(Labora Sitorus, google.com) |
Labora,
misalnya, bisa mendapat penghargaan sebagai polisi “terbanyak” pengawalnya;
polisi level bintara ke bawah “tergendut” rekeningnya (kalau untuk pangkat
lebih tinggi kemungkinan ia “kalah”) atau juga polisi “terlama” yang tetap
menerima kendati tak perna masuk kantor.
Pekan-pekan
ini, jika aparat hukum masih tidak mampu mengeksekusi pria yang sudah divonis 15 tahun penjara oleh
Mahkamah Agung itu, rekor lain bisa ditambahkan: polisi “tersulit” dieksekusi.
Sejak awal Januari lalu, kepolisian dan kejaksaan terus berapat mencar jalan
“menaklukkan” Labora. Hasilnya kita tahu eksekusi itu tak perna terjadi.
Kepada
majalah Tempo, dalam wawancaranya di rumahnya, di kawasan Tampa Garam, Sorong,
Labora menyatakan masih menerima gaji. Dikediamannya, yang siapa pun aparat
hukum disana pasti tahu, ia hidup “bebas merdeka”. Labora leyeh-leyeh mengawasi
500-an karyawannya yang sekaligus merangkap pengawalnya bekerja di pabrik kayunya
yang luas. Ia menyebut aparat kejaksaan dan kepolisian kerap datang ke
rumahnya. Padahal selama ini petinggi dua lembaga itu menyatakan tengah mencari
Labora.
Hukum
memang seperti dibawah ketiak Labora. Dan itu ditunjukkan Labora sejak awal.
Sejak ia ditetapkan sebagai tersangka, saat diadili, hingga ditahan. Bagaimana
mungkin ada tahanan yang mendapat izin berobat ternyata tidak balik ke penjara,
pulang ke rumah, dan pemberi izin (kepala lembaga pemasyarakatan) membiarkannya
berbulan-bulan? Bagaimana mungkin seorang tersangka yang sudah mendapat vonis
berkekuatan hukum berani melakukan perlawanan terang-terangan dan aparat hukum,
kejaksaan serta kepolisian, seperti tak berkutik?
Jika
Labora berani melakukan itu, tentu karena ia memiliki banyak hal yang bisa ia
pegang sebagai “kartu truf”. Dan ketika kartu truf itu ternyata ia tahu tak
mempan, maka yang terjadi adalah kemarahan. Satu-satunya cara untuk itu, pada
akhirnya mengerahkan mereka yang bergantung piring nasinya terhadap dirinya:
para pekerjanya.
Sejak
awal kita melihat Labora dibiarkan “bermain” dan para atasannya membiarkan
sepanjang dia “bermanfaat” dan bisa dimanfaatkan. Sebagai polisi Labora bisa
berpekan-pekan tidak masuk dan lebih banyak mengurus kayu dan bisnis minyaknya
ketimbang duduk di kursinya di Kepolisian Resor Raja Ampat. Ia tidak mendapat
sanksi karena ia menjelma menjadi “ATM”. Saat semua kejahatannya terbongkar dan
ia melihat semua yang dibantunya lepas tangan lalu lolos dari hukum-sementara
ia sudah membeberkan siapa saja penerima upetinya-sejak itulah ia melawan.
Itulah yang dilakukan Labora sekarang.
Bagaimanapun,
Labora harus masuk penjara. Jika pekan-pekan ini Kepala Kejaksaan Tinggi dan
Kepala Kepolisian Papua Barat tak bisa juga menangkap Labora, keduanya lebih
baik meletakkan jabatan. Kejaksaan Agung dan Polri bisa membuat sayembara:
menantang siapa jaksa dan polisi yang berani mengambil Labora dari rumahnya dan
menentangnya ke Jakarta. Ya, Labora,
polisi “ajaib” ini tak boleh dibiarkan dalam tahanan manapun di Sorong.
Penulis: Lestantya R.
Baskoro. Wartawan Tempo.
Opini
ini dimuat di koran tempo harian, Senin 16 Februari 2015 dihalaman pendapat.
Tidak ada komentar: