Antara Keutuhan dan Ruang Demokratis



Oleh: Aku Sang Liar “ASLI”

(Peta Indonesia.google.com)
“Koalisi Merah Putih (KMP) jadikan Papua sebagai batu loncatan untuk melengserkan Jokowi sebagai presiden Indonesia periode 2014-2019”

Sudah menjadi rahasia umum bahwa Papua menyimpan sejuta kekayaan dan keindahan alam yang menarik perhatian bagi negara-negara yang berkepentingan disana. Namun, disisi lain, Papua juga menyimpan sejuta persoalan kemanusiaan sejak bergabung dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia(NKRI) yang hingga kini belum tuntas entah kapan akan berakhir. Tidak ada upaya penyelesaian yang dilakukan pemerintah Indonesia, selain menawarkan dengan kebijakan Otonomi Khusus (otsus), Unit Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat (UP4B) dan sebagainya. Semua itu tidak memberikan jaminan hidup dalam suasana demokratis bagi masyarakat  Papua, karena itu bukanlah akar persoalan yang sebenarnya.

Semua kebijakan yang disertai dengan kucuran dana triliunan rupiah itu, terkesan sebagai upaya pemerintah Indonesia demi mempertahan Papua di pangkuan ibu Pertiwi sehingga masyarakat Papua tetap menjadi korban karena keinginan masyarakat Papua sangat berbeda dengan keinginan Jakarta. Semua persoalan yang dihadapi oleh masyarakat Papua ditutupi oleh pemerintah pusat agar tidak diketahui dunia luar. Masyarakat Papua menginginkan Indonesia mengakui hak mereka sebagai sebuah negara (West Papua) yang telah direbut melalui penentuan pendapat rakyat (PEPERA) 1969 yang penuh rekayasa, sementara Indonesia mengatakan persoalan Papua sudah selesai melalui PEPERA 1969.

Inilah akar persoalannya yang sebenarnya, namun tidak perna disentuh oleh pemerintah Indonesia. Orang yang berusaha menyentuh persoalan ini selalu dianggap sebagai musuh negera Indonesia yang harus disingkirkan, seperti yang pernah dialami oleh Gus Dur. Gus Dur sapaan akrab Abdul Rahman Wahid adalah presiden Republik Indonesia yang keempat. Ia (Gus Dur) oleh berbagai kalangan mengatakan sangat berjasa bagi masyarakat Papua dengan beberapa hal yang dilakukan pada masa kepemimpinannya, seperti nama Irian Jaya dirubah menjadi Papua, memberikan ruang bagi masyarakat Papua untuk melakukan kongres rakyat Papua II (dua) dan yang lainnya. Dengan kata lain, Gus Dur dijuluki sebagai Bapak, pluralis, demokratis, dialogis dan sebagainya.

Semua itu bukanlah sesuatu yang membuat senang bagi sekumpulan orang di Senayan Jakarta yang katanya wakil Rakyat. Mereka (DPR) mulai mencari celah atau kesalahan bahkan jebakan untuk melengserkan Gus Dur dari jabatan sebagai presiden Indonesia. Hal ini tentunya bagi masyarakat Papua sangat kecewa karena harapan untuk hidup dalam suasana demokratis dibungkam, meskipun secara politik (sejarah status politik Papua) yang merupakan akar persoalan tidak ada titik terang atau tidak disentuh. Masyarakat Papua menyampaikan ucapan permohonan maaf kepada Gus Dur karena jelaslah bawah perhatiannya terhadap konteks kehidupan mereka (masyarakat Papua) Gus Dur dilengserkan.

Jakarta tidak menghendaki masyarakat Papua hidup dalam suasana demokratis, seperti yang dilakukan oleh Gus Dur sehingga selalu dibatasi. Sesuatu yang baik bagi masyarakat Papua dianggap sebagai suatu ancaman terhadap negara. Hal ini terjadi karena Jakarta memandang Papua dari kaca mata kepentingan ekonomi politik. Namun, disisi lain diakibatkan oleh perbedaan ideologi yang menjadi akar persoalan di Papua. Meskipun demikian, kini ada angin segar bagi masyarakat Papua untuk merasakan  bagaimana “hidup dalam suasana demokratis”, yang dijanjikan  oleh Joko Widodo. Pada saat kampanye politik pemilu presiden Indonesia, pasangan  Joko Widodo-Jusuf Kalla  atau disingkat Jokowi-JK memberikan beberapa janji politik kepada masyarakat Papua, terutama membuka ruang bagi wartawan asing untuk meliput berita di Papua. Pasangan Jokowi-Kalla mendapatkan respek yang sangat baik dari masyarakat Papua pada umumnya, bahkan suaranya hampir 90% diberikan untuk pasangan ini. 

Berangkat dari konteks tersebut, pasangan Prabowo-Hata pun tidak tinggal diam dengan melakukan berbagai macam kampanye politik untuk mendapatkan dukungan suara masyarakat. Namun, Prabowo-Hatta kalah dalam kompetisi politik ini atau dimenangkan oleh pasangan Jokowi-JK. Akan tetapi kondisi perpolitikan Indonesia dewasa ini membuktikan bahwa Prabowo-Hatta nampaknya tidak menerima kekalahan dalam kompetisi ini. Hal ini terlihat jelas dengan strategi politik yang dilakukan oleh Koalisi Merah Putih (KMP). Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI) dikuasai oleh KMP sehingga mengesahkan undang-undang pemilihan kepala daerah (pilkada) secara tidak langsung atau melalui DPRD. Hal ini, tentu menuai kritikan dari  berbagai kalangan. Kini Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI pun dikuasai oleh KMP. Wacana yang kemudian muncul adalah KMP akan melakukan amandemen  UUD 1945  yang kelima agar pemilihan presiden dilakukan melalui MPR. 

Jika wacana amandemen ini benar-benar dilakukan, maka upaya selanjutnya adalah menghantui perjalanan roda pemerintah Jokowi. KMP sebagai penghitung setiap kesalahan yang dilakukan oleh Jokowi sehingga berdasarkan tampuk kekuasaan suatu saat Jokowi bisa dikudeta atau dilengserkan dari jabatan sebagai presiden berdasarkan alasan tertentu. Seperti  presiden Gus Dur, yang begitu berjasa bagi masyarakat Papua, namun dilengserkan  atas kekhawatiran bahaya kehilangan kontrol terhadap Papua demi kepentingan kekuasaan dan ekonomi politik di bumi Cenderawasih. Upaya amandemen UUD 1945 adalah strategi politik KMP sehingga suatu ketika Jokowi dijebak dalam kasus tertentu, maka KMP akan menggantikan posisinya Jokowi sebagai presiden Indonesia, karena kewenangan ada ditangan MPR yang dikuasai oleh KMP. Dalam konteks tersebut, wacana yang sedang berkembang saat ini; adanya proposal referendum bagi Papua yang disiapkan oleh Jokowi. Wacana ini merupakan bagian dari upaya politik KMP untuk mencari dukungan rakyat Indonesia yang tidak menghendaki Papua lepas dari Indonesia. Berdasarkan dukungan tersebut, segala upaya akan dilakukan oleh KMP seakan-akan memperjuangkan aspirasi rakyat Indonesia demi  melengserkan Jokowi.

Selain dari itu, KMP juga mengatakan adanya indikasi keterlibatan Jokowi dalam kasus korupsi atas pengadaan bus trans Jakarta.  Namun, sayangnya upaya KMP ini tidak disertai dengan bukti yang konkrit sehingga tidak membuahkan hasil sesuai dengan apa yang KMP inginkan. Disisi lain, semua upaya ini merupakan kerinduan KMP untuk menngembalikan suasana negara Indonesia pada almarhum Orde Baru. Hal ini dikarenakan sebagian besar politisi yang sudah direkrut dalam KMP adalah hasil didikan dengan kurikulum yang diselaraskan dengan Orde Baru berdasarkan falsafah Top Down-nya. Karena itu, mereka tidak mempunyai bekal yang cocok untuk menyesuaikan diri dengan tata pemerintahan baru yang demokratis dan terbuka. Oleh karena itu, semoga rakyat Indonesia bijak memahami situasi politik dewasa ini agar tidak terdoktrin dengan cara berpolitik yang tidak mendidik. Harapan saya dan mungkin juga harapan kita bersama adalah hidup dalam suasana adil, demokratis dan terbuka.

Baca Juga Berita Terkait

Tidak ada komentar:

Leave a Reply