Afrika dan Perbudakan Modern


Ipou Igo'n

“analisis kepentingan dibalik penyebaran virus AIDS dan Ebola yang telah, sedang dan akan menelan korban jiwa tak terkirakan jumlahnya tanpa memandang suku, ras, bangsa dan unsur sosial lainnya ”

                                                               Pengantar

(Benua Afrika, www.google.com)
Perkembangan peradaban manusia seluruh dunia telah mencapai pada tahap kemajuan yang sangat modern. Namun, konteks tersebut tidak dirasakan oleh sebagian bangsa yang ada di planet bumi ini  diakibatkan oleh perkembangan kemajuan yang didasarkan atas dominasi bangsa  yang lebih maju terhadap bangsa yang masih berada dalam tahap komunal primitif. Bangsa yang telah maju lebih dahulu melakukan berbagai macam hal dengan misi tertentu secara subjektif maupun secara objektif. Secara subjektif, melakukan sesuatu hal dalam kehidupan bangsa yang belum maju untuk mencari nama atau menambah status dalam kehidupan sosial dan kegiatannya pun selalu diarahkan sesuai dengan kemauannya berdasarkan doktrin tertentu tanpa memperhatikan eksistensi bangsa setempat. Sementara secara objektif, bangsa yang maju melakukan segala sesuatu atas bangsa lain yang belum maju untuk mendorong dan memotivasi agar dapat sejajar dengan bangsa yang maju, sekalipun dipandang sebagai sebuah upaya untuk membangun hegemoni kekuasaan.

Perkembangan dan kemajuan bangsa-bangsa di seluruh dunia ini juga tak berjalan mulus. Persoalan dan hambatan serta pergolakan, pemberontakan bahkan peperangan telah menjadi hal paling fundamental yang terintegrasi didalamnya. Berjuta-juta manusia dan harta benda  tak luput korban dari kemajuan ini, baik itu diakibatkan oleh penyebaran misi religius, kekuasaan dan kepentingan ekonomi politik. Dalam konteks tersebut, bangsa yang belum maju berada pada posisi yang strategis untuk melampiaskan nafsu kepentingan bangsa yang maju. Harta kekayaan dikuras habis-habisan, pemiliknya dibantai habis-habisan pula bahkan dijadikan sebagai budak yang harkat dan martabatnya tak melebihi dari seekor hewan. Semua kejahatan itu pada tahap selanjutnya diperbaharui dalam metode baru berdasarkan perkembangan zaman, sekalipun telah dinyatakan segala macam kejahatan harus diakhiri dan menghargai harkat dan martabat semua bangsa dibelahan bumi ini. Realitas membuktikan bahwa kata “menghargai” menjadi busa pidato bagi para pelaku.

Kini manusia mencapai pada titik dimana segala galanya dapat dilakukan atau mampu menyaingi Sang pencipta alam semesta yang begitu luas ini sehingga tiada seorang pun yang berusaha merendahkan diri, sekalipun ada mungkin hanya satu persen (1%) dari sekian juta miliar manusia dibelahan bumi ini. Bangsa yang telah mengalami atau perna berada dan hidup dalam kenyataan pahit pada masa lalu masih dikendalikan oleh bangsa yang telah maju, sekalipun hidup dalam satu negara yang dibentuknya. Berbagai macam stigma maupun virus yang diciptakan oleh para ilmuwan demi kepentingan tertentu selalu dialamatkan kepada bangsa yang berada dalam segudang persoalan ini. Stigma maupun virus atau penyakit yang diciptakan itu bukan saja hanya untuk mendapatkan keuntungan tetapi juga membawa korban jiwa yang tak terkirakan jumlahnya di seluruh belahan bumi.

Menarik bila kita menyimak Film berjudul “Dawn Of The Planet Of The Apes”. Film itu menceritakan bagaimana para ilmuwan menciptakan virus dan Kera dijadikan sebagai uji coba virus tersebut. Kemudian disuntikkan kedalam tubuh manusia, sementara para pelaku (Ilmuwan) membuat opini bahwa virus tersebut berasal dari Kera. Semua orang yang telah terinveksi maupun belum terinveksi menganggap bahwa virus itu berasal dari Kera yang dijadikan sebagai uji coba oleh para ilmuwan tersebut. Semua orang benci dengan kaum Kera yang dianggap sebagai sumber virusnya hingga terjadi peperangan antara kaum Kera dengan manusia hingga memakan korban jiwa yang tak terkirahkan jumlahnya.

Jika kau mengalami demam, batuk atau sakit tenggorokan, tetaplah berada di rumah. Ada kemungkinan 95% ini virus buatan, diproduksi di laboratorium. Sumber virus telah dilacak, berasal dari pengujian di laboratorium Gen-SYS di San Fransisco. Teknisi Lab yang sekarang dikenal sebagai pasien NOL. Secara tak sengaja melepaskan Retro Virus Alz-113. Obat percobaan penangkal Alzheimer yang diujicobakan pada Simpanse. Simpanse yang terinveksi menunjukkan tanda gusar dan agresif dan membuat mereka kabur dari fasilitas.

Insiden terkenal yang terjadi di jembatan Golden Cate, kekacauan selama enam jam melawan polisi berakhir dengan menghilangnya para kera kedalam hutan Muir. UGD dipenuhi pasien yang menunjukkan tanda-tanda atas penyakit yang disebut “Flu Simian”. CDC memperkirakan jumlah korban tewas mulai dari 5 juta sampai 150 juta jiwa. Akibat penyakit ini, keluarga menjadi terpecah-pecah, pencegahan ini tak bisa dihindarkan. “Itu virus yang diciptakan oleh ilmuan di laboratorium. Para Kera dijadikan sebagai uji coba, tak memiliki pilihan lain”, demikian kutipan kalimat awal dari Film berjudul “Dawn Of The Planet Of The Apes”. Sekarang, bagaimana dengan virus (penyakit) AIDS dan E-bola?

Penyakit AIDS

Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) adalah penyakit yang menyerang  kekebalan tubuh manusia dalam waktu tertentu, hingga saat ini tidak ada obat yang mampu menyembuhkan virus ini. Berbagai kalangan berusaha menyelidiki dari mana sumber penyakit  yang paling mematikan ini, dan kemudian dapat dipastikan bahwa AIDS berasal dari benua Afrika. Para ilmuwan umumnya berpendapat bahwa AIDS berasal dari Afrika Sub-Sahara. Kini AIDS telah menjadi wabah penyakit. AIDS diperkiraan telah menginfeksi 38,6 juta orang di seluruh dunia. Pada Januari 2006, UNAIDS bekerja sama dengan WHO memperkirakan bahwa AIDS telah menyebabkan kematian lebih dari 25 juta orang sejak pertama kali diakui pada tanggal 5 Juni 1981. Dengan demikian, penyakit ini merupakan salah satu wabah paling mematikan dalam sejarah, (wikipedia.org/wiki/AIDS). Sepertiga dari jumlah kematian ini terjadi di Afrika Sub-Sahara, sehingga memperlambat pertumbuhan ekonomi dan menghancurkan kekuatan sumber daya manusia di sana. 

Penyakit AIDS  ini telah, sedang dan akan memakan korban nyawa manusia yang tak sedikit jumlahnya. Media massa, baik cetak maupun elektronik  berada posisi sangat signifikan dalam menyebarkan informasi dari mana sumber penyakit AIDS dan berapa jumlah korban dari penyakit tersebut. Dalam konteks tersebut, semua mata ditujukan kepada benua kulit hitam ini dan tak sedikit kutukan rasial pun  yang datang dari berbagai penjuru bumi sebagai sebuah usaha untuk menghadirkan suasana nasib hidup orang benua Afrika pada masa lalu  (perbudakan) dalam  metode atau gaya baru. Persoalan penyakit ini tidak ada kata akhir hingga saat ini dan terus memakan korban jiwa. Siapa yang bertanggungjawab atas Virus mematikan ini? entahlah.....!!!

Penyakit Ebola

Kini muncul lagi satu penyakit yang masih hangat dibicarakan disuluruh belahan bumi adalah penyakit atau virus E-bola. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), lebih dari 1.600 orang di Guinea, Liberia, dan Sierra Leone telah terinfeksi virus ebola. Ini merupakan wabah terbesar sepanjang sejarah. Lebih dari setengahnya telah meninggal. Di beberapa daerah di Afrika Selatan, ada kepercayaan bahwa ketika seseorang menyebut kata "ebola" dengan keras, maka seketika itu juga virus tersebut muncul. Kepercayaan ini menyebabkan para dokter, seperti Doctors Without Borders, sulit memeranginya (Kompas/7/8/14,). Bahkan, sebagian anggota masyarakat menyalahkan dokter sebagai pihak yang menyebarkan virus. Mereka yang terinfeksi memilih pergi ke dukun untuk mendapatkan pengobatan. Sikap skeptis mereka bukan tanpa sebab. Pada masa lalu, pekerja rumah sakit yang tidak berhati-hati malah menjadi agen penyebaran virus tersebut. Meskipun telah diketahui agen penyebaran virus tersebut tetapi tidak diproses hukum untuk mengetahui siapa sebenarnya otak dibalik virus ini. Hal ini membuktikan bahwa sengaja dibiarkan begitu saja demi memenuhi kepentingan tertentu.

Efek yang dimunculkan dari penyakit langkah ini tidak beda jauh dengan penyakit AIDS dan juga sumbernya pun dinyatakan dari benua Afrika. Sekali lagi benua yang dihuni oleh bangsa negroit ini distigma berbagai bentuk label oleh semua bangsa di belahan bumi ini yang telah, sedang dan akan korban dari penyakit paling mematikan ini. Dari konteks tersebut yang menjadi pertanyaan adalah “apakah benua Afrika adalah sumber penyakit mematikan manusia?”. 

Afrika: AIDS dan Ebola

Afrika adalah benua terbesar kedua dunia dan kedua terbanyak penduduknya setelah Asia. Dengan luas wilayah 30.224.050 km² termasuk pulau-pulau yang berdekatan, Afrika meliputi 20,3% dari seluruh total daratan Bumi. Dengan jumlah penduduk 1,111 miliar (2013) di 54 negara, benua ini merupakan tempat bagi sepertujuh populasi dunia (wekipedia.org). Dibalik luasnya wilayah serta banyaknya penduduk itu, benua ini menyimpan kenangan pahit yang mengerihkan sekaligus menyedihkan. Sudah menjadi rahasia umum di seluruh dunia bahwa penyakit AIDS dan Ebola yang paling mematikan ini dikabarkan berasal dari Afrika pada umumnya dan lebih khususnya Sub-Sahara (AIDS) dan Guinea, Liberia, dan Sierra Leone (Ebola). Korban jiwa akibat penyakit ini kini mencapai ratusan ribu manusia tak berdosa hingga kini tiada akhir. Isu penyakit langkah telah tersebar dimana-mana (mendunia), korban pun kini mulai berjatuhan. WHO melalui media cetak maupun elektronik  memberitakan tidak menemukan obat untuk virus ini. Sementara korban dari virus tersebut sangat membutuhkan obat yang mampu menyembuhkan. Semua korban jiwa yang berangkat ke alam baka tanpa penanganan yang jelas, selain hanya memberikan obat kekebalan atau daya tahan tubuh.

Bangsa Afrika adalah korban dari penyakit yang dialamatkan ini, disamping itu tidak menutup kemungkinan ejekan berbagai bentuk label ditujukan kepada bangsa kulit hitam ini. disamping itu, banyak pihak yang memanfaat situasi untuk mendapatkan keuntungan atas penderitaan masyarakat tak berdosa. Konteks tersebut telah menciptakan lapangan kerja baru bagi orang-orang yang membutuhkan pekerjaan untuk mendapatkan keuntungan. Dengan kata lain, korban disatu pihak keuntungan dipihak lain. WHO yang dibentuk oleh Amerika Serikat berusaha menjadi yang pertama untuk menolong korban dari kedua penyakit ini, sekalipun tidak mampu menyembuhkan atau menyelamatkan korban yang terinveksi.WHO membentuk lembaga hampir setiap negara sekutunya. Di Indonesia seperti, Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) yang didanai dari WHO maupun departemen terkait (kesehatan) yang bertugas untuk sosialisasi dari mana sumber penyakit dan bagaimana cara mengatasinya serta menganjurkan agar giat berdoa bagi yang terinveksi, bukan untuk menyembuhkan atau menyelamatkan korban yang telah terinveksi.

Sumber penyakit yang sebenarnya tidak perna dikatakan, selain melalui hubungan seks, transfusi darah, jarum suntik dan lain-lain. Sementara cara mengatasinya yang dianjurkan adalah periksa darah dan berobat. Pengobatan juga membutuhkan biaya, sedangkan anjuran untuk berdoa supaya mengejar hidup yang baik setelah mati, seperti yang diajarkan dalam kitab suci agama. Korban yang terinveksi virus (AIDS dan Ebola) kini dijauhi oleh keluarga, atau keluarga terpecah-pecah akibat penyakit ini karena takut akan penularannya. Lembaga yang dibentuk oleh WHO berperan hanya untuk menenangkan hati korban yang tinggal hitung hari keberangkatan ke alam bakah. Dalam kondisi tersebut, andaikan Amerika Serikat menyatakan telah menemukan obat yang mempu menyembuhkan kedua penyakit ini, pasti misi menguasai dunia terwujud dalam sekejab, karena korban yang terinveksi terutama benua Afrika pada umumnya akan menganggap AS adalah penyelamat manusia, maka benua Afrika adalah miliknya AS.

Indonesia: Distributor Stigma dan Virus ke Papua

Sejak perkembangan peradaban bangsa Papua menjalani hidup berdasarkan aturan hukum adat yang diwariskan secara turun-temurun. Mereka melakukan aktifitas berdasarkan batasan yang ditentukan oleh hukum adat yang mengatur hidup mereka. Seiring berjalannya waktu bangsa Papua mulai mengenal budaya luar yang dibawakan oleh para misionaris. Kaum misionaris bukan saja membawa injil di tanah Papua, tetapi juga sebagai pintu masuk bagi kaum kolonial (Belanda-Indonesia) untuk menguasai seluruh tanah Papua. Segalah sesuatu yang dimiliki oleh masyarakat bangsa Papua yang dianggap menghambat kepentingan ekonomi politik kaum kolonial dimusnakan agar misinya tetap berjalan. Disinilah kehidupan bangsa Papua mulai porak-poranda, sesuatu yang dilarang keras oleh aturan hukum adat dilegalkan oleh aturan hukum nasional, begitu juga sebaliknya sehingga orang papua mudah didoktrin, dikendalikan, diadu domba melalui sistem maupun dalam aktifitas kesehariannya.

Tak pelak, pemerintah Indonesia  mengembangkan isu melalui media massa, baik elektronik maupun cetak bahwa bangsa papua bodoh, primitif, budaya minuman keras (miras) dan separatis serta bentuk stigma lainnya. Semua stigma yang merendakan harkat dan martbat bangsa Papua ini sudah tidak asing bagi seluruh rakyat Indonesia, bahkan masyarakat internasional, akibatnya tidak sedikit orang yang berusaha menjauhkan diri dari orang Papua, kecuali orang-orang yang memegang senjata (TNI/PolRI) dan yang berlindung didalamnya (para transmigran) yang dengan berani mendekati orang Papua dengan tawaran harga diri dan nyawa jika tidak menerima mereka.

Dalam konteks tersebut, tak heran jika pemerintah Republik Indonesia berusaha membujuk bangsa Papua dengan berbagai macam produk hukum dengan kucuran dana triliunan rupiah berdasarkan argumen bahwa persoalan Papua tidak perna selesai karena masyarakat bangsa Papua tidak maju dan bodoh sehingga perlu dibangun. Hasil dari argumen ini yang terlihat selama ini adalah pelanggaran hak azasi manusia (HAM) dan banyak masyarakat Papua teriveksi virus AIDS. Pelanggaran HAM terjadi di tanah Papua demi meloloskan kepentingan ekonomi politik. Sementara virus AIDS bersumber dari bisnis Pekerja Seks Komersial (PSK) yang terinveksi dikirim ke Papua sebagai upaya untuk menghabiskan orang Papua. Tak heran jika pengidab virus AIDS terbanyak kedua adalah Papua setelah Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta. Ini adalah upaya untuk secara moderat untuk memusnakan orang Papua demi kepentingan ekonomi politik.

Pemerintah Indonesia telah gagal total merebut hati orang Papua sehingga yang ada hanyalah stigma  budaya miras, separatis, bodoh , penyebaran virus AIDS dan lain-lain. Budaya miras merupakan bagian dari pada upaya negara untuk merendakan harkat dan martabat bangsa Papua. Sejak awal perkembangan peradaban bangsa Papua, tidak mengenal yang namanya “MIRAS”. Jika orang mengatakan budaya orang papua adalah MIRAS, maka pertanyaannya adalah dari mana produk miras itu? Di Papua bagian pesisir memang ada minuman lokal yang dikonsumsinya, namun tidak memliki efek jerah yang mematikan seperti menuman modern saat ini. Tidak ada produk minuman keras di Papua hingga saat ini, yang ada hanya Miras yang di Import dari luar Papua dan yang menariknya lagi ada tulisan di botol miras itu “Pemasok untuk Papua”. Ada apa dibalik semua ini?  Itu yang tidak perna disadari oleh oknum-oknum yang mengonsumsinya.

Melihat orang Papua pemikiran masyarakat indonesia selalu terbawah dalam stigma budaya miras yang dialamatkan kepada orang Papua. Tidak banyak orang bertanya darimana produk miras itu? Yang ada hanyalah stigma dan ejekan yang dangkal kepada orang Papua yang korban dari kepentingan ekonomi politik negara ini. Penyebaran AIDS telah membunuh banyak orang Papua, sementara pihak pengelalo PSK mendapatkan keuntungan, sedangkan budaya miras adalah stigma yang dialamatkan kepada orang Papua demi merendakan harkat dan martabat bangsa Papua. Semoga pandangan publik yang sempit  terhadap orang Papua ini bisa dirubah dan menganggap masyarakat Papua pada umumnya adalah manusia yang mempunyai harkat dan martabat sebagai manusia.

Dibalik Penyakit dan Stigma

Benua Afrika menyimpan sejutah kekayaan alam yang melimpah ruah, baik itu emas, tembaga, nikel dan lain-lain. Benua ini juga didiami oleh penduduk kulit hitam paling padat. Disamping itu, benua ini juga menyimpan sejuta konflik potensial yang memakan korban jiwa, harta benda yang tak terkirahkan jumlahnya. Permusuhan itu terjadi bukan saja antara pemerintah dengan mesyarakat sipil bersenjata, tetapi juga antara anak dengan orang tua, adik dengan kakak, tetangga dengan tetangga yang lain, satu daerah dengan daerah yang lain dan satu suku dengan suku yang lain. Sementara pihak lain mendapatkan keuntungan dari persoalan atau penderitaan ini sambil bertepuk tangan.

Disamping itu, berbagai macam penyakit sosial juga bermunculan dalam kehidupan orang Afrika pada umumnya. Sebut saja yang paling menonjol dan memakan korban jiwa yang tak sedikit jumlahnya adalah penyakit (virus) AIDS dan Ebola. Dalam kondisi demikian, banyak negara terutama Amerika Serikat telah menyatakan peduli dengan membantu dalam bentuk tim medis sekaligus dengan bantuan finansial melalui IMF maupun WHO, tetapi semua itu bukanlah solusi atas semua persoalan ini karena belum menyentuh pada akarnya. Amerika Serikat tidak mangungkap darimana sumber penyakit ini, sekalipun sudah diketahui agennya tetapi tidak direspon, selain mengatakan sumbernya dari hewan yang terdapat di Afrika, AS juga menyatakan melalui WHO yang dibentuknya bahwa tidak menemukan obat yang bisa menyembuhkan penyakit ini.

Meskipun demikian, AS juga melalui WHO membentuk berbagai macam lembaga hampir disetiap negara sekutunya untuk memberikan pemahaman, penyuluhan tentang penyakit mematikan ini kepada warga masyarakat termasuk Indonesia, seperti komisi penanggulangan AIDS (KPA) yang didanai dari departemen terkait (kesehatan) maupun dari WHO. Jika tidak ada warga negara yang terinveksi penyakit AIDS ini berarti lembaga yang dibentuk tersebut tidaklah berfungsi sehingga tak mendapatkan bantuan finansial dari WHO dan juga orang yang bekerja didalamnya akan menganggur menambah beban negara. Karena itu, jalan satu-satunya yang diusahakan adalah harus ada warga negara yang terinveksi virus tersebut. Begitu juga yang terjadi di bumi Cenderawasih.

Dalam konteks demikian, data dari beberapa lembaga menunjukkan Papua menempati posisi kedua terbanyak jumlah pengidap AIDS setelah Daerah Ibukota Jakarta. Peningkatan warga negara yang terinveksi AIDS merupakan baro meter untuk mendapatkan finansial. Untuk memenuhi itu, tidak heran jika ada banyak tempat pekerja seks komersial (PSK) yang dilindungi oleh berbagai macam produk hukum, sementara PSK yang terinveksi AIDS selalu dikirim ke Papua sebagai bisnis dari pihak-pihak tertentu, sedangkan masyarakat Papua korban dari bisnis ini.

Kondisi demikian, membuat penulis mengingat apa yang perna dikatakan oleh seorang pangdam Cenderawasih pertama di Papua (Ali Murtopo) bahwa “kami tidak suka orang Papua, kami suka hanya kekayaan alam Papua”. Pernyataan ini ternyata benar dan didukung oleh implementasi yang baik. Pembunuhan secara terang-terangan terhadap masyarakat Papua oleh negara Indonesia melalui TNI/POLRI kini mendapatkan teguran dari berbagai negara dan juga LSM Internasional yang bergerak dibidang Hak Asazi Manusia (HAM), sehingga negara telah merubah metode untuk  membunuh orang Papua. Indonesia merancang senjata dan amunisi tanpa bunyi yang bernama AIDS, Miras dan racun serta politik adu domba, sementara Indonesia men-stigma berbagai bentuk label (budaya miras dll) terhadap masayarakat Papua. Itulah serangan yang sangat mematikan jiwa dan raga masyarakat Papua dan itulah yang disebut dengan perbudakan modern.

Dalam konteks tersebut, Indonesia merasa menjalankan bisnis sekaligus misi kepentingan ekonomi politik negara di atas tanah Papua, sementara AS juga merasa melalui bantuan tersebut telah menjalankan sebagian kecil dari misi kepentingan menguasai dunia, sedangkan masyarakat tetap menjadi korban dari kepentingan ini.  Kita tidak boleh membiarkan persoalan ini terus terjadi, masyarakat harus sadar, bersatu dan lawan sampai menang, karena itu bukanlah taqdir dari Sang Pencipta.


Baca Juga Berita Terkait

Tidak ada komentar:

Leave a Reply