![]() |
Add caption |
Impian
ibarat visi dalam suatu organisasi. Manusia harus mempunyai impian untuk
mempertegas keberadaan jati dirinya di tengah-tengah samudra kehidupan yang
sangat luas ini. Dunia memiliki miliaran penghuni. Bagaimana kita
menempatkan diri kita di tengah-tengah miliaran orang itu? Apa peran kita,
ingin menjadi apa, apa yang diharapkan dalam hidup kita, kemana kita akan
melangkah, bidang apa yang akan menjadi pekerjaan kita? Apa yang kita
dambakan? Itulah pertanyaan seputar impian kita tentang masa depan.
Banyak
orang sukses yang bisa menikmati hidupnya berawal dari impian. Impian mendorong
seseorang untuk mengerahkan segenap kemampuannya untuk mencapai tujuan,
meskipun penuh tantangan. Manusia bijak hidup dengan impian positif, yaitu
kondisi masa depan yang dicita-citakan, dan berusaha keras untuk mencapai
impiannya (Karim Asy, 2011).
Barikut
ini sekelumit kisahku bersama seorang guru yang bernama Lukas You perintis ilmu
di Pinggiran Danau Tage Biru. Dilihat dari kisah perjalanan hidup Sang guru,
mungkin impiannya mendidik dan melayani orang banyak sehingga Ia
mewujudkan dengan baik, dan memanusiakan manusia lain dari alam
kebodohan.
Ketika
saya masuk Sekolah Dasar Yayasan Pendidikan Persekolahan Katolik (SD
YPPK) Santo Don Bosco Uwebutu dibawa kaki Gunung Deiyai, hatiku terasa
senang karena bertemu dengan banyak teman-teman. Hari pertama kami masuk di
ruangan kelas sehingga Sang perintis ilmu yang usianya sudah tua itu
mengajar kami. Ia telah lamah mengabdi di SD YPPK Uwebutu,
bahkan guru lain yang bertugas di SD itupun anak didiknya.
Ketika
ia mengajar kami di saat bangku TK dan SD kelas 1 kami malas tahu saja, hingga
main karet dan ribut didalam ruangan kelas, sehingga kuping kami dicubik
lamanya sekitar 5 menit. Kuku ibu jarinya yang panjang terasa kuping saya
tembus, kenakalan kami tidak bisah tobat dengan kata-kata atau dengan nasehat,
tetapi harus dipukul dengan tongkat atau dicubik lalu sedikit bisa
meredakan sehingga hampir setiap hari di ruangan kelas seiring
dengan derai air mata. Ketika kami ribut di dalam kelas, ia menegur kami “ikii
meiya mana yuwine” dengan suaranya yang keras itu mengagetkan kami hingga
menangis.
Jika
kami ribut di dalam ruangan kelas, Ia memukul kami hanya di dua bagian tubuh
yakni cubik kuping dengan toki kepala kami di papan tulis sambil berkata
“akikii gapaakike yuwiya gapaame teyuwiyaa gapayi, kowake mogo dagii
kebadoketi”. Walaupun ini hanya kata-kata sepele saja tetapi sungguh ini
suatu mantra yang ia lakukan karena setelah beberapa hari kemudian kami banyak
yang tahu membaca.
Kami
tak pungkiri bahwa ketika ia cubik kuping, kami marah dengan kata-kata
kotor seperti “Paitua You Nomo Dagii, Paitua You Dagiuwita”, ada
teman-teman lain yang merusak tamannya, dan ada pula teman-teman yang melempari
rumahnya dengan batuh. Banyak hal yang kami lakukan tetapi bagi dia bukan
menjadi ukuran, serta bukan memadamkan bara api yang selalu berkobar demi masa
depan orang banyak, terutama anak negeri di pinggiran Danau Tage Biru (tabir).
Saya
pernah dengar cerita dari orang banyak, terutama kedua orang tua apa yang
dilakukan oleh Sang guru tua terhadap mereka di saat bangku SD bahwa, apa
bila ada yang tak masuk di ruangan kelas ia mencari anak tersebut di mana saja.
Entah itu di tengah hutan, di rumah, dan di Danau Tage Biru sampai dapat hingga
ikat kaki dengan tangan lalu bawah ke ruangan kelas, kayu buah patah diatas
tubuh mereka, karena memang dengan cara itu yang murid-murid bisa sadar dan
tobat sehingga semua anak yang masih umur sekolah biar bagimanapun juga
harus pergi ke sekolah, sehingga pada waktu itu SD YPPK Uwebutu muridnya sangat
banyak sekali, serta disiplinnya sangat tinggi.
Ketika
dengar cerita itu, saya terdiam merenungkan betapa jahatnya Sang guru
terhadap anak muridnya. Dan sejak itu juga saya berpikir bahwa apabila ia
melakukan hal yang sama terhadap kami, saya takkan sekolah. Namun, kini tak
seperti yang saya bayangkan hanyalah kuping dengan kepala saya yang
menjadi sasaran untuk tangannya melayang, saya juga tak pungkiri bahwa mungkin
ia melakukan hal yang sama seperti cerita diatas ini terhadap kami, tetapi
untungnya sejak itu usianya sudah tua. Sejak SD kami benci melihat sang guru tersebut,
dan banyak teman-teman yang takut dengan apa yang ia lakukan terhadap
kami hingga keluar sekolah.
Kini
saya mengerti sekarang, apa yang sang guru (Lukas You) lakukan terhadap
kami demi masa depan, karena ia punya perspektif yang luas sehingga bisa
melihat kehidupan masa depan anak negeri Tage Biru. Saya merasa
berdosa, karena kebencian saya kepada sang pembuka cakrawala, saya
merasa bersalah, karena kemarahan saya kepada sang pelita dalam
kegelapan, saya merasa menyesal ketidak patuhan terhadap apa yang
diperintahkan oleh sang penunjuk arah hidup saya. Andaikan penyesalan itu ada
sebelum semuanya terlanjur, saya pasti mendengarkan dengan baik tetapi apa
boleh buat. Ibarat “Nasi sudah menjadi bubur tinggal hanyalah penyesalan dalam
benak ini”. Jarang menemukan sosok seorang guru yang seperti dia bila
kita identifikasikan dengan guru-guru sekarang, ia memang lain dari pada yang
lain. Tugasnya melebihi dari pada guru, di sekolah menjadi guru, di gereja
menjadi pelayan umat, dan di luar menjadi keamanan bagi murid-muridnya yang
tidak pergi ke sekolah, jasanya memang mulia dan semangatnya tak tergoyahkan
dari berbagai macam cobahan demi tujuan untuk menciptakan anak masa depan yang
berguna bagi nusa dan bangsa dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara. Oleh karena itu, “Engkau Memang Pahlawan Tanpa Jasa yang saya kenal”
Sang
guru yang didikan jaman Belanda ini adalah seorang guru yang sangat mengabdi
pada tugasnya, bahkan melebihi dari itu. Ia tidak mengenal panas, lelah,
cape, pecek dan dinginnya alam di pinggiran danau Tage Biru bukan menjadi
ukuran bagi sang petunjuk arah hidup ini demi satu tekad untuk mengeluarkan
generasi penerus bangsa dari alam kebodohan, ketertinggalan, ketidakadilan, dan
ketimpangan. Saya tidak dapat membalas jasamu dengan apapun, hanyalah kata
ucapan TERIMAKASIH.
Tidak ada komentar: