Oleh: Aku
Sang Liar “ASLI”
(Peta Indonesia.google.com) |
Sudah menjadi rahasia umum bahwa
Papua menyimpan sejuta kekayaan dan keindahan alam yang menarik perhatian bagi
negara-negara yang berkepentingan disana. Namun, disisi lain, Papua juga
menyimpan sejuta persoalan kemanusiaan sejak bergabung dalam Negara Kesatuan Republik
Indonesia(NKRI) yang hingga kini belum tuntas entah kapan akan berakhir. Tidak
ada upaya penyelesaian yang dilakukan pemerintah Indonesia, selain menawarkan
dengan kebijakan Otonomi Khusus (otsus), Unit Percepatan Pembangunan Papua dan
Papua Barat (UP4B) dan sebagainya. Semua itu tidak memberikan jaminan hidup
dalam suasana demokratis bagi masyarakat
Papua, karena itu bukanlah akar persoalan yang sebenarnya.
Semua kebijakan yang disertai
dengan kucuran dana triliunan rupiah itu, terkesan sebagai upaya pemerintah
Indonesia demi mempertahan Papua di pangkuan ibu Pertiwi sehingga masyarakat
Papua tetap menjadi korban karena keinginan masyarakat Papua sangat berbeda
dengan keinginan Jakarta. Semua persoalan yang dihadapi oleh masyarakat Papua
ditutupi oleh pemerintah pusat agar tidak diketahui dunia luar. Masyarakat
Papua menginginkan Indonesia mengakui hak mereka sebagai sebuah negara (West
Papua) yang telah direbut melalui penentuan pendapat rakyat (PEPERA) 1969 yang
penuh rekayasa, sementara Indonesia mengatakan persoalan Papua sudah selesai melalui
PEPERA 1969.
Inilah akar persoalannya yang
sebenarnya, namun tidak perna disentuh oleh pemerintah Indonesia. Orang yang
berusaha menyentuh persoalan ini selalu dianggap sebagai musuh negera Indonesia
yang harus disingkirkan, seperti yang pernah dialami oleh Gus Dur. Gus Dur sapaan
akrab Abdul Rahman Wahid adalah presiden Republik Indonesia yang keempat. Ia
(Gus Dur) oleh berbagai kalangan mengatakan sangat berjasa bagi masyarakat
Papua dengan beberapa hal yang dilakukan pada masa kepemimpinannya, seperti
nama Irian Jaya dirubah menjadi Papua, memberikan ruang bagi masyarakat Papua
untuk melakukan kongres rakyat Papua II (dua) dan yang lainnya. Dengan kata
lain, Gus Dur dijuluki sebagai Bapak, pluralis, demokratis, dialogis dan
sebagainya.
Semua itu bukanlah sesuatu yang membuat
senang bagi sekumpulan orang di Senayan Jakarta yang katanya wakil Rakyat.
Mereka (DPR) mulai mencari celah atau kesalahan bahkan jebakan untuk
melengserkan Gus Dur dari jabatan sebagai presiden Indonesia. Hal ini tentunya
bagi masyarakat Papua sangat kecewa karena harapan untuk hidup dalam suasana
demokratis dibungkam, meskipun secara politik (sejarah status politik Papua)
yang merupakan akar persoalan tidak ada titik terang atau tidak disentuh.
Masyarakat Papua menyampaikan ucapan permohonan maaf kepada Gus Dur karena
jelaslah bawah perhatiannya terhadap konteks kehidupan mereka (masyarakat
Papua) Gus Dur dilengserkan.
Jakarta tidak menghendaki
masyarakat Papua hidup dalam suasana demokratis, seperti yang dilakukan oleh
Gus Dur sehingga selalu dibatasi. Sesuatu yang baik bagi masyarakat Papua dianggap
sebagai suatu ancaman terhadap negara. Hal ini terjadi karena Jakarta memandang
Papua dari kaca mata kepentingan ekonomi politik. Namun, disisi lain
diakibatkan oleh perbedaan ideologi yang menjadi akar persoalan di Papua.
Meskipun demikian, kini ada angin segar bagi masyarakat Papua untuk
merasakan bagaimana “hidup dalam suasana
demokratis”, yang dijanjikan oleh Joko Widodo.
Pada saat kampanye politik pemilu presiden Indonesia, pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla atau disingkat Jokowi-JK memberikan beberapa
janji politik kepada masyarakat Papua, terutama membuka ruang bagi wartawan
asing untuk meliput berita di Papua. Pasangan Jokowi-Kalla mendapatkan respek
yang sangat baik dari masyarakat Papua pada umumnya, bahkan suaranya hampir 90%
diberikan untuk pasangan ini.
Berangkat dari konteks tersebut,
pasangan Prabowo-Hata pun tidak tinggal diam dengan melakukan berbagai macam
kampanye politik untuk mendapatkan dukungan suara masyarakat. Namun,
Prabowo-Hatta kalah dalam kompetisi politik ini atau dimenangkan oleh pasangan
Jokowi-JK. Akan tetapi kondisi perpolitikan Indonesia dewasa ini membuktikan
bahwa Prabowo-Hatta nampaknya tidak menerima kekalahan dalam kompetisi ini. Hal
ini terlihat jelas dengan strategi politik yang dilakukan oleh Koalisi Merah
Putih (KMP). Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI) dikuasai oleh KMP sehingga
mengesahkan undang-undang pemilihan kepala daerah (pilkada) secara tidak
langsung atau melalui DPRD. Hal ini, tentu menuai kritikan dari berbagai kalangan. Kini Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI pun dikuasai oleh KMP. Wacana yang kemudian
muncul adalah KMP akan melakukan amandemen UUD 1945 yang kelima agar pemilihan presiden dilakukan
melalui MPR.
Jika wacana amandemen ini
benar-benar dilakukan, maka upaya selanjutnya adalah menghantui perjalanan roda
pemerintah Jokowi. KMP sebagai penghitung setiap kesalahan yang dilakukan oleh
Jokowi sehingga berdasarkan tampuk kekuasaan suatu saat Jokowi bisa dikudeta
atau dilengserkan dari jabatan sebagai presiden berdasarkan alasan tertentu.
Seperti presiden Gus Dur, yang begitu
berjasa bagi masyarakat Papua, namun dilengserkan atas kekhawatiran bahaya kehilangan kontrol
terhadap Papua demi kepentingan kekuasaan dan ekonomi politik di bumi
Cenderawasih. Upaya amandemen UUD 1945 adalah strategi politik KMP sehingga
suatu ketika Jokowi dijebak dalam kasus tertentu, maka KMP akan menggantikan
posisinya Jokowi sebagai presiden Indonesia, karena kewenangan ada ditangan MPR
yang dikuasai oleh KMP. Dalam konteks tersebut, wacana yang sedang berkembang
saat ini; adanya proposal referendum bagi Papua yang disiapkan oleh Jokowi.
Wacana ini merupakan bagian dari upaya politik KMP untuk mencari dukungan
rakyat Indonesia yang tidak menghendaki Papua lepas dari Indonesia. Berdasarkan
dukungan tersebut, segala upaya akan dilakukan oleh KMP seakan-akan
memperjuangkan aspirasi rakyat Indonesia demi melengserkan Jokowi.
Selain dari itu, KMP juga
mengatakan adanya indikasi keterlibatan Jokowi dalam kasus korupsi atas
pengadaan bus trans Jakarta. Namun,
sayangnya upaya KMP ini tidak disertai dengan bukti yang konkrit sehingga tidak
membuahkan hasil sesuai dengan apa yang KMP inginkan. Disisi lain, semua upaya
ini merupakan kerinduan KMP untuk menngembalikan suasana negara Indonesia pada
almarhum Orde Baru. Hal ini dikarenakan sebagian besar politisi yang sudah
direkrut dalam KMP adalah hasil didikan dengan kurikulum yang diselaraskan
dengan Orde Baru berdasarkan falsafah Top
Down-nya. Karena itu, mereka tidak mempunyai bekal yang cocok untuk menyesuaikan
diri dengan tata pemerintahan baru yang demokratis dan terbuka. Oleh karena
itu, semoga rakyat Indonesia bijak memahami situasi politik dewasa ini agar
tidak terdoktrin dengan cara berpolitik yang tidak mendidik. Harapan saya dan
mungkin juga harapan kita bersama adalah hidup dalam suasana adil, demokratis
dan terbuka.
Tidak ada komentar: