(Data Laporan: Pembacaan Kondisi Sosial oleh Militer di
Papua yang Sempat Dibocorkan)
Oleh: Mikael Tekege
TANPA SUARA_Berbicara soal pendidikan sangat menarik dan
bisa dimulai dari sudat pandang mana pun. Selain, ekonomi dan kesehatan, pendidikan
termasuk salah satu aspek sosial mendasar yang sangat penting. Pemerintah
memiliki tugas dan tanggungjawab untuk memenuhi ketiga aspek di atas ini.
Dibidang pendidikan,
tugas dan tanggungjawab pemerintah adalah menyediakan prasarana dan sarana
pendidikan termasuk regulasi maupun skema-skema beasiswa bagi siswa-siswi yang
berprestasi maupun yang tidak mampu secara ekonomi (bantuan).
Namun, realitas saat
ini membuktikan bahwa pemerintah daerah (Pemda) Papua sudah lari dari tugas dan
tanggung jawabnya. Masalah pendidikan dianggap tidak penting dan dibiarkan
begitu saja. Kondisi ini berbanding terbalik, jika kita kaitkan dengan peranan
pemerintah kolonial Belanda ketika masih berkuasa di Papua. Pemerintah kolonial
Belanda benar-benar memperhatikan pendidikan secara serius.
Belanda menyediakan
prasarana dan sarana pendidikan. Belanda memiliki metode pendidikan yang sangat
tepat, sesuai dengan karakter dan budaya orang Papua. Sekalipun ada tantangan
dan hambatan dalam mengembangkan pendidikan, tetapi Belanda mampu membuat orang
Papua pintar.
Belanda mengembangkan
konsep pendidikan yayasan katolik berpola asrama dengan disiplin yang sangat
ketat. Cara mengajar mereka bukan hanya memberikan materi kepada siswa-siswi,
tetapi juga dibarengi dengan praktek sehingga mudah dapat dipahami.
Mereka mengenali bakat
dan kelebihan dari siswa-siswi sehingga membina sesuai dengan bakat dan
kelebihan yang dimiliki tersebut, misalnya: siswa yang memiliki bakat dalam
usaha, dididik dan dibina serta diarahkan untuk menjadi pengusaha, begitu juga
bidang lainnya. Dengan cara seperti itu, tidak sulit bagi Belanda untuk
mengembangkan pendidikan di Papua. Penjajah yang mendidik, itulah kalimat yang cocok buat Belanda.
Kondisi pendidikan di
Papua sangat berubah total, ketika pemerintah kolonial Indonesia menguasai
Papua. Konsep pendidikan yang pernah dijalankan oleh pemerintah kolonial Belanda
mulai ditinggalkan, Indonesia masuk dengan konsepnya sendiri. Peranan
sekolah-sekolah yayasan katolik yang sangat berjasa bagi orang asli Papua
dimatikan dengan kehadiran sekolah-sekolah inpresnya Soeharto.
Era reformasih pun
tidak memberikan harapan perubahan ke arah yang lebih soal pendidikan di Papua.
Malah sekolah-sekolah di Papua semakin hancur berantakkan akibat banyaknya
pemakaran Daerah Otonomi Baru (DOB). Pemekaran DOB tanpa memperhatikan kesiapan
Sumber Daya Manusia (SDM) yang siap kerja ini menciptakan peluang bagi banyak
guru berpindah panggung. Dari panggung pendidikan pindah ke panggung politik
dan birokrasi.
Banyak generasi muda
Papua, masa depannya dikorbankan karena tidak ada yang mau mengajar. Pemda Papua
saja sudah tidak peduli dengan pendidikan, apa lagi mau memperhatikan. Pemda di
daerah ini merasa cukup hanya dengan membangun gedung-gedung sekolah tanpa
fasilitas dan tanaga pengajar (guru) yang siap mengajar.
Paradigma berpikir
pemda ini sangat terbalik, seharusnya dahulukan untuk mempersiapkan tenaga
guru, kemudian membangun gedung-gedung sekolah. Pemda mementingkan pembangunan
fisik, ketimbang pembangunan nonfisik (manusia). Ya...begitulah tolok ukur
pembangunan di Papua, yang penting Papua terlihat kota dengan gedung-gedung tak
bermakna ini.
Sekolah-sekolah tanpa
guru ini dimanfaatkan Jakarta melalui Kementerian Pendidikan merumuskan program
Sarjana Mendidik di Daerah Terdepan, Terluar, dan Tertinggal (SM3T) dan gerakan Indonesia Mengajar. Pemerintah pusat
bekerja sama dengan beberapa universitas di Indonesia untuk menyeleksi para
tenaga pengajar profesional yang kemudian kerja sama dengan pemda untuk
mengajar di daerah-daerah terpencil sesuai kesepakatan kontrak kerja.
Pemda Papua tingkat
kabupaten sangat senang dengan program seperti ini, karena sangat membutuhkan
guru yang bisa dan mampu mengajar serta mengeluarkan generasi muda dari alam
kebodohan. Pemda yang menerima program ini dengan bangga berbicara di media tentang
kebutuhan guru. Pemda lupa dengan tugas dan tanggungjawab mereka dalam
menyediakan akses pendidikan yang dilengkapi dengan tenaga guru dengan fasilitasnya hingga termakan dengan program instan dari
pusat yang sangat memalukan ini.
Program seperti ini
secara tidak langsung menunjukkan sebuah bentuk kegagalan pemerintah diaspek
mendasar masyarakat yang seharusnya sudah ditangani oleh pemda setempat. Seharusnya
pemda sudah berupaya dan berjuang mempersiapkan tenaga-tenaga guru profesional
yang siap mengejar di daerah.
Anggaran yang digunakan
untuk kontrak guru yang tidak jelas latar belakangnya ini seharusnya digunakan
untuk membiayai putra-putri daerah yang melanjutkan pendidikan di keguruan agar
setelah selesai mereka bisa mengajar di daerah. Hal simpel ini saja tidak
dipikirkan, apa lagi berpikir tentang sesuatu yang lebih besar. Kontrak guru
ini secara tidak langsung menunjukkan sikap tidak percaya diri pemda sehingga
masih mau tergantung pada Jakarta.
Dana Otonomi Khusus
yang sangat besar jumlahnya, sekitar 30-an Trilyun itu sebenarnya diberikan untuk membangun dan/atau
memberdayakan orang Papua, melalui pengembangan pendidikan, kesehatan dan ekonomi.
Dana itu hilang antara Jakarta-Papua. Akhirnya tiga aspek yang diamanatkan
untuk diparhatikan ini kini menjadi masalah serius yang belum dituntuskan. Sekali
lagi, selain kesehatan dan ekonomi, pendidikan itu seharusnya dianggap penting
untuk diperhatikan, tetapi dibiarkan begitu saja.
Mungkin pemda Papua ini
tidak mengerti atau mungkin tidak tahu tentang pertanyaan folosofis yang pernah
diungkapkan oleh seorang Perdana Menteri (PM) ketika negara Jepang dihancurkan
Bom Atom di Hirosima dan Nagazaki. Puluhan bahkan ratusan ribuh orang
meninggal, tak terhitung harta benda, tetapi PM itu tidak bicara banyak selain
bertanya berapa guru yang meninggal?
Pertanyaan seperti
diungkapkan karena beliau tahu bahwa guru-guru ini akan mendidik dan melahirkan
serta mencetak SDM yang handal, profesional, dan kreatif serta produktif untuk
membangun kembali Jepang yang telah hancur-lebur itu. Ini pandangan orang
Jepang, bukan pandangan orang Papua (terutama para pejabat daerah).
Peristiwa pengeboman
Hirosima dan Nagazaki ini kalau seandainya terjadi di Papua, para pejabat
daerah Papua ini pasti bertanya berapa gedung sekolah yang hancur? Karena
mereka berkeyakinan bahwa gedung-gedung sekolah ini yang akan merubah dan
membangun manusia Papua.
Begitu bodohkah pemda
atau ada apa sebenarnya sampai pemda ini membiarkan tugas dan tanggungjawabnya
dibidang pendidikan hingga menerima program instan dari Jakarta ini? Sekalipun
kita masih berada dibawah ketiak Indonesia, persoalan ini tidak perlu menungguh
kehadiran Jakarta. Memang kita membutuhkan guru, tetapi kalau kita melihat dari
sisi lain ada kepentingan terselubung yang patut diantisipasi.
Karena program ini
dimunculkan setelah adanya data hasil pembacaan kondisi sosial oleh militer
yang dibocorkan. Data pembacaan situasi dengan judul ANATOMI SEPARATIS PAPUA
ini, pada halaman 4 bagian Ideologi itu dikatakan MUDAH TERPENGARUH IDE
SEPARATIS KARENA KURANG WAWASAN KEBANGSAAN KHUSUSNYA DI DAERAH PEDALAMAN.
(lihat Data Laporan foto di atas ini: Pembacaan Kondisi Sosial oleh Militer di
Papua yang Sempat Dibocorkan)
Program SM-3T dan
Indonesia Mengajar ini dapat dinilai sebagai upaya Indonesia untuk menanamkan
benih-benih Ideologi baru kepada generasi muda Papua. Strategi ini, beberapa
tahun kedepan akan sangat berbaya bagi orang Papua yang telah dan sedang hidup
dalam penindasan serta penderitaan ini.
Generasi muda Papua
akan bertumbuh dengan dua ideologi yang berbeda, yakni Ideologi Papua Merdeka
dan Ideologi Indonesia sehingga bisa terjadi konflik antar kedua kelompok ini.
Yang korban, bukan lagi kaum kolonialis juga bukan kaum kapitalis serta
militer. Yang korban adalah tetap orang
Papua. Program ini sebagai politik adu domda secara perlahan demi menghambat
perjuangan politik rakyat Papua.
Karena kalau Jakarta
peduli dengan pendidikan di Papua, pasti mendesak pemda agar dapat
mengimplementasikan tugas dan tanggungjawabnya untuk menyediakan tenaga-tenaga
guru yang berasal dari daerah masing-masing . Bukan mendatangkan dari luar yang
tidak pernah kenal sedikit pun tentang Papua.
Bagaimana bisa mereka
mendidik dan membuat generasi muda Papua ini jadi orang pintar? Tenaga-tenaga
guru yang katanya profesional itu, semoga saja bukan agen-agen profesional
negara kolonial Indonesia yang sengaja bekerja sama dengan pemda untuk
ditempatkan di daerah-daerah yang masyarakatnya dianggap kurang wawasan
kebangsaan dengan memakai baju kata “GURU” itu.***
Tidak ada komentar: