Refleksi
Paskah
Oleh:
ASLI
Jangan salah
maknai kematian Yesus di kayu salib (paskah). Paskah bukanlah sebuah ajang
untuk saling memaafkan, tetapi saling membebaskan dari penindasan.
Memaafkan
musuh bukan mengakhiri penindasan berarti menindas diri sendiri atas nama
Yesus.
![]() |
(Ilustrasi Jalan. google.com/TS) |
bisa dibantah.
Namun,
kadang orang kristen salah maknai peristiwa kematian Yesus ini sehingga
persoalan apapun yang terjadi dalam kehidupan mereka kadang dianggap sebagai
taqdir yang harus diterima, sekalipun pembunuhan, itu dianggap sebagai cara
atau jalan kematian yang ditentukan oleh Tuhan.
Ketika
orang bertanya hal paling fundamental yang mungkin perlu dijawab oleh para Imam
atau Pastor, Pendeta dan umat kristiani pada
umumnya adalah “mengapa Yesus digantung di kayu salib?” tanpa ragu dan tanpa
berpikir panjang akan menjawab:
“karena
dosa manusia”. Yesus mati di kayu salib untuk menebus dosa umat manusia di
dunia ini. Oleh karena itu, manusia harus bertobat.
Itulah
jawaban yang tidak perna dibantah oleh siapapun dan atas nama apapun. Pada hal,
jika kita menelah, memahami, mengerti dan memaknai secara baik dan benar
tentang esensi dari ajaran dan perjuangan serta kematian Yesus, maka pasti kita
dapat temukan jawaban yang tepat.
Sebenarnya
Yesus mati di kayu salib itu karena Ia melawan secara damai atas penerapan hukum
dan kekuasaan yang menindas pada saat itu. Yesus mati dikayu salib demi
membela umat miskin, tak berdaya dan yang terlantar yang ditindas oleh sistem
yang rakus dan korup demi kebenaran dan keadilan.
Karena
itu, kematian Yesus menebus dosa
penguasa saat itu yang menjalankan sistem yang menindas dan keselamatan
bagi yang ditindas. Maka tidak dibenarkan para pastor dan pendeta mengajak umat
untuk tunduk pada sistem yang menindas.
Penyampaian
ajaran Yesus yang bersifat tekstual, menyimpan atau berselingkuhan dengan
kepentingan tertentu adalah menambah dosa bagi yang menjalankan sistem yang
menindas, dan penindasan bagi umat
miskin yang lemah. Artinya bahwa jika umat dengan serius menghayati ajaran yang menyimpan, maka secara tidak langsung
umat miskin menerima atau menindas diri sendiri.
Dengan
demikian, kita berdoa kepada Yesus demi memperoleh keselamatan dan pertolongan dalam konteks
kehidupan yang kita hadapi saat ini, tetapi kita tidak sadar. Sebenarnya, atas
nama Yesus itu juga kita menindas diri sendiri karena tidak tahu arti
kematian_Nya.
Jika
kita sepakat dengan sebab kematian Yesus seperti yang saya kemukakan diatas
ini, berarti kita akan memiliki suatu hal yang sebelumnya disembunyikan dan
dihantui oleh sebuah batasan dosa yang kadang tidak jelas. Dan hal itu adalah jalan tengah antara teks dan
konteks.
Teks
adalah ajaran Yesus yang dituliskan dalam kitab suci dan konteks adalah situasi
kehidupan umat manusia dewasa ini. Jalan tengah antara ajaran Yesus dan situasi
hidup manusia itu hanya dimiliki oleh orang-orang yang peduli, berani dan mampu menghadapi
tantangan hidup.
Jalan
tengah itu adalah esensi pengorbanan Yesus yang harus diteladani oleh agamawan
maupun umat kristiani saat ini, sehingga tidak perlu takut akan kematian karena
disana kita pertaruhkan nyawa dan setelah mati akan dibangkitkan kembali untuk
menjalani hidup kekal, sebagaimana diajarkan oleh Yesus.
Menurut
ajaran kristen, manusia memiliki dua kehidupan, yakni sebelum mati dan setelah
mati. Kematian Yesus demi kebenaran, keadilan dan kedamaian serta kebebasan
adalah contoh konkrit yang perlu kita pelajari bahwa jalan tengah mewujudkan
misi-Nya di dunia akan memiliki hidup di surga.
Uskup Oscar Romero mengatakan sekalipun saya
mati, saya akan mimiliki hidup yang kekal disurga karena saya ada di jalan
tengah, seperti Yesus untuk membebaskan umat yang ditindas oleh sistem
kekuasaan. Namun, gereja Tuhan tidak akan perna mati dan akan terus hidup
bersama umat Tuhan.
Apa
yang dimaksud dengan “jalan tengah ”? Langsung
saja tanya sama orang-orang bersangkutan yang perna memiliki jalan tengah
tersebut. Orang-orang yang dimaksudkan disini adalah, Mohandas Karamchand
Ghandi, Nelson Rolihlahla Mandela, Martin Luther King, Jr, Oscar Romero, Rigoberta
Menchu Tum dan lain-lain.
Tanya
kepada mereka yang saya sebutkan diatas ini “mengapa Bapak atau Ibu tidak
menyerahkan penderitaan yang dihadapi oleh rakyatmu itu kepada Tuhan?” atau
biar lebih jelas tanya kepada Uskup Oscar Romero dan Rigoberta Menchu Tum
“mengapa anda berjuang untuk mengakhiri
penindasan?” “Bukankah seharusnya menungguh Tuhan yang datang membebaskan
rakyatmu?”
Jawaban itu
hanya ada didalam buku yang berjudul “Mengenal
dan Belajar dari Pemimpin Besar”, karya Yakobus Odiyaipai Dumapa.
Tidak ada komentar: