Penyediaan Political Goods Dalam Peningkatan Good Governance di Provinsi Papua



Pendahuluan

Dalam buku yang berjudul “Refleksi Agenda Reformasi” mengatakan bahwa ada tiga dimensi atau lapisan reformasi yang secara analisis harus di bedakan. Pertama, perbaikan terhadap semua penyimpangan yang terjadi. (penyimpangan artinya sesuatu yang sejak lama secara hukum dan ideologis serta sence of property telah dianggap tidak benar dan tidak pantas). KKN dan pelanggaran HAM yang bermacam-macam corak itu termasuk dalam dimensi pertama ini. Kedua, penghapusan segala factor, baik yang berupa hokum serta kelembagaan, maupun system politik, yang telah memungkinkan penyimpangan itu terjadi. Dan ketiga, peletakan dasar baru dari kehidupan kenegaraan.

Seruan reformasi dalam pemehaman dimensi pertama bukan saja member kesan seakan-akan menjadikan masalah “gawat darurat” kurang penting, malah seperti dulu juga-telah pulah mulai menaburkan benih “dendam sejarah”. Sementara itu, suara dari kalangan DPR dan ABRI memberi kesan seakan-akan hanya tertarik pada factor-faktor yang memungkinkan segala penyimpangan terjadi. Maka, berbagai undang-undang, ketetapan MPR, dan peraturan pemerintah tentang politik, hukum, dan ekonomi ditinjau, dicabut, diperbaiki , dan sebagainya.

Tak terasa, implementasi tata kelola kepemerintahan yang sehat (good governance) di provinsi Papua yang statusnya otonomi khusus. Ada satu hal menarik dari Stephen R. Covey (2004), yaitu penegasannya tentang pentingnya kita sebagai individu untuk meninggalkan sesuatu yang berharga bagi yang lain, bagi generasi berikutnya. Ini seharusnya dijadikan agenda utama bagi setiap orang yang kepadanya amanat untuk memimpin diberikan.

 kapasitas negara dalam menyediakan political goods di Papua

1.     Di bidang Keamanan

Papua sampai awal tahun 1960 tergolong kawasan yang relatif sangat aman di region Asia Tenggara dan Pasifik Barat Daya. Masih terjaga sikap dasar menghargai dan menghormati hak milik orang lain untuk tidak dirampas dan dicuri. Ada rasa aman karena penghargaan dan penghormatan kepada hak milik orang lain. Pada saat itu belum ada peristiwa dimana polisi dan tentara Belanda mengeluarkan satu butir peluru untuk membunu rakyat di Papua. Rakyat merasa aman, terutama hak untuk hidup tanpa rasa takut terhadap polisi dan serdadu kolonial. “negeri ini sejak jaman dulu disebut Pulau Surga (Island Of Paradise) telah berubah menjadi tanah tumpah darah” karena darah ribuan rakyat yang terbunuh demi suatu perjuangan hak asasi menentukan masa depannya secara damai”. Kehadiran aparat keamanan dan tindakan serta perlakukannya terhadap rakyat dan bangsa papua barat sering menyalahi prosedur standar, sehingga tergolong brutal.

Rakyat dan bangsa papua barat serta tanah ini telah menjadi ajang perebutan kepentingan ekonomi, dengan menjadikan politik dan stabilitas sebagai legitimasi politik, satu nusa dan satu bangsa, demi pembangunan nasional, demi NKRI, Pencasila sebagai asas satu-satunya, UUD 1945, dan jargon nasional lainnya telah menghalalkan segala bentuk intimidasi, pelanggaran hak asasi manusia, penguasaan sumber daya alam, pencaplokan tanah-tanah ulayat demi program transmigrasi atas nama pemerataan pembangunan nasional.pertanyaannya ialah: pembangunan untuk siapa? Keamanan untuk siapa? Dan stabilitas buat siapa? Apakah rakyat dan bangsa Papua Barat disingkirkan, dieksploitasi, dan dibantai atas nama NKRI? Apakah rakyat dan bangsa Papua Barat bukan bagian dari NKRI yang harus mendapat perlindungan dan sentuhan pembangunan yang bermartabat?

Rakyat dan Bangsa Papua Barat serta tanah ini menjadi taruhan dan bahkan menjadi tumbal dari berbagai perjanjian internasional seperti New York Agreement 15 Agustus 1962 dan perjanjian PT Freeport Indonesia yang terjadi pada 1967, dua tahun sebelum Papua secara hukum menjadi bagian dibawah pemerintah RI. Ketika PBB mencatat (take note) hasil “Act of Free Choice” pada November 1969, maka sejak itu pula dan bangsa Papua Barat ini menjadi bulan-bulanan eksperimen kekuasaan dan kekuatan global dalam bidang ekonomi maupun politik. Rakyat dan bangsa Papua Barat tidak merasa aman, ditanahnya sendiri. Karena pendekatan pembangunan yang dilakukan indonesia ialah pendekatan keamanan. Kontrak-kontrak ekonomi dan politik terjadi diluar persetujuan rakyat, dan proses seperti itu semakin menempatkan rakyat dan bangsa Papua Barat sebagai pihak yang tersingkir dan termarjinalisasi, dan karena itu semakin tidak aman.

Dr. George Junus Aditjondro menyatakan , “dari kaca mata yang lebih netral, hal-hal apa saja membuat klaim indonesia atas daerah Papua Barat, pantas dipertanyakan kembali”. Pelanggaran HAM yang diwarnai oleh pembunuhan kilat, penculikan, penghilangan, perkosaan, pembantaian, dan kecurigaan. Papua sejak diintegrasikan dengan Indonesia, 1963 hingga hari ini terus diwarnai oleh sejumlah aksi kekarasan bersenjata. Kekerasan terhadap kemanusiaan di Tanah Papua pada umumnya bernuansa politik, terutama yang melibatkan satuan keamanan aparat, baik itu polisi maupun militer.

Perlu secara kritis diperhatikan bahwa berbagai bentuk pelanggaran HAM yang berlangsung selama beberapa dekade terhadap rakyat bangsa Papua Barat belum perna diproses hukum dan mendapat respon dan keadilan memadai dari instansi penegak hukum. Selah satu kasus belum diproses hukum adalah pembunuhan tokoh adat Theodorus Hiyo Eluay yang dikenal dengan Theys (2001), dan kasus baru terjadi di Kabupaten Nabire yang belum diproses hukum seperti yang dilansir di media lokal Nabire, (24/11)—Seorang warga Degeuwo ditangkap polisi dari Kepolisian Resort (Polres) Nabire, karena membawa pistol. Pistol itu diakui, dibeli dari seorang anggota TNI.

Warga Degeuwo, berinisial MA dilaporkan oleh sumber tabloidjubi.com di Nabire telah ditangkap polisi karena kedapatan membawa pistol. Saat diperiksa, MA mengaku pistol itu didapatnya dari seorang oknum anggota TNI. “Tanggal 24 November 2012 MA, masyarakat Asli Degeuwo ditangkap oleh Polisi Polres Nabire, karena memiliki senjata jenis pistol.” kata sumber tabloidjubi.com, Sabtu (24/11) malam. Berdasarkan kasus tersebut, maka kehadiran militer ditengah masyarakat menciptakan kriminalitas.

Sudah cukup lama hampir enam dekade rakyat dan bangsa Papua Barat telah hidup dalam budaya diam, budaya takut, dan budaya bisu akibat berbagai kebijakan yang menyudutkan rakyat dan bangsa Papua Barat dengan stigma-stigma yang melecehkan martabat dan kehormatan rakyat dan bangsa Papua Barat berumpun malanesia. Stigma-stigma berlevel rendah dengan tujuan pembunuhan karakter, potensi rakyat dan bangsa Papua Barat sampai ketingkat berdimensi politik, ekonomi dan keamanan yang menimbulkan tragedi kemanusiaan dan pelanggaran HAM seperti: 

1.     Orang asli Papua Barat belum bisa, belum maju, tukang mabuk, SDM belum siap
2.     Orang asli Papua Barat terbelakang, termiskin, terbodoh, tertinggal, terisolasi, bahkan masih primitif
3.     Orang asli Papua Barat adalah anggota Gerakan Pengacau Keamanan (GPK), Gerakan Pengacau Liar (GPL).
4.     Orang asli Papua Barat adalah anggota OPM, separatis, dan pembuat makar.
Stigma-stigma ini memang bertujuan untuk menekan orang asli Papua Barat supaya tidak ada ruang untuk mereka bergerak bebas dinegeri dan tanah mereka.

Karena begitu banyak peristiwa ketidakadilan yang selalu terjadi di pelosok pedalaman, pegunungan, pesisir pantai, lembah dan rawa-rawa, diperbukitan, lereng gunung yang penuh salju abadi maka hampir mustahil saya akan merekam dan membukanya pada lembaran ini. Namun saya yakin pasti suatu kelak akan terekam dan tercatat dengan baik semua isap tangis rakyat. Mereka hanya merindukan, keadilan, perdamaian dan kebebasan. Semoga Sang Khalik dapat mendengarkan-Nya.

2.     Pelayanan di Bidang Kesehatan

Salah satu misi undang-undang No. 21 tahun 2001 tentang otonomi khusus Papua adalah peningkatan pelayanan kesehatan terhadap orang asli Papua. Namun, dilihat dari realitas implementasi telah gagal. Mengapa dikatakan gagal karena Keadaan kesehatan ibu dan anak kurun waktu tahun 2001 – 2009. Walaupun penerapan Otonomi Khusus Bagi Papua telah berjalan selama 10 Tahun, persoalan kesehatan di Papua masih menjadi persoalan yang serius. Berdasarkan hasil survei kematian Ibu pada Tahun 2001 ditemukan sebanyak 64.471 bayi, yang seharusnya hidup di Papua. Namun demikian, hanya 51.460 bayi yang hidup dan 7.150 bayi yang meninggal. Angka kematian bayi 122/1000 kelahiran hidup. Sebanyak 47.709 balita yang hidup dan terdapat 3.751 balita yang meninggal. Angka kematian Balita yakni 64/1000 kelahiran hidup. ( Hasil survey Foker LSM Papua tentang keadaan kesehatan di Papua, 2005 ).

Kasus HIV dan AIDS terus meningkat, jumlah pengidap HIV dan AIDS di Tanah Papua adalah 5.555 orang, Laporan Dinas Kesehatan Provinsi Papua dan Papua Barat yang dipublikasikan oleh KPA Provinsi Papua, 31 Maret 2008 menyebutkan bahwa : 1). Provinsi Papua memiliki jumlah pengidap HIV dan AIDS adalah 3.955 orang yang terklarifikasi sebagai berikut dimana HIV : 2.181 Orang, sedangkan AIDS 1.773 Orang, Sedangkan untuk Papua Barat memiliki jumlah 1600 HIV dan AIDS, dari kasus HIV/AIDS 70 % adalah Orang Asli Papua. 

3.     Bidang Ekonomi

Seperti yang dilansir di Tabloid Suara Perempuan Papua (23 mei 2007). Akses pertumbuhan kesejahteraan dalam bidang ekonomi terhambat, selama ini lebih diarahkan menjadi kaum konsumtif, bukan kaum produktif, yang lebih menyedihkan lagi ketidak berdayaan kita membuat strategi persoalan kesejahteraan aspek politik pada hal, yang dibutuhkan sebuah keberpihakan dan kebijakan yang benar-benar kepada rakyat. Tidak ada jalan lain selain membuka akses besar-besaran bagi orang papua, karena persoalan HAM mendasar adalah persoalan ekonomi/kesejahteraan. Tidak mungkin terjadi gejolak atau pelanggaran hukum HAM liannya, bila HAM, ekonomi, dan kesejahteraan orang papua terpenuhi.

Dalam kutipan ini sangat jelas bahwa akses dalam bidang ekonomi selama ini sangat terisolasi karena kesempatan bagi orang papua tidak ada. Akses dimaksud disini adalah akses dalam modal. Kita tidak menutup-nutupi banyak kelemahan dalam bidang wiraswasta bagi orang asli Papua. Misalnya, kurang adanya kemauan dan upaya untuk maju dalam hal ini perlu ada spesifikasi terhadap seluruh orang Papua terutama bagi mereka yang bergelut dalam dunia bisnis. Dalam bentuk motivasi dan pemberian modal agar mereka terangsang untuk membuka usaha sekaligus membuka lapangan kerja bagi orang lain. Kesulitannya adalah untuk mendapat kredit lunak selalu ditolak dengan alasan kurang lengkap serta persyaratan perkereditan. Itu peluruh ampuh untuk membunuh orang asli Papua dalam bidang ekonomi.

4.     Di bidang Pendidikan

Salah satu tugas pokok pemerintah maupun misi UU No. 21 tahun 2001 adalah pelayanan public sehingga pemerintah provinsi Papua meningkatkan Sumber Daya Manusia melalui pendidikan Formal. Pemerintah telah diupayakan membangun sekolah dari Taman Kanak-kanak sampai Sekolah Tinggi (PT). Meskipun demikian, belum mengakomodasi fasilitas maupun tenaga pengajar yang menunjang dalam proses pembelajaran siswa/i.

Berdasarkan taksonomi governabilitas, 
 Papua termasuk Quasi state

Berdasarkan realitasnya pemilihan kepala daerah (PILKADA) baik gebernur mapun bupati merupakan salah satu moment yang dimanfaatkan oleh para kapitalis. Kandidat maupun para kapitalis melakukan lobying untuk meminjam uang kampanye kepada para kapitalis kemudian membuat perjanjian untuk memberikan proyek serta memberikan izin membuka perusahaan jika menang dalam PILKADA tersebut. Perusahaan ini tidak membawah perubahan dan menciptakan konflik dalam kehidupan masyarakat. Pemberian izin perusahaan yang dikeluarkan tanpa sepengetahuan masyarakat setempat sehingga kehadiran perusahaan menjadi pemicu konflik.

Siti Maimunah, 2012: hal, 24, dalam bukunya Negara Tambang dan Masyarakat Adat, salah urus terhadap pengelolahan bahan tambang yang hanya dipandang sebagai komoditas penghasil devisa dan PAD semata. Sehingga seluruh upaya diarahkan untuk bagaimana mengeluarkan ijin sebanyak-banyak dan melakukan pengerukan sebesar-besarnya. Contoh kasusnya seperti yang terjadi dikabupaten Nabire yang mana pemerintah memberikan/mengeluarkan izin kepada PT. Harvest Raya, Cepos.com (senin 20 agustus 2012)

Masyarakat adat Suku Wate bagian Wanggar, Kabupaten Nabire, menolak PT.Harvest Raya yang berniat menginvestasikan modalnya untuk perkebunan kelapa sawit di wilayah adat mereka, yakni mulai dari Wanggar hingga Sima. Masyarakat juga mendesak pemkab Nabire agar mencabut izin lokasi yang dikeluarkan kepada perusahaan tersebut.
Kepala Suku Wanggar Pantai Aleks Raiky dan tokoh adat Wanggar Pantai didukung elemen masyarakat adat dari distrik Yaro menegaskan, surat pernyataan untuk operasional perkebunan kelapa sawit pada arel tanah adat keluarga besar Suku Wate pada 16 April 2007 kepada Pimpinan PT.Jati Dharma Indah (JDI) Kantor Cabang Nabire adalah bersifat dukungan. Sehingga tidak bisa dijadikan sebagai jaminan perjanjian kerja sama antara masyarakat adat Suku Wate dengan PT.Harvest Raya.Pernyataan tersebut disampaikan kepada Bupati Nabire melalui Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Nabire,Ir Marlan Pinem dalam pertemuan antara masyarakat Adat Suku Wate, PT.Jati Dharma Indah diruang pertemuan Dinas Kehutanan dan Perkebunan Senin (17/9). 

Selain itu, Pertambangan tanpa izin (PETI) dapat dijumpai di berbagai wilayah di Indonesia. Di papua khususnya di Kabupaten Paniai dan Nabire pertambangan PETI antara lain:

1.     Degeuwo Kab Paniai. Penambangan emas 

2.      Blok Topo Lokasi penambangan emas Blok Topo tersebar di Argomulyo, Gunung Sapi, Samabusa 

3.     Blok Kilo. Lokasi penambangan emas di Blok Kilo terdiri dari Kilo 62 dan Kilo 64 di sepanjang jalan Pemerintah, Distrik Uwapa.

4.     . Blok Siriwini. Sungai Siriwini merupakan salah satu lokasi pendulangan emas di dekat kota Nabire sekitar 12 Km ke arah timur.

Sejarah penambangan emas di Kabupaten Nabire diawali oleh kegiatan pendulangan emas aluvial di Distrik Topo (saat ini Distrik Uwapa) sekitar 40 km dari Nabire sejak tahun 1994-2002. Berbagai suku pendatang ada di tempat itu, terutama warga Sulawesi Utara, Kalimantan, Bugis, Buton, Maluku, dan Makassar. Masyarakat Papua di Topo, umumnya mendapatkan 2 gram emas dari 10 karung tanah berukuran 50 kilogram dengan cara didulang secara tradisional (kompas.com 16 Februari 2003). Saat ini, ada beberapa perusahaan masuk dikawasan tersebut seperti PT. Petro Cina. penambangan emas yang paling banyak dilakukan terdapat di Distrik Siriwo yang berlokasi di daerah Minitinggi, Bayabiru, Minibiru, Dandim dll yang mulai ditemukan pada tahun 2004 hingga saat ini.

Umumnya kegiatan penambangan dan pengolahan bahan galian yang dilakukan cenderung memperlihatkan kondisi yang memprihatinkan. Hal ini tercermin dari kondisi pemanfaatan sumber daya mineral yang kurang terencana dengan melakukan produksi bahan galian tanpa adanya kegiatan eksplorasi untuk mengetahui sumber daya dan cadangan serta kurang memperhatikan dampak terhadap lingkungan sekitarnya.

Dan juga, kegiatan PETI berpotensi menyisakan bahan galian yang di luar jangkauan kemampuan dan kapasitas penambangan dan pengolahannya, oleh karena itu bahan galian yang tertinggal / tersisa pada wilayah PETI perlu diinventarisir untuk diperhitungkan peluang pemanfaatannya. Bahan galian tersebut dapat berupa bahan galian utama, bahan galian lain dan mineral ikutannya. Hal ini sejalan dengan amanah yang terdapat di dalam Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 dan dituangkan ke dalam Kepmen ESDM Nomor: 1453.K/29/MEM/2000, dimana bahan galian harus diambil/ditambang secara terencana, teratur, bertanggung jawab dan berkelanjutan untuk kepentingan dan kesejahteraan penduduk Indonesia.

Keberadaan PETI ini telah diketahui oleh pemerintah setempat, sehingga salah seorang DPRD mengeluarkan kebijakan untuk menutup perusahaan tersebut, namun ia dipukuli oleh militer sehingga sampai saat ini masih beroperasi didaerah itu. Hal ini juga tidak terlepas dari kepentingan ekonomi politik oleh elit-elit tertentu.

Berdasarkan pembahasan serta contoh kasus diatas ini, maka provinsi Papua tergolong kedalam Quasi state yang merupakan suatu fenomena dimana negara yang seharusnya bertindak otonom dikebiri dan dikendalikan oleh sektor-sektor non-negara yang merebut dan mengendalikan otoritas dan kewenangan Negara.

 Hubungan antara kapitalisme dengan kapasitas negara dan dukungan investor terhadap pengembangan kapasitas negara di Papua

Kapitalisme hadir sebagai pihak ketiga antara negara dan masyarakat untuk membuka kesempatan ekonomi dan lingkungan bisnis serta ketersediaan ruang publik untuk bekerja didalam lapangan kerja yang diciptakan oleh kapitalis. Kehadiran Kapitalisme juga telah sedikit membawah dampak perubahan yang positif karena mengurangi jumlah pengangguran dan kemiskinan. Namun, yang menjadi persoalan adalah negara menghadirkan perusahaan tidak tepat sasaran karena Menurut teori sentral Ekonomi, kehadiran Perusahaan untuk memberdayakan masyarakat disekitar itu, tetapi pemerintah tidak memperhatikan akan hal itu. Sehingga pertibangan hanya seperti yang dikatakan oleh Siti Maimunah, 2012: hal, 24, dalam bukunya Negara Tambang dan Masyarakat Adat, salah urus terhadap pengelolahan bahan tambang yang hanya dipandang sebagai komoditas penghasil devisa dan PAD semata. Sehingga seluruh upaya diarahkan untuk bagaimana mengeluarkan ijin sebanyak-banyak dan melakukan pengerukan sebesar-besarnya.

1.     Dibidang Keamanan

Dukungan investor terhadap pengembangan kapasitas negara dibidang keamanan terlihat jelas dengan membeli berbagai alat persenjataan. Pihak investor tidak meragukan bahkan dengan senang mendukung keamanan serta membeli perlengkapannya karena keamanan merupakan suatu alat yang dimanfaat oleh investor untuk mengamankan aktivitas perusahaan atas protes rakyat dengan memberikan sogokan dengan jumlahnya yang paling besar. Seperti yang dikatakan oleh Siti Maimunah, dalam bukunya yang berjudul “Negara Tambang dan Masyarakat Adat” bahwa pendekatan keamanan selalu dipakai oleh pemerintah dan perusahaan tambang dalam meredam protes rakyat terhadap perusahaan tambang. Hal ini terlihat jelas dari pernyataan-pernyataan para petinggi militer dan cabinet SBY JK yang menangggapi aksi serentak rakyat Papua dibeberapa lokasi yang menuntut PT Freeport ditutup hingga terjadi bentrok berdara di Abepura tanggal 18 Maret 2006. Mereka seolah ingin menyatakan bahwa orang Papua bodoh sehingga tidak bisa membedakan mana yang provokasi dan mana yang upaya menuntut ketidakadilan. Atau orang Papua tak akan menutut keadilan jika dikompromi dari luar. Para pengurus negeri ini melupakan sejara dan fakta bahwa operasi pertambangan Freeport telah melahirkan pelanggaran HAM, perusakan lingkungan yang massif dan juga pemiskinan rakyat sekitar.

Oleh karena itu, berdasarkan pernyataan diatas maka dapat disimpulkan bahwa, para investor mendukung pengembangan kapasitas negara dibidang keamanan dengan tujuan untuk mengamankan aktifitas perusahaan mereka atas protes rakyat.

2.     Dibidang Layanan Pendidikan 

Investor juga telah mendukung pengembangan kapasitas negara dibidang pendidikan. Bidang ini telah membawah dampak positif bagi kehidupan masyarakat. Hal ini dilihat dari realitas partikelir pembangunan lembaga sekolah dari taman kanak-kanak (TK) sampai dengan perguruan tinggi (PT) dengan bantuan dana bagi siswa berprestasi, hingga mengirim ke luar negeri. Jika ditinjau dari fasilitas, hanya bagian kota yang cukup lengkap tetapi dibagian kampung fasilitas maupun tenaga pengajar sangat kurang sehingga kekurangan ini menjadi problem utama dalam bidang pendidikan ini.

3.     Dibidang Jalan dan Telekomunikasi

Salah kendalah pemerataan pembangunan adalah infrastruktur seperti jalan. Dukungan investor terhadap pengembangan kapasitas negara dibidang ini tidak merata, investor membangun jalan hanya disekitar perusahaan sehingga sampai saat ini, jalan penghubung antar kabupaten kota, dan kecamatan serta kampung di beberapa kabupaten diprovinsi Papua masih belum dibangun. Kondisi medan diwilayah ini cukup berat sehingga tantangan berat bagi investor pemerintah, namun saya yakin kesemuanya itu akan dapat teratasi perlahan tetapi pasti. Komunikasi jarak jauh (Telekomunikasi) ada banyak kabupaten di papua masih belum dijangkau oleh investor maupun pemerintah, ada juga yang telah dibangaun telekomunikasi, tetapi dikecamatan tertentu tidak bisa akses dengan kata lain kedua bidang ini tidak terjangkau merata diseluruh pelosok, kecamatan dan kampung. Seharusnya kedua bidang yang diutamakan agar masyarakat, investor, dan pemerintah mudah akses.

 Sikap investor terhadap kebijakan pemerintah daerah

Salah satu tugas pemerintah adalah sebagai perumus kebijakan publik. Menurut Thomas Dye (1981:1) Kebijakan publik adalah apapun pilihan pemerintah untuk melakukan atau tidak melakukan (publik policy is whatever governments choose to do or not to do). Maknanya:
1.     kebijakan publik tersebut dibuat oleh badan pemerintah, bukan organisasi swasta
2.     Kebijakan publik menyangkut pilihan yang harus dilakukan atau tidak dilakukan oleh badan pemerintah.

Perumusan kebijakan publik pada dasarnya diserahkan kepada para pejabat publik. Para pemain kebijakan yang terlibat dalam perumusan kebijakan berbeda dengan negara maju dan berkembang (Winarno, 2004: 91). Dinegara-negara berkembang, seperti Kuba, Korea Selatan, dan Indonesia, perumusan kebijakan lebih dikendalikan oleh elit politik dengan pengaruh massa rakyat relatif kecil. Para pemain kebijakan dapat dikelompokkan kedalam dua kategori, yaitu pemain resmi atau formal dan pemain tidak resmi atau non-formal (Lindblon, 1980; Anderson, 1994; Winarno, 2004). Yang termasuk pemain kebijakan formal meliputi presiden termasuk menteri dan pejabat publik yang membantunya (eksekutif), badan-badan administrasi pemerintah, lembaga yudikatif, dan lembaga legislatif. Sedangkan Pemain kebijakan non-formal mencakup kelompok-kelompok kepentingan, partai-partai politik dan warga negara individu.

Berangkat dari kutipan diatas telah jelas bahwa kebijakan merupakan jembatan bagi para investor dengan sikap terlibat aktif mempengaruhi dalam perumusan kebijakan oleh pemerintah pada skala internasional, nasional, dan regional. Perusahaan swasta atau investor pada dasarnya selalu berkompetisi untuk menawarkan berbagai isu kunci sesuai dengan kepentingan. Contoh kasusnya adalah keputusan hukum yang tidak adil bagi penduduk asli Asmat oleh Bupati Merauke terhadap perusahaan PT Artika Optima Inti yang yang beroperasi penebangan pohon diwilayah selatan Papua. Surat Keputusan Bupati Merauke tahun 1981 telah secara terang mengatur bahwa upah tebang, tarik, dan perakitan kayu adalah sebesar Rp. 7.500; per kubik untuk jenis kayu hitam dan Rp. 4.500; per kubik untuk jenis kayu timbul. Sedangkan harga kayu secara tercamar-camar diuraikan demikan:

Pemerintah mengakui bahwa pohon-pohon yang ditebang itu tumbuh dalam hutan di areal Hak Ulayat Masyarakat Adat. Untuk setiap kubik kayu yang ditebang, si pemegang hak ulayat dimana pohon-pohan yang ditebang itu tumbuh akan diberi pengganti haknya sebesar Rp. 200; Oleh karena itu, sikap para investor adalah mempengaruhi kebijakan yang dirumuskan oleh pemerintah sebagai jembatan utama untuk mengeksploitasi Sumber Daya Alam.

Kesimpulan

Bahwa kebijakan merupakan jembatan bagi para investor dengan sikap terlibat aktif mempengaruhi dalam perumusan kebijakan oleh pemerintah pada skala internasional, nasional, dan regional.

Umumnya kegiatan penambangan dan pengolahan bahan galian yang dilakukan cenderung memperlihatkan kondisi yang memprihatinkan. Hal ini tercermin dari kondisi pemanfaatan sumber daya mineral yang kurang terencana dengan melakukan produksi bahan galian tanpa adanya kegiatan eksplorasi untuk mengetahui sumber daya dan cadangan serta kurang memperhatikan dampak terhadap lingkungan sekitarnya.


Begitu banyak peristiwa ketidakadilan yang selalu terjadi di pelosok pedalaman, pegunungan, pesisir pantai, lembah dan rawa-rawa, diperbukitan, lereng gunung yang penuh salju abadi maka hampir mustahil saya akan merekam dan membukanya pada lembaran ini. Namun saya yakin pasti suatu kelak akan terekam dan tercatat dengan baik semua isap tangis rakyat. Mereka hanya merindukan, keadilan, perdamaian dan kebebasan. Semoga Sang Khalik dapat mendengarkan-Nya.

Daftar Referensi:
  1. Erari, Karel Phil, 2006, Yubelium dan Pembebasan Menuju Papua BaratLima Puluh Tahun Gereja Kristen Injil di Tanah Papua, Aksara Karunia, Jakarta
  2. Rita Maria, 2000, Sesat Pikir Politik Hukum Agraria, Yogyakarta: Insist Press, KPA
  3. Suharto Edi, 2011, Kebijakan Sosial Sebagai Kebijakan Publik, Bandung: Alfabeta
  4. Wonda Sendius, 2007, Tenggelamnya Rumpun Malanesia, Jayapura, Papua: Deiyai
Artikel
------------INVENTARISASI POTENSI BAHAN GALIAN PADA WILAYAH PETI,
DAERAH NABIRE, PROVINSI PAPUA oleh
: Denni Widhiyatna, Sabtanto J Suprapto, Asep Ahdiat.
------------Sekjend Pengurus Pusat Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia ( PP PMKRI). Bdk. Agus Alua, Materi yang disampaikan dalam Kongres I, Ikatan Cendekiawan Awam Katolik Se – Tanah Papua ( ICAKAP ), Balai Sosial Kamkey, Abepura Jayapura Papua, tanggal 4 Maret 2009 Rakyat Papua menerima status otonomi khusus (otsus) pada tahun 2001, tepatnya 21 November 2001 melalui disahkannya UU No.21/2001
------------Pokok rangkuman dari materi hasil musyawarah MRP dan Orang Asli Papua pada tanggal 9 -10 Juni 2010. Musyawarah ini dihadiri wakil orang Papua dari semua unsure ( Agama, Adat, Perempuan, Pemuda, dsb ) yang ada ditanah Papua dan luar Papua. Hasil Musyawarah menyatakan bahwa Otonomi Khusus Papua telah gagal total dilaksanakan di Tanah Papua.
------------Laporan Pelanggaran HAM oleh Aparat TNI/Polri kepada masyarakat Asli Papua, Pada Tahun 2006 – 2008

Baca Juga Berita Terkait

Tidak ada komentar:

Leave a Reply