(www.google.co.id.Ilustrasi.ist/TS) |
Tulisan
ini bukan bermaksud untuk menghina, merendahkan dan mengejek wilayah atau
daerah yang telah dimekarkan sekaligus mendapatkan nama baru yang diberikan
oleh negara demi kepentingan yang katanya mendekatkan pemerintah kepada
masyarakat, mempercepat pemerataan pembangunan, kesejahteraan, pelayanan publik
yang terjangkau dan sebagainya.
Maksud
dari tulisan ini hanya untuk melihat makna dibalik sebuah nama berdasarkan
realitas sosial dewasa ini sekaligus menyampaikan kepada generasi muda Papua
agar mengetahui dan mencatat nama asli dari wilayah atau daerah masing-masing
yang telah diganti dan dirubah oleh negara berdasarkan pemekaran daerah otonomi
baru (DOB), karena saya yakin bahwa suatu saat kita akan mengembalikan, menggunakan
dan menyebut nama aslinya.
Pura-pura
Sebagaimana
telah diketahui bersama bahwa arti sebuah nama adalah doa. Dan doa itu terwujud
dan tercermin dalam aktifitas atau perbuatan dari pemilik nama tersebut. Oleh
karena itu, pemberian nama terhadap seseorang atau suatu wilayah, daerah dan
kampung memiliki arti tersendiri, baik secara kultur, religi, dan administratif
modern.
Pemeberian
nama secara kultur biasanya memiliki cerita yang amat berarti berdasarkan syarat-syarat
tertentu yang telah ditentukan dalam kehidupan sosial. Sedangkan pemberiaan
nama secara religi (kristen katolik dan protestan) biasanya diambil dari
nama-nama yang tercantum dalam Alkitab dan juga tokoh-tokoh agama. Sementara
dari segi administratif menjadi satu catatan penting yang perlu dibahas, apa
arti dan makna dibalik itu........?
Pemberian
nama secara administratif ditujukan pada wilayah atau daerah berdasarkan
undang-undang pembentukan daerah tersebut. Perumusan nama daerah tentu memiliki
dasar pemikiran yang ditinjau dari aspek
filosofis, sosiologis dan politis. Pemberian nama seperti ini jelas
melampaui nama daerah yang diberikan secara kultur oleh masyarakat setempat.
Dengan
adanya pemekaran daerah otonomi baru (DOB) di Indonesia terutama di Papua
banyak nama daerah baru secara administratif bermunculan. Ada yang menarik
dengan pemberian nama wilayah di Papua saat ini yang diakhiri dengan kata “Pura
dan Jaya”, seperti Jayapura, Tembagapura dan Puncak Jaya, Intan Jaya dan
sebagainya.
Ternyata
memang benar, nama mencerminkan konteks yang terjadi dalam kehidupan masyarakat
bangsa Papua dewasa ini. Pura artinya pemerintah menjalankan berbagai macam
aktifitas disegala aspek kehidupan sosial di Papua hanya pura-pura saja
sehingga masyarakat menjadi korban dari aktifitas pura-pura ini.
Negara
bersama kaki tangannya (elit-elit politik lokal) merumuskan kebijakan dan
program yang bersifat top dawn untuk
meloloskan kepentingan pribadi dengan kelompoknya sehingga realisasi hanya
pura-pura untuk memenuhi kepentingan administratif (laporan
pertanggungjawaban). Realisasi program pura-pura di Papua pada umumnya adalah
kegiatan pembangunan pemerintah sangat bertentangan dengan kebutuhan dan
nilai-nilai budaya masyarakat setempat.
Program
yang bertentangan kebutuhan masyarakat setempat dapat dijumpai dalam semua lini
kehidupan sosial. Pertama, segi pembangunan infrastruktur; pemerintah membangun
bangunan-bangunan kosong yang tidak diisi dengan fasilitas dan tenaga yang
handal, sementara pembangunan jalan dan jembatan melibatkan masyarakat luar
Papua karena pemerintah tidak percaya dengan masyarakat asli Papua.
Kedua,
segi pendidikan; pemerintah membangun gedung-gedung sekolah yang tidak
dilengkapi dengan fasilitas maupun tenaga guru yang siap mengajar. Disisi lain,
tenaga guru yang ada karena dengan
adanya pemekaran pinda panggung, (dari panggung pendidikan ke panggung politik
dan birokrasi) sehingga siswa menjadi korban masa depannya. Hal ini sengaja
dilakukan oleh negara demi kepentingan ekonomi politik sehingga pemekaran atas nama
pembangunan yang bersifat pura-pura ini menghancurkan pendidikan di Papua.
Pemerintah
berusaha menyusun sistem pendidikan sifatnya mencuci otak generasi muda di
Papua dengan mengajarkan sesuatu yang tidak perna diketahui oleh para siswa-siswi.
Para siswa-siswi diajarkan di Jawa ada candi perambanan, candi borobudur,
kereta api, sejarah pergerakan dan perjuangan bangsa Indonesia. Sementara
keunggulan dan history masyarakat setempat dianggap sesuatu yang tidak memiliki
makna.
Ketiga,
segi kesehatan; pemerintah membangun gedung-gedung kosong yang tidak dilengkapi
dengan fasilitas dan tenaga-tenaga medis yang handal. Sementara tenaga medis
yang ada karena dengan adanya pemekaran pindah panggung, (dari panggung
kesehatan ke panggung politik dan birokrasi), karena memang tidak ada tenaga
yang diisi dalam jabatan-jabatan birokrasi.
Disamping
itu, negara melalui Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Kepolisian Republik
Indonesia (PolRI) mengembangkan bisnis-bisnis lokal yang mendatangkan dan
menyebarkan penyakit yang paling mematikan manusia (HIV dan AIDS). Meskipun
aktornya negara sendiri atas penyebaran penyakit ini, tetapi negara pura-pura
berusaha menyelamatkan orang Papua dengan cara membentuk lembaga-lembaga,
seperti komisi penanggulangan AIDS (KPA) dan memberikan obat dan bantuan medis lainnya
yang bersifat pura-pura.
Dari
segi politik, negara bersama elit-elit politik lokal berusaha membuat berbagai
macam kebijakan dan mekarkan berbagai daerah otonomi baru (pemekaran) atas nama
pembangunan dan kesejahteraan masyarakat Papua yang bersifat pura-pura. Tujuan
sebenarnya adalah untuk memetahkan serta mengobrak-abrik nasionalisme orang
yang selama ini diperjuangkan oleh masyarakat bangsa Papua.
Disisi
lain untuk mengeruk dan mengeksploitasi kekayaan alam Papua dan menciptakan
sikap individualitas. Dengan demikian, alasan pemekaran pembangunan dan
kesejahteraan adalah alasan pura-pura dari negara demi kepentingan ekonomi
politik di bumi Cenderawasih.
Dari
segi sosial budaya, negara pura-pura menghargai sosial budaya masyarakat Papua
melalui berbagai macam produk undang-undang, terutama uu no 21 tahun 2001
tentang Otsus bagi Papua. Didalamnya terdapat sejumlah pasal yang menghargai
keberadaan nilai-nilai budaya yang dimiliki oleh masyarakat Papua. Namun,
realitasnya nilai-nilai budaya masyarakat inilah yang dianggap sesuatu yang
menghambat sehingga satu-satunya cara yang diusahakan adalah menyingkirkan
nilai-nilai budaya tersebut sehingga digantikan dengan budaya Jawa yang
kemudian dianggap sebagai budaya yang memiliki drajat yang lebih tinggi.
Ber
“jaya”
Sedangkan
Jaya artinya negara Indonesia dengan kaki tangannya di Papua saat ini berjaya
atas penderitaan rakyat Papua. Negara memberikan kebijakan Otonomi Khusus melalui
UU No 21 tahun 2001 bersama kucuran dana triliunan rupiah. Namun, sejumlah dana
tersebut tidaklah memiliki arti dan makna bagi masyarakat Papua. Sementara para
elit politik lokal dan elit birokrasi bersama negara Indonesia berjaya dengan
uang yang mengatasnamakan masyarakat Papua tersebut.
Dalam
konteks tersebut, negara terus berupaya memberikan produk kebijakan baru
bersama kucuran dana triliunan pula, seperti respek, Unit Percepatan
Pembangunan Papua dan Papua Barat (UP4B), pemakaran dan sebagainya. Namun,
sampai saat ini tidak tahu pembangunan apa yang dipercepat. Sementara
orang-orang yang ada dalam posisi penting menjadi semakin berjaya. Disamping
itu, negara melalui TNI/PolRI berusaha menciptakan persoalan dalam kehidupan
orang Papua dengan tujuan untuk meminta dana pengamanan kepada pemerintah
daerah demi memperkuat kejayaannya.
Kucuran
dana triliunan rupiah itu, bagi elit politik dan birokrasi lokal serta negara
untuk memperkuat kejayaan mereka. sementara masyarakat Papua korban bahkan uang
itu dijadikan sebagai alat yang melegitimasi perlakuan negara melalui TNI/PolRI
terhadap masyarakat Papua. Hal ini dilakukan secara rutin, terencana dan
sistematis agar masyarakat Papua tidak menuntut keadilan dan kebebasan agar
kejayaan negara (TNI/PolRI) dan elit-elit politik serta elit birokrasi lokal tetap
terjaga.
Kesimpulan
Berdasarkan
uraian singkat diatas ini, dapat disimpulkan bahwa arti sebuah nama telah
terwujud dalam kehidupan orang Papua pada umumnya. Realitas sosial membuktikan
bahwa berbagai macam kebijakan dan program pembangunan negara di Papua bersifat
pura-pura. Sementara masyarakat Papua korban diatas korban atas aktifitas
pura-pura ini. Namun, dipihak lain mendapatkan keuntungan dan semakin ber”jaya”
diatas penderitaan masyarakat Papua.
Kebijkan
dan program pura-pura di Papua yang hanya untuk mengejar kejayaan elit politik
lokal, kelompok kepentingan dan negara tidak akan perna menyelesaikan beragam
persoalan yang dihadapi oleh masyarakat Papua disemua aspek kehidupan. Karena
saat ini kepentingan yang berbicara. Oleh karena itu, masyarakat Papua harus
menghindar dari ke-pura-pura-an demi kejayaan ini agar menjawab semua persoalan
yang terjadi sejak dulu hingga saat ini. (TS/ASLI).
Tidak ada komentar: