(Sumber gambar: google.com) |
Oleh:
Mikael Tekege
Masyarakat
bangsa Papua telah lama hidup dalam penindasan dan penderitaan akibat
kepentingan ekonomi politik dan kekuasaan negara Indonesia sejak tahun 1960-an
hingga kini (2016). Rakyat Papua berjuang sekuat tenaga bersama tetesan darah
dan air mata demi memperoleh sebuah kebebasan di atas negerinya. Dalam
perjuangan itu pun tentu banyak korban berjatuhan, baik laki-laki mapun
perempuan serta tuah dan yang muda. Banyak anak hidup tanpa kasih sayang orang
tuahnya, banyak ibu hidup tanpa suami juga sebaliknya kerena mereka telah
dibunuh oleh militer Indonesia.
Masyarakat
Papua yang berjuang untuk memperoleh sebuah kebebasan dianggap sebagai musuh
negara yang perlu disingkirkan. Namun, semua itu tidak membendung semangat
juang mereka hingga kini mulai disuarakan oleh masyarakat Internasional. Rakyat
Papua tentu mempunyai dasar perjuangan yang membuat mereka yakin dan percaya
agar kelak mereka memiliki sebuah kebebasan dan menentukan nasib masa depannya
sendiri di atas tanah leluhur mereka. Untuk itu, pada tulisan ini akan dibahas
sekilas tentang sejarah Papua, perjuangan dan pengorbanan rakyat Papua di
Indonesia, Internasional dan terakhir apa tanggapan atau jawaban Indonesia.
Sekilas Sejarah Papua[1]
Pada
bagian ini, diuraikan secara singkat soal peristiwa-peristiwa penting dalam
sejarah perjuangan rakyat bangsa Papua sejak tahun 1960-an, yakni: tanggal 1
Desember 1961, tanggal 19 Desember 1961, tanggal 15 Agustus 1962, 30 September
1962, 1 Mei 1963, dan tahun 1969.
Tanggal
1 Desember 1961 rakyat Papua Barat mendeklarasikan kemerdekaan sebagai sebuah
negara yang berdaulat secara politik. yakni Bendera Bintang Kejora, Semboyan “one people one soul”, Lambang Negara
Burung Mambruk, dan bentuk Negara Republik West Papua dan lagu kebangsaan Hai
Tanahku Papua.
Tangggal
19 Desember1961, Presiden Indonesia,Ir. Soekarno menanggapi kemerdekaan Papua
Barat ini dengan mengeluarkan Tiga Komando Rakyat (Trikora) di Alun-alun utara
Yogyakarta yang isinya adalah sebagai berikut: pertama, Gagalkan pembentukan
negara boneka Papua buatan kolonial Belanda; kedua, Kibarkan Sang Saka Merah
Putih di seluruh Irian Barat; dan ketiga, Bersiaplah untuk mebilisasi umum,
mempertahankan kemerdekaan kesatuan tanah air dan bangsa.
Tanggal
15 Agustus 1962 New York Agreement.
Inti dalam perjanjian New York
pemerintah Belanda tidak berkuasa di Irian Barat. Kekuasaan Irian Barat
berada dibawah kekuasaan UNTEA tertanggal 1 Oktober 1962 sampai dengan 1 Mei
1963 (selama 6 bulan). Kemudian posisi Belanda akan digantikan dengan
pemerintah Indonesia dalam rangka membangun sumber daya manusia, pembangunan
fisik dan lain-lain.
Tanggal
30 September 1962, Roma Agreement.
Perjanjian ini, ditandatagani oleh Amerika, Indonesia, Belanda yang
disutradarai oleh Soebandrio (Mentri Luar Negeri Indonesia saat itu). Isi Perjanjian Roma (Roma Agreement) sangat kontroversial (bertentangan) dengan
isi perjanjian New York Agreement
tahun 1962, bahkan sangat bertentangan denga hukum Internasional.
Tanggal 1 Mei 1963, sebelum pelaksanaan PEPERA 1969,
tanggal 1 Mei 1963 penyerahan tanah
Papua secara administrasi dari Unite
National Temporery Ecsecutive
Autority (UNTEA) kepada Indonesia sudah dilaksnakan. Pada bulan Februari
1963 Sekretaris Jenderal U. Thant
mengirimkan C.V Narasimhan utusan khusus ke Jakarta dan Jayapura. Dalam sebuah
resepsi di Jayapura pada tanggal 10 Februari 1963 C.V Narasimhan menyatakan
sebuah pesan yang berisi janji dan jaminan penyerahaan seluruh pemerintahan di
Irian Barat kepada Indonesia mulai tanggal 1 Mei 1963 pukul 12.30 Siang.
Tahun
1969 dilaksanakan Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) yang penuh deskriminasi
dan manipulasi. Pemerintah Indonesia tidak bertindak sesuai dengan amanat
perjanjian New York pada pasal 14-21. Pemerintah Indonesia sibuk untuk
memenangkan PEPERA 1969 dengan melakukan berbagai teror, intimidasi penangkapan kekerasan,
pembunuhan dan manipulasi sosial politik terhadap Rakyat Papua yang memperthankan kemerdekaan
Papua. Hingga kini, Rakyat Papua
mengatakan bahwa PEPERA 1969 cacat hukum
dan cacat moral[2]. Kemenagnan PEPERA 1969 adalah hasil rekayasa
Politik oleh militer Indonesia terutama melalui Opsus (Operasi Khusus) yang
diketuai oleh Ali Murtopo.
Perjuangan Papua di Indonesia
Indonesia
mengklaim bahwa persoalan Papua telah usai sejak dilaksanakannya PEPERA pada
tahun 1969. Sementara rakyat Papua mengatakan bahwa pelaksanaan PEPERA penuh
dengan deskriminasi manipulasi yang sangat tidak sesuai dengan hukum
Internasional karena sebelum dilaksanakan PEPERA, sejak 1 Mei 1963, Indonesia
melalui militer telah melancarkan pembunuhan, penculikan, pemenjarahan dan
pemerkosaan terhadap orang asli Papua melalui berbagai macam operasi, terutama
Ocperasi Khusus (Opsus) yang diketuai oleh Ali Moertopo dengan kalimat
populernya: “Indonesia tidak menginginkan
orang Papua, Indonesia hanya menginginkan tanah dan sumber daya alam yang
terdapat di pulau Papua. Kalau orang Papua ingin merdeka, silahkan cari pulau
lain di Pasifik untuk merdeka, atau meminta orang Amerika untuk menyediakan
tempat di bulan untuk orang-orang Papua menempati disana”[3].
Meskipun
demikian, rakyat Papua terus berjuang bersama tetesan darah dan air mata, baik
di kota-kota di Indonesia maupun di tengah hutan belantara Papua. Begitu
kejamnya rezim tangan besi (Soeharto) memperlakukan rakyat Papua dan juga
rakyat Indonesia pada umumnya seperti manusia setengah binatang, tetapi
kekejaman itu ternyata memberikan kesadaran kepada rakyat Indonesia terutama
mahasiswa sehingga Soeharto berhasil dilengserkan dan Indonesia memasuki era
baru (reformasi) untuk memperbaiki segala bentuk penyimpangan yang terjadi
dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa.
Rakyat
Indonesia terutama rakyat Papua merasa telah keluar dari penjara. Rakyat Papua
mulai bangkit memperjuangkan dan bersuara mengenai hak politiknya yang telah
dideskriminasi demi kepentingan kekuasaan dan ekonomi politik Indonesia dan
Amerika Serikat. Rakyat Papua yang ditindas ini membentangkan bendara Bintang
Kejora hampir semua kota di Indonesia. Mereka (rakyat Papua) memiliki harapan
dan keyakinan untuk memperoleh sebuah kemerdekaan yang telah lama diperjuangkan
bersama tetesan darah dan air mata dalam waktu yang dekat.
Namun,
ternyata salah. Indonesia masih rindu pada suasana hidup yang telah menjadi
almarhum sejak lengsernya resim Soeharto. Indonesia melalui militer telah dan
sedang menaburkan benih-benih dendam sejarah dalam kehidupan bermasyarakat dan
berbangsa, terutama dalam kehidupan masyarakat Papua. Masyarakat Papua hidup dalam
berbagai macam persoalan fisik maupun non-fisik yang mengorbankan harta benda
bahkan nyawa masyarakat Papua. Orang Papua yang mengemukakan Pandangan
politiknya dianggap sebagai musuh negara yang harus di penjarah, disiksa dan
dibunuh serta diculik.
Tetapi
semua persoalan itu, tidak mampu menghilangkan Ideologi perjuangan Papua
Merdeka yang telah tertanam dalam hati rakyat Papua, bahkan semua persoalan
terkesan memberikan semangat atau motivasi kepada rakyat Papua, terutama
generasi muda Papua untuk berjuang dan terus berjuang sekalipun nyawa menjadi
taruhannya hingga kini persoalan Papua mulai disuarakan oleh masyarakat
Internasional.
Perjuangan Papua di Internasional
Sebagaimana
ditulis di atas bahwa di Papua terjadi banyak persoalan yang mengorbankan harta
benda bahkan nyawa rakyat kecil. Segala bentuk persoalan itu selalu dan selalu
mengorbankan masyarakat kecil dan masyarakat kecil selalu berada pada posisi
yang salah di mata hukum yang penegakannya bersifat transaksional dan selalu
tumpul ke bawah dan tajam ke atas. Rakyat Papua yang selalu di tindas demi kepentingan
ekonomi politik Indonesia ini selalu berusaha dan berjuang sekuat tenaga
bersama tetesan darah dan air mata agar dapat diketahui masyarakat
internasional supaya dapat didengar dan disuarakan agar masyarakat Papua keluar
dari penindasan dan penderitaan ini.
Perjuangan
dan pengorbanan ini dilakukan sejak awal terjadinya malahpetaka dalam kehidupan
orang Papua (1960-an). Namun, tangisan dan suara mereka tak memberikan makna
dalam perjuangannya karena mereka bersuara dan menuntut kepada pelaku
(Indonesia) yang tentunya tidak mungkin mengakui kalau dirinya adalah pelaku
yang harus bertanggungjawab. Oleh karena itu, perjuangan rakyat Papua bukan lagi
berseru ke Jakarta, tetapi di luar negeri, terutama di Pasifik.
Negara-negara
kepulauan di Pasifik yang tergabung dalam Melanesian Spearhead Groups
(MSG) telah mendorong semua faksi perjuangan Papua merdeka untuk membentuk
sebuah organisasi payung yang bisa mempersatukan. MSG adalah sebuah forum regional berbasis manusia dan
kebudayaan Melanesia dan memainkan peran untuk kepentingan Melanesia.
Oleh
karena itu, orang Papua pun berusaha bergabung dalam forum
MSG ini. Perjuangan dan proses menuju MSG mendapat dukungan dari berbagai pihak
secara institusi, terutama Vanuatu, Dewan Gereja Pasifik, MSG, dan juga PNG
seperti yang dikatakan oleh Octo Mote bahwa proses
rekonsiliasi penyatuan dan pembentukan organisasi payung itu difasilitasi Dewan
Gereja Pasifik atau The Pacific Conference of Churches (PCC). Lalu pemerintah
Vanuatu mengeluarkan biaya dan karena ini didukung oleh MSG, tentu saja PNG
berusaha untuk membantu formasi hingga dibentuk United Liberation Movement for
West Papua (ULMWP). Lalu ketika kita united
kami langsung melamar di MSG pada 5 Februari 2015[4].
Indonesia pun tidak tinggal diam,
berusaha membendung perjuangan rakyat Papua di Pasifik Selatan melalui
pendekatan politik. Dengan melihat forum MSG yang memperjuangkan kepentingan
manusia ras Melanesia, maka Indonesia pun berpikir harus masuk dalam forum itu
melalui pintu ke-Melanesia-an itu sendiri. Dengan demikian, tidak heran Indonesia
mulai melakukan pemetaan kelompok-kelompok Melanesia di Indonesia dan akhirnya
mengklaim ada di lima Provinsi Melanesia di Indonesia dengan populasi 11 juta
dan angka itu dinyatakan melebihi penduduk di seluruh wilayah Melanesia[5].
Dengan dasar argumentasi itu, dibentuk kelompok Melindo (Melanesia Indonesia)
dan didaftarkan menjadi anggota di forum regional ini dengan status asosiasi.
Sekali lagi bahwa kelompok Melanesia
Indonesia (Melindo) ini dibentuk dan didaftarkian di MSG untuk menekan
perjuangan rakyat Papua yang direpresentasi ULMWP. Namun, realitas membuktikan
bahwa Indonesia tidak mampu mempengaruhi para pimpinan negara-negara Pasifik
yang tergabung dalam forum regional itu, sebagaimana dikatakan oleh Sekertaris
Jendral (Sekjen) ULMWP, Octo Mote, bahwa kami
selalu bilang bahwa kamu datang di tempat yang kami sudah bikin kebun. Kami
sekarang ibarat pohon kelapa yang kuat. Kami sudah tanam dari tahun 1960an
hingga sampai saat ini. Perjuangan kami yang juga bagian dari Pasifik itu sudah
sejak zaman Belanda. Kalau Indonesia mau jualan dan beritahu ke mereka bahwa
Papua itu Indonesia, omong kosong. Untuk Pasifik, Indonesia tidak akan mampu
pengaruhi mereka.
Memang benar, karena dukungan
terhadap politik kemerdekaan Papua makin luas di Papua maupun di tingkat
regional dan internasional. Masyarakat akar rumput dan pemerintah negara-negara
Melanesia menyatakan dukungannya dan mendorong pemerintah mereka untuk menerima
ULMWP menjadi anggota penuh di MSG. Bahkan para pimpinan negara-negara Pasifik
ini membawa dan membicarakan persoalan Papua dalam sidang Umum Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB) di New York, Amerika Serikat yang berlangsung sejak 16
hingga 25 September 2016. Para pimpinan ini mengemukakan kekhawatiran mereka
akan kepunahan manusia Papua yang telah dan sedang hidup penindasan dan
penderitaan di atas negeri leluhur mereka. Para pimpinan ini juga khawatir
dengan adanya banyak dugaan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di Papua yang
telah dan sedang disembunyikan oleh pemerintah kolonial Indonesia. Sehingga
mereka memintah Indonesia untuk mengijinkan Pelapor Khusus PBB ke
Papua agar dapat mengetahui secara langsung.
Urusan Dalam Negeri?
Namun,
Indonesia membantah dugaan pelanggaran HAM yang terjadi di Papua. Bantahan
Indonesia jelas tidak memiliki alasan yang kuat dan tak berdasar. Argumen
bantahan hanya berkisar pada soal urusan dalam negeri Indonesia yang tidak
boleh dicampur tangan oleh para pimpinan negara-negara Pasifik. Argumen
Indonesia tidak berkisar pada suatu bukti yang menunjukkan masyarakat Papua
telah dan sedang hidup dalam suasana adil dan damai untuk membantah pernyataan
para pimpinan negara-negara Pasifik itu. Alasan urusan dalam negeri yang
dikemukakan oleh perwakilan Indonesia di Sidang Umum PBB maupun para petinggi
negara Indonesia ini sangat tidak logis sekaligus sangat lucu karena Indonesia
telah menunjukkan ketidakmampuan dan/atau kehilangan akal dalam menyelesaikan
persoalan politik Papua sejak tahun 1960-an hingga kini (2016).
Kalau seperti
ini, bagaimana bisa mengganggap masalah Papua sebagai urusan dalam negeri? Jika
dianggap urusan dalam negeri, maka tinggal hitung hari untuk kepunahan orang
Papua. Setidaknya kita dapat memahami apa maksud dan tujuan dibalik argumen
“urusan dalam negeri ini”. Indonesia tidak sadar bahwa negara-negara Pasifik
itu menyoroti karena ada masalah yang tidak mampu diselesaikannya sehingga
perlu kehadiran pihak ketiga, sebagaimana dikatakan oleh Utusan Khusus Kepulauan Solomon untuk Papua
Barat Rex Horoi kepada Majelis Umum PBB bahwa Indonesia harus mengijinkan Pelapor Khusus PBB ke provinsi tersebut
jika ingin membuktikan bahwa kekhawatiran Pasifik tidak benar[6].
***
Dunia
saat ini sedang membuka mata untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi di Papua. Dunia saat ini, sedang memasang telinga untuk
mendengar tangisan dan harapan rakyat Papua yang ditindas oleh mesin kolonial.
Pembohongan publik melalui media cetak maupun media elektronik demi pencitraan
Indonesia di mata masyarakat Internasional sudah tidak ada tempatnya. Sekarang
dan/atau saat ini, dunia ingin mengetahui yang sebenarnya tentang persoalan
politik Papua. Bukan lagi berbicara dan memberitakan soal kelompok-kelompok
bentukan negara Indonesia menyatakan kembali ke pangkuan Indonesia, bukan juga
berbicara soal kami (Indonesia) sedang membangun Papua dengan baik, bukan juga
berbicara dan memberitakan soal kunjungan Jokowi ke Papua dan bukan pula
berbicara soal Papua sudah diberikan Otonomi Khusus (Otsus) dan sebagainya.
Begitu
juga, argumen urusan dalam negeri bukanlah menjadi sebuah alasan yang
membuktikan dan/atau menunjukkan sebuah bukti bahwa orang Papua sedang hidup dalam suasana adil dan
damai. Indonesia dituntut untuk memberikan argumen mendasar yang disertai
dengan data dan bukti yang jelas agar persoalan politik Papua bisa dianggap
sebagai urusan dalam negeri yang tidak perlu ikut campur pihak lain, terutama
negara-negara Pasifik. Apakah Indonesia menerima tawaran dari Rex Horoi?
Ataukah ada strategi lain yang mampu menunjukkan orang Papua baik-baik saja?
Kami
menanti kabarnya.
[1] Dogomo Agustinus, (2014),
DINAMIKA OTONOMI KHUSUS PROVINSI PAPUA (Tinjauan
Pustaka dari Aspek Politik, Demokrasi dan Hak Asasi Manusia): Skripsi di
SEKOLAH TINGGI PEMBANGUNAN MASYARAKAT DESA “APMD”
YOGYAKARTA
[2] .
Agus Alua.Op.cit. hlm, 53-54
[4] Harian
Indoprogress , 8
September 2016 ), Octovianus Mote: Pemerintah Indonesia itu Penjajah Bagi Orang Papua
[6]
http://tabloidjubi.com/artikel-501-jika-tuduhan-pasifik-keliru-indonesia-diminta-menerima-kunjungan-pelapor-khusus-pbb-ke-papua.html
Tidak ada komentar: