(Ilustrasi: Indonesiainfrastructurenews.com) |
Oleh: ASLI
Pengantar
Persoalan dalam
berjalannya roda pemerintahan di Indonesia masih hangat dibicarakan hingga
kini, karena sejak memasuki era reformasi masih dapat dijumpai penyimpangan
dalam bentuk dan/atau gaya yang baru. Konteks ini terjadi hampir seluruh
Indonesia, terutama di Papua pada umumnya dan lebih khusus di Kabupaten Paniai.
Penyimpangan ini membuat masyarakat semakin menjauh dari pemerintah daerah
(Pemda). Kepercayaan masyarakat terhadap pemda mengalami degradasi. Dalam
konteks tersebut, tentu sangatlah sulit untuk menjalankan kebijakan pembangunan
di daerah.
Penyimpangan yang
dimaksud dapat dijelaskan secara singkat dalam pembahasan berikut. Namun, untuk
memperjelas melihat penyimpangan tersebut, maka penulis merasa penting untuk
menguraikan secara singkat mengenai seruan reformasi dan juga tujuan pemberlakuaan
desentralisasi dan otonomi daerah serta otonomi khusus bagi Papua.
Seruan Reformasi
Setelah Soeharto berhasil dilengserkan dari
jabatannya sebagai presiden pada tahun 1998, Indonesia memasuki era reformasi untuk
memperbaiki setiap sektor kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Menurut Taufik Abdullah, (1999:48) dalam buku yang berjudul “Refleksi Agenda Reformasi” mengatakan
bahwa ada tiga dimensi yang perlu diperbaiki, yakni: Pertama, perbaikan terhadap semua penyimpangan yang terjadi. KKN
dan pelanggaran HAM yang bermacam-macam corak itu termasuk dalam dimensi
pertama ini. Kedua, penghapusan segala faktor, baik yang berupa hukum serta
kelembagaan, maupun sistem politik, yang telah memungkinkan penyimpangan itu
terjadi. Dan ketiga, peletakan dasar baru dari kehidupan kenegaraan.
Sebagai upaya
lebih lanjut dari ketiga dimensi di atas ini, Indonesia telah memberlakukan desentralisasi
dan otonomi seluas-luasnya di seluruh daerah Nusantara melalui Undang-undang
No. 22 Tahun 1999 yang kemudian direvisi menjadi UU No. 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai
dengan prakarsa masyarakat, dengan tujuan mendekatkan masyarakat pada
pemerintah, mempermudah efektifitas pelayanan publik, membina kehidupan berdemokrasi
di aras lokal dan sebagainya.
Berdasarkan
beberapa pertimbangan, baik dari aspek sosio-kultur, ekonomi dan politik , maka
beberapa provinsi diberlakukan otonomi
khusus, seperti Daerah Khusus Ibu Kota (DKI) Jakarta, Daerah Istimewa
Yogyakarta (DIY), Ace dan Papua. Status Otonomi Khusus bagi Papua melalui UU
Nomor 21 Tahun 2001 telah mengamanatkan: Pertama,
kebijakan dan aksi keberpihakan (affirmative
policy and action) terhadap orang asli Papua. Kedua, kebijakan dan aksi
perlindungan (protetive policy and action)
terhadap orang asli Papua. Ketiga, kebijkan dan aksi pemberdayaan (empowermental policy and action)
terhadap orang asli Papua.
Namun, dalam
implementasinya masih jauh dari harapan dan tujuan reformasi serta pemberlakuan otonomi daerah dan/atau otonomi
khusus. Hal senada juga dikemukakan oleh Taufik Abdullah, (1999:48) bahwa seruan
reformasi bukan saja memberi kesan seakan-akan menjadikan masalah “gawat
darurat” kurang penting, malah seperti dulu juga-telah pula mulai menaburkan
benih “dendam sejarah”. Sementara itu, suara dari kalangan DPR dan TNI memberi
kesan seakan-akan hanya tertarik pada faktor-faktor yang memungkinkan segala
penyimpangan itu terjadi.
Di Papua,
terlebih khusus di Kabupaten Paniai dalam memaknai amanat otsus tersebut memberikan
cerita yang berbeda. Perbedaan itu terletak pada manajemen birokrasi itu
sendiri yang sangat membingungkan sekaligus membosankan serta menjauhkan masyarakat
dari keberadaan pemerintah itu sendiri. Hal ini terjadi karena pemerintahan
yang ada di daerah ini telah membentuk monoloyalitas pemerintahan hingga
tercipta peluang terjadinya penyimpangan yang tentu mengorbankan kepentingan
masyarakat. Terjadinya penyimpangan dalam birokrasi di Paniai dapat terlihat
jelas dengan kualitas pelayanan publik yang diberikan oleh pemerintah di daerah
ini.
Masalah pelayanan
publik semua instansi di Paniai masih
sangat jauh dari harapan. Pelayanan yang diberikan kepada masyarakat selalu
disertai dengan istilah, seperti: Tunggu Bos, Uang Administrasi plus Tanda
Tangan, Ini Masa OTSUS dan sebagainya. Sementara dikalangan pemerintah saling
melayani antara Bawahan dan Atasan sedangkan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
(DPRD) sebagai mitra kerja pemda sangat mandul. Konteks tersebut dapat
dijelaskan secara singkat pada bagian berikut ini.
Istilah “Tunggu
Bos”
Istilah “TUNGGU
BOS” sudah tidak asing dalam berjalannya roda pemerintahan di Kabupaten Paniai.
Istilah ini diungkapkan ketika masyarakat membutukan pelayanan, misalnya
mengurus surat-surat, seperti Kartu Tanda Penduduk (KTP), Kartu Keluarga, Akta
Kelahiran dan sejenisnya selalu dikatakan TUNGGU BOS. Pertanyaan kemudian
adalah bosnya ke mana? Bukankah bos itu harus ada di kantor?
Kalau bos ada
urusan dinas keluar daerah, seharusnya memberikan kepercayaan kepada bawahan
supaya masyarakat yang membutukan pelayanan dari pemerintah mudah dapat
terlayani dengan baik. Akibatnya bawahan tidak memiliki pekerjaan di kantor
sehingga kerjaan mereka hanya hitung togel (tato gelap) di ruang kerja,
bercerita bahkan tidak masuk kantor. Hal ini terjadi mungkin karena tidak ada
kepercayaan antara atasan dan bawahan sehingga kepentingan pelayanan masyarakat
dapat dikorbankan dengan istilah TUNGGU BOS ini sehingga surat yang seharusnya
bisa jadi dalam sehari ini harus memakan waktu satu minggu bahkan dua atau tiga
minggu.
Seharusnya
pelayanan pemerintah kepada masyarakat dapat didahulukan sebagaimana tujuan
kehadiran pemerintah di tengah kehidupan masyarakat. Persoalan yang ada dalam
instansi atau dinas antara atasan dan bawahan tidak boleh mempengaruhi
kepentingan masyarakat. Oleh karena itu, persoalan apa pun yang mengganggu
pelayanan masyarakat harus dapat dicarikan solusinya.
Karena konteks
ini secara tidak langsung pemerintah menjauhkan diri dari keberadaan
masyarakat. Akibat dari pelayanan publik yang ambiguitas ini membentuk
pemahaman masyarakat yang sangat keliruh bahwa keberadaan pemerintah hanya
mempersulit kepentingan masyarakat. Seperti kalimat yang biasa diungkapkan oleh
kebanyakan masyarakat di Paniai sebagai ungkapan kekecewaan mereka bahwa “Tanpa Pemerintah Tong Bisa Hidup”.
Ungkapan seperti
itu memberikan gambaran kepada kita bahwa masyarakat sudah tidak peduli bahkan
menganggap pemerintah sudah tidak ada. Akhirnya aspirasi untuk menuntut hak
masyarakat yang menjadi kewajiban bagi pemerintah yang harus dipenuhi dibiarkan
begitu saja. Jangankan masyarakat awam, orang terpelajar terutama mahasiswa
saja tidak menjalankan fungsinya sebagai agent
of control social. Begitu juga Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) yang
memiliki tugas secara legal formal untuk mengontrol berjalannya rodah
pemerintahan saja tidak menjalankan dengan baik, bahkan selalu tutup mulut.
Akhirnya semua menjadi
serba bebas sehingga bisa mengatur berjalannya roda pemerintahan secara
sewenang-wenang. Aturan hukum yang berlaku untuk mengatur berjalannya dinamika
pemerintahan hanya sebagai formalitas yang tidak didukung oleh implementasi
yang baik. Konteks ini telah membudaya dalam berjalannya roda pemerintahan di
Paniai.
Istilah “Uang
Administrasi”
Ketika masyarakat
mengurus surat, seperti KTP, Kartu Keluarga, Akta Kelahiran dan sebagainya
selalu diminta uang untuk biaya administrasi. Uang untuk biaya administrasi ini
bisa dapat dimaklumi ketika biayanya masih bisa dijangkau oleh masyarakat,
karena surat-surat seperti di atas ini kebanyakan di urus oleh masyarakat.
Tetapi di Kabupaten Paniai, biaya administrasi paling kecil 50.000 sehingga kebanyakan
masyarakat mengelu dan mempertanyakan biaya administrasi yang mahal itu, namun para
petugas pemerintah (Pegawai) selalu menjawab istilah “Ini Masa Otsus” sehingga bebas
menentukan berapa besar biaya administrasi tersebut. Akhirnya, masyarakat
menganggap benar dan rela membayar karena mereka (masyarakat) membutukan
surat-surat tersebut hingga terbiasa.
Dalam situasi
tersebut, tidak ada orang yang berani mempertanyakan demi menegakan aturan yang
berlaku dalam berjalannya roda pemerintahan, terutama sektor pelayanan publik. Karena
telah lama terbiasa dengan situasi seperti itu sehingga butuh waktu yang cukup
lama untuk membongkar segala penyimpangan yang terjadi ini. Karena dalam hal
melakukan penyimpangan ini, didasarkan pada dinasti birokrasi yang dibangun
sehingga saling menutupi kesalahan atau penyimpangan yang terjadi dalam
pemerintahan itu sendiri.
Tidak ada tempat
bagi masyarakat untuk mengadu. DPRD yang dianggap bisa mendengar keluhan
masyarakat dan mengontrol berjalannya roda pemerintahan sudah tidak punya gigi
sehingga semua serba bebas. Akhirnya kebanyakan orang terbawa arus dengan
situasi tersebut.
Istilah “Ini
Masa OTSUS”
Istilah “Ini Masa
OTSUS” sering diungkapkan oleh pemerintah daerah Paniai. Istilah ini
diungkapkan ketika berhadapan dengan orang yang tahu tentang tugas pelayanan
pemerintah seperti hanya mengurus KTP atau surat lainnya harus dibilang tunggu
bos, minta uang administrasi, uang pengetikan, uang tanda tangan dan
sebagainya.
Ini seharusnya
tugas dan kewajiban pemerintah secara legal formal yang menjadi hak masyarakat yang
harus dipenuhi tetapi perlu tunggu bos, bayar uang ini, uang itu dan
sebagainya. Akhirnya istilah “Ini Masa Otsus” menjadi argumen yang tidak bisa
dibantah oleh siapa pun dan atas nama apa pun, seperti juga kasus pengangkatan
kepala kampung yang seharusnya dipilih oleh masyarakat di kampung yang
bersangkutan sesuai dengan amanat UU No.
6 Tahun 2014 tentang Desa dan juga yang disebutkan pada
Pasal 40 PP 43/2014 tentang Pemilihan Kepala Desa. Tetapi menjadi haknya Bupati untuk
mengangkat sejumlah kepala kampung ini. Tidak ada yang berkomentar, cukup hanya
dengan istilah “Ini Masa Otsus”. Tidak tahu, entah apa kepentingan di balik
itu.
Sekalipun orang
terpelajar mengetahui sekelumit penyimpangan yang berkaitan dengan pelayanan
pemerintah dengan beberapa istilah yang tidak masuk akal ini dalam berjalannya
roda pemerintahan tetapi karena telah terbiasa dengan sikap berdiam diri sehingga
membiarkan begitu saja. Bahkan ada yang terbawa arus dengan situasi yang ada.
Sementara dari dalam birokrasi tidak ada yang terpanggil dan tergerak hatinya
untuk membongkar segala penyimpangan yang terjadi dalam birokrasi tersebut
karena takut dicopot jabatannya. Dan juga karena birokrasi dibangun itu
bersifat dinasti (nepotisme) sehingga saling menutupi segala penyimpingan demi
kepentingan pribadi dan kelompoknya.
Istilah Ini Masa
OTSUS ini penulis tidak mengerti. Pemda mengartikan otsus itu seperti apa?
Apakah Pemda mengerti dan memahami isi dan amanat Otsus atau tidak? Berangkat
dari kedua pertanyaan di atas ini bahwa istilah Ini Masa Otsus diungkapkan
kepada masyarakat untuk menipu mereka berarti sangat tidak mendidik dan/atau
membodohi masyarakat, tetapi kalau diungkapkan kepada orang terpelajar yang mengerti
dan memahami isi dan amanat otsus maka sangat lucu bercampur sedih. Lucu karena
ungkapan seperti itu secara tidak langsung menunjukan sebuah bentuk kebodohan.
Dan sedih karena kapasitas pemerintah yang hanya mampu untuk membohongi masyarakat
yang memang pengetahuannya terbatas sehingga dianggap benar. Pada hal ungkapan
seperti itu telah mengorbankan masyarakat yang memiliki hak untuk dilayani yang
menjadi kewajiban bagi pemerintah daerah.
Monoloyalitas
Pemerintahan
Berangkat dari
uraian singkat pada beberapa istilah di atas ini telah memberikan gambaran
kepada kita bahwa pelayanan pemerintah kepada masyarakat tidak berjalan secara
optimal hingga membentuk monoloyalitas pemerintahan. Monoloyalitas pemerintahan
adalah setia pada satu orang atau penguasa. Atau dengan kata lain, bawahan layani atasan. Maunya atasan harus
dilayani oleh bawahan, sementara bawahan ada yang sangat loyal melayani atasan.
Dan ada juga melayani atasan karena takut gajinya dipotong dan/atau jabatannya
dicopot. Pelayanan yang tumpul ke bawa dan tajam ke atas ini telah dan sedang
membunuh karakter bawahan karena diperbudak berdasarkan otoritas sehingga mereka bekerja selalu
berpatokan pada kekuasaan dan kekayaan, bukan berpatokan pada tugas
pelayanannya.
Jabatan kepala
bidang dan seksi tidak ada gunanya di Paniai, apa lagi staf biasa karena mereka
tidak diberikan kepercayaan untuk menjalankan tugas di kantor, terutama
pelayanan publik. Keberadaan bawahan ini hanya sebagai manusia robot yang
digerakkan oleh atasannya. Karena itulah yang membuat bawaan ini kadang tidak
masuk kantor, mereka yang datang di kantor pun
karena tidak ada kerjaan, hitung togel di ruang kerja, duduk berkelompok
lalu bercerita dan ada pulang setelah satu jam di kantor. Di sinilah berlakunya
istilah tunggu bos sebagaimana di uraikan di atas ini.
Dalam konteks
tersebut, masyarakat semakin menjauh dari pemerintah, sementara pemerintah
tidak merasa memiliki tugas dan tanggungjawab sedikit pun untuk melayani
masyarakat, membina kehidupan demokrasi lokal dan sebagainya sehingga bisa
diatur sekehendak hatinya berdasarkan istilah ini MASA OTSUS ini.
Segala
penyimpangan yang terjadi itu, sekalipun diketahui oleh masyarakat namun tidak
dipersoalkan bahkan legislatif yang mengawasi dan mengontrol berjalannya roda
pemerintahan selalu tutup mulut karena kapasitasnya terbatas. Masyarakat
semakin bingung dan bertanya yang mengontrol dan yang dikontrol siapa? Akhirnya
semua kalangan pun terbawa arus dengan situasi tersebut hingga terbiasa.
DPRD Mandul
Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah (DPRD) merupakan pemegang kekuasaan
legislatif (pembuat UU, Perda atau legislasi) dan posisinya
terpisah dari eksekutif. DPRD menjalankan paran dan fungsi kontrol kepada pemerintah atas pelaksanaan UU/Perda, bahkan bisa menjatuhkan pimpinan daerah (empeachment atau mosi tidak percaya). Bisa terjadi
masalah atau persoalan dalam roda pemerintahan, jika parlemen tidak menjalankan fungsinya dalam rangka check and balances (keseimbangan).
Oleh karena itu, agar roda pemerintahan dapat
berjalan dengan baik, maka fungsi DPRD terutama kontrol roda pemda harus dapat
dimaknai secara baik.
Begitu juga
dengan DPRD Kabupaten Paniai, harus mengemban fungsi sebagaimana diuraikan di
atas ini. Namun, realitasnya kata DPRD ini terdengar hanya pada saat kampanye
politik bersama sejuta janji manis demi merebut dukungan suara dari masyarakat.
Setelah pemilihan dan menduduki kursi legislatif, mereka (DPRD) hilang jejak
(makan di mana, tidur di mana dan tinggal di mana), apa lagi menjalankan tugas
dan fungsinya, terutama fungsi kontrol kepada pemerintah.
Tidak berjalannya
fungsi kontrol kepada pemerintah ini, penulis melihat dari dua sisi yang
berbeda. Pertama, karena DPRD tidak memiliki kapasitas dalam menjalankan
fungsinya; kedua, DPRD karakter uang sehingga fungsi kontrol dimatikan dengan Uang
Tutup Mulut. Konteks ini memberikan gambaran kepada kita bahwa DPRD dan
pemerintah saling menguntungkan sehingga masyarakat menjadi korban dengan
beberapa istilah bodoh sebagaimana di uraikan di atas ini.
Namun, kesalahan
bagi masyarakat dalam hal tidak berjalannya fungsi DPRD ini adalah tidak
selektif dalam memilih wakil mereka. Karena perilaku memilih masyarakat juga ikut menentukan terbentuknya parlemen
yang berkualitas dalam menjalankan fungsinya. Tetapi di sisi lain, masyarakat juga telah
dibiasakan dengan praktek money politic
(politik uang) dari elit politik lokal sehingga sulit bagi masyarakat untuk
memilih DPRD yang berkualitas. Dalam konteks tersebut pemahaman dan pendidikan
politik bagi masyarakat sangat diharapkan agar kedepan masyarakat tidak salah
memilih wakil mereka.
Kesimpulan dan
Refleksi
Berangkat dari
berbagai penyimpangan dalam berjalannya roda pemerintahan di Kabupaten Paniai,
sebagaimana di uraikan secara singkat di atas ini dapat ditarik kesimpulan
bahwa pemerintah dan DPRD saling menguntungkan, sementara masyarakat
dikorbankan. Segala penyimpangan terus terjadi begitu saja hingga akhirnya
masyarakat pun terbiasa dengan situasi tersebut. Dalam konteks tersebut, tidak
ada orang yang berani membongkar segala penyimpangan tersebut.
Situasi ini masih
sangat jauh dari tujuan kehadiran pemerintah, seruan reformasi dan juga tujuan
pemberlakuan desentralisasi, otonomi daerah serta otonomi khusus bagi Papua.
Masa Otsus itu oleh pemerintah daerah
Paniai memaknai sebagai kesempatan untuk melakukan penyimpangan secara
sewenang-wenang. Akankah kita merubah situasi ini? Beranikah kita membongkar
segala bentuk penyimpangan ini? Kalau mau berubah dan berani, kapan kita
memiliki keberanian dan melakukan perubahan ke arah yang lebih baik? Atau kita
membiarkan begitu saja dan menanti datangnya perubahan dari TUHAN?
Setidaknya
beberapa pertanyaan di atas ini menjadi bahan refleksi buat kita bersama,
terutama bagi masyarakat di daerah mana pun yang turut korban dalam segala
penyimpangan yang terjadi dalam berjalannya roda pemerintahan. Sebagai
masyarakat yang dikorbankan, perlu mendiskusikan segala penyimpangan tersebut
untuk membangun pemahaman bersama agar kedepan bisa mengontrol kepada
pemerintah demi terciptanya perubahan ke arah yang lebih baik.
Tidak ada komentar: