksi demo jadi pakai jubah. Itu kurang ajar,” demikian kata Uskup Leo.
Pernyataan seorang Uskup ini, seakan-akan merestui segala macam pelanggaran HAM, ketidakadilan sosial dan penindasan yang menimpah rakyat Papua yang merupakan umatnya. Ia merestui dan membiarkan umatnya tetap berada dalam penderitaan dan penindasan yang merendahkan harkat dan martabat manusia ini. Ia tuli dan bisu mendengar jerit tangis serta melihat penindasan dan penderitaan akibat keserbakuasaan yang menimpah umat Tuhan di tanah Papua. Konteks ini, kemudian membuat umat Tuhan harus bertanya: Dimana peran gereja dan rohaniawan (Uskup) demi menyelamatkan umat Tuhan di Papua?
Barangkat dari  pertanyaan di atas ini, Rosa Luxemburg melalui esainya Church and Sosialism, (1905 dalam Michael Lowy, 2013), mengatakan, Jika lembaga kependetaan malah mendukung orang-orang kaya yang menghisap kaum tertindas dan orang-orang miskin, maka jelas mereka terang-terangan menentang ajaran Kristen. Mereka mengabdi bukan kepada Kristus, tetapi  kepada Anak Sapi Emas. Sementara, Gustavo Gutierrez, seorang Jesuit Peru dalam (Michael Lowy, 2013), mengatakan bahwa orang tak perlu menunggu datangnya penyelamatan dari atas. Jadi, bagi Gereja hal itu berarti harus berhenti menjadi satu gerigi roda penggerak sistem yang berkuasa: harus mengikuti tradisi agung para nabi Injil dan contoh pribadi Kristus, yakni harus menentang keserbakuasaan dan mengutuk ketidakadilan sosial.
Berkaca Pada Amerika Latin
Sebagaimana disinggung di atas bahwa sebagai seorang rohaniawan (imam atau pendeta) bukan hanya menari-nari di atas mimbar  demi nama Tuhan. Nama Tuhan bukanlah menjadi busa khotbah dan pidato yang menakut-nakuti rakyat dengan batasan dosa yang tidak jelas dengan membiarkan umat dalam sikap serba pasrah. Seharusnya setiap khotbah dan pidato itu harus didukung oleh karya nyata dalam melawan ketidakadilan dan penindasan. Karena itulah arti pengorbanan dan perjuangan Kristus yang kita imani. Sejumlah rohaniawan dari Amerika Latin pernah membuktikan itu, hingga melahirkan konsep Teologi Pembebasan sebagai kristalisasi ajaran Yesus yang mempertemukan antara marxisme dan teologi dalam kehidupan umat Tuhan.
 Mereka memaknai arti perjuangan dan pengorbanan Yesus secara benar  demi keselamatan umat Tuhan yang ditindas oleh sistem penguasa yang merendahkan harkat dan martabat umat Tuhan. Mereka merelahkan diri di kurung dalam trali besi penguasa, bahkan  membiarkan tubuhnya ditembusi timah panas. Mereka memposisikan diri sebagai penyelamat rakyat tertindas demi menegakan keadilan dan kebenaran serta kedamaian. Mereka mengabdikan hidupnya demi umat Tuhan yang ditindas oleh sistem penguasa yang memiskinkan dan menguras rakyat kecil.
Michael Lowy (2013) dalam bukunya yang berjudul: Teologi Pembebasan: Kritik Marxisme & Marxisme Kritis, memberikan gambaran kepada kita tentang arti perjuangan dan pengorbanan Kristus demi keselamatan rakyat kecil yang pernah dimaknai oleh para rohaniawan di Amerika Latin. Mereka telah mengikuti perjuangan dan pengorbanan Yesus dalam kehidupan rakyat miskin dan tertindas. Beberapa diantaranya yang paling berjasa dalam memerangi keserbakuasaan, seperti berikut ini: Pertama, Romo Camilo Torres, mengorganisir suatu gerakan rakyat militan dan bergabung dengan Tentara Pembebasan Nasional (ELN), suatu gerakan gerilya Castrois di Kolombia pada tahun 1965. Torres akhirnya terbunuh pada tahun 1966 dalam suatu pertempuran dengan tentara pemerintah. 
Kedua, Frei Betto (Carlos Alberto Libanio Cristo) adalah seorang anggota Serikat Dominikan sebagai seorang calon biarawan. Betto telah mengabdikan dirinya kepada umat Tuhan yang ditindas oleh kediktatoran hegemoni Brazilia.  Penindasan, kemiskinan dan perampasan hak hidup rakyat terjadi dimana-mana pada tahun 1969. Simpati dan kepedulian inilah yang membuat Betto harus mendekam dibalik trali besi penguasa militer pada tahun 1969 sampai 1973. Ketiga, Romo Gaspar Garcia Laviana tertembak mati dalam suatu pertempuran melawan pasukan pengawal nasional pada 11 Desember 1978.  
Keempat, Uskup Agung, Monsinyor Oscar Romero dan pembantu Uskup Agung, Monsinyor Riveray Damas, mengutuk penindasan militer atas gerakan-gerakan kerakyatan dan membunuh banyak romo serta pegiat awam lainnya. Pada bulan Maret 1980, Monsinyur Romero ditembak mati. Kelima, Romo Rutilio Grande, seorang Jesuit El Salvador mengajar di seminari San Salvador, tetapi kemudian memutuskan untuk meninggalkan kota dan memilih hidup di tengah orang-orang miskin di pedesaan. Ia memimpin sekelompok romo mulai menjalankan tugas misi mereka di kalangan para petani miskin di wilayah kepastoran Aquilaras pada tahun 1972-973. Pandangan mereka, seperti berikut ini:
“Suatu masyarakat dari orang-orang yang saling bersaudara yang bertekad bersama membangun suatu dunia baru, tanpa para penindas maupun para tertindas sesuai dengan rencana Tuhan.”
Mereka membacakan Injil kepada para petani dan membandingkan kehidupan orang-orang desa itu. Akhirnya mereka kemudian menegaskan, pentingnya perjuangan melawan dosa sosial yang wujud dalam proses penghisapan dan kapitalisme. Pada tahun 1977, Romo Rutilio ditembak mati oleh tentara pemerintah.
***
Para rohaniawan ini telah memaknai dan mengikuti keteladanan Yesus. Mereka telah membuat karya-karya nyata demi keselamatan rakyat miskin hingga relah berjuang dan berkorban demi keadilan, kebenaran dan kedamaian tercipta di tengah kehidupan umat Tuhan. Mereka telah membuktikan bahwa gereja dan rohaniawan bisa dan mampu melawan sistem kekuasaan yang menindas umat Tuhan.
Seharusnya para rohaniawan, terutama uskup lima keuskupan di Papua pada umumnya dan khususnya uskup Jayapura lebih berperan aktif dalam melawan keserbakuasaan, tetapi mengutuk dan kecewa atas suara suara kenabian. Konteks ini menunjukan bahwa kurang ajar yang sebenarnya adalah rohaniawan yang mencintai diri sendiri dan membiarkan umat Tuhan hidup dalam penindasan dan penderitaan.
Refleksi
Kekecewaan seorang uskup dalam menanggapi suara kenabian para rohaniawan ini memberikan kesan secara tersirat merestui dan membiarkan umatnya hidup dalam penindasan dan penderitaan. Sementara umat didoktrin melalui khotbah agar terus berada dalam suasana serbah pasrah demi mengejar hidup yang kekal setelah mati. Akankah umat Tuhan di Papua sadar dan bertanya: apakah terus membiarkan diri hidup dalam penindasan dan penderitaan serta ketidakadilan demi mengejar hidup yang kekal itu? Haruskah umat Tuhan di Papua menungguh penyelamatan dari atas? Lalu, dosakah jika melawan sistem yang menindas dan menghisap umat Tuhan di Papua demi menegakan keadilan, kebenaran dan kedamaian? Semua itu akan dimengerti ketika kita mengenal pribadi Yesus dengan ajaran-Nya secara luas.
Refrensi
Lowy, Michael, (2013) Teologi Pembebasan: Kritik Marxisme & Marxisme Kritis, Yogyakarta: INSIST Press.
www. tabloidjubi.com, 24 Desember 2015.
Penulis adalah mantan ketua Forum Komunikasi Pelajar dan Mahasiswa Katholik Papua Daerah Istimewa Yogyakarta.

Baca Juga Berita Terkait

2 komentar:

  1. Advice to my brothers and compatriots Air Papua from Sorong to Merauke, or the entire Papua native: "If Everywhere you arrested by of Police or Army of Indonesia while you fly the Flag of Stars KeJorah or bring it, then you are arrested and you just stopped just do not talk about this, but I suggest that you ask for directions to them why the father or the mother caught me and why I was banned and beaten or called treason when I use Kejorah Star flag in the country's West Papua new Guinea Sorong Until Merauke !. I think they no apparent reason, it does not mean you are useless struggle to free from the oppression of the Unitary Republic of Indonesia, but only the key attributes that you may be under the wrong address ... may be useful .... regards the fight. I am the First Man New Guinea rights in West Papua. (curly hair, My skin is black and having an ideology that is very clear ..

    BalasHapus