17
December 2012
SETELAH berakhirnya kekuasaan Orde Baru Soeharto, buku-buku
perlawanan kini semakin mudah dijumpai di toko-toko buku besar.Salah satunya
buku-buku dari Eko Prasetyo. Berbagai buku perlawanan yang ia tulis seperti Orang Miskin Dilarang
Sakit, Orang Miskin Dilarang
Sekolah, Orang Miskin Tanpa
Subsidi, Awas, Penguasa Tipu
Rakyat!, Demokrasi Tidak untuk Rakyat, Inilah Presiden Radikal, Guru Mendidik
itu Melawan, dan sebagainya, dapat
dengan mudah kita jumpai di toko-toko buku besar. Dengan gaya tulisan yang
ringan dan seringkali comical, Eko Prasetyo
menghadirkan kritik sekaligus ajakan yang cukup provokatif kepada para
pembacanya untuk selalu melawan berbagai ketidakadilan yang hadir dalam
kehidupan sehari-hari.
Bagaimana perjalanan Eko Prasetyo dalam menulis, mengapa ia
memilih menulis dengan gaya yang berbeda dibanding kebanyakan penulis Kiri
lainnya? Berikut perbincangan Fathimah Fildzah Izzati dari Left Book Review (LBR) dengan Eko
Prasetyo.
Bisa Anda ceritakan
perjalanan Anda dalam menulis berbagai buku perlawanan?
Jika mau disebut sebagai sebuah perjalanan maka menulis buat
saya adalah upaya untuk mempertahankan sikap dan meletakkan garis posisi.Saya
dibesarkan pada masa-masa 90-an. Itulah periode dimana kekuasaan Soeharto
sedang mendapat perlawanan aktif dari anak-anak
muda.Terutama mereka yang berada pada posisi Kiri.Sebuah posisi yang sering
dihujat dan mendapat stigma.Tapi, labelisasi itu malah membuat beberapa anak
muda bangga.Beberapa anak muda lalu belajar gagasan Kiri, kemudian mencoba
untuk mengampanyekannya.Saya mulai menulis dengan semangat itu.Berusaha
melakukan pemberontakan dengan menulis.Saya kagum dengan Wiji Thukul, yang
puisinya seperti sebuah pukulan keras. Sekaligus saya kecewa dengan gaya
tulisan intelektual yang tidak jelas posisinya dan tidak provokatif. Saya
kemudian memilih untuk menulis dengan semangat yang mirip puisi Wiji Thukul:
memukul, mengancam dan menyudutkan.
Karena bagi saya menulis bukan tamasya pemikiran tapi pernyataan
sikap yang jelas, terang, dan karenanya, berusaha meraih pengikut.
Mirip dengan sebuah risalah kitab suci: provokatif, menghujat
yang kafir dan meminta tindakan. Itu sebabnya buku-buku saya tak banyak ngomong
teori rumit, karena sebagai sebuah sikap perlawanan, yang dibutuhkan adalah
upaya untuk meyakinkan dan mempengaruhi sikap pembaca. Itu sebabnya saya hanya
menulis untuk Resist Book saja, karena kredonya
sangat sesuai: Baca & Lawan.
‘Saya tidak yakin sama
sekali negeri ini diurus dengan semangat melayani dan melindungi rakyatnya.
Saya merasa panggung politik Indonesia hanya diisi oleh para pemain komedi yang
tugasnya menghibur dan merampok’
Apa yang membuat Anda
tertarik untuk membahas berbagai realitas sosial politik di Indonesia dalam
bentuk ‘ringan’ (dengan ilustrasi comical, dll.) tapi menggigit?
Saya selalu bayangkan pembaca saya itu rakyat kebanyakan dan
anak-anak sekolah.Pada mereka yang dibutuhkan adalah teks yang ringan,
menyerang dan memihak.Terutama situasi sosial politik Indonesia yang diisi oleh
para badut dan tukang omong.Lapisan yang bagi saya tak perlu dianalisis rumit,
tapi cukup kita lecehkan dan hina saja.
Penghinaan itu pantas dilakukan, karena ini kelompok yang gila
hormat dan penghargaan.Perlu dilecehkan, sebab mereka seringkali merasa
tindakannya penting. Titik pandang seperti itulah yang membuat saya kemudian
membuat teks dan gambar yang menyuarakan apa yang sebenarnya jadi kemarahan
kolektif. Saya tidak yakin sama sekali negeri ini diurus dengan semangat
melayani dan melindungi rakyatnya. Saya merasa panggung politik Indonesia hanya
diisi oleh para pemain komedi yang tugasnya menghibur dan merampok.Guna
mengungkit kesadaran itulah saya menggunakan media tulis yang dipadati dengan
kartun.Pada titik tertentu saya ingin membedakan buku saya dengan buku yang
dibaca oleh anak-anak sekolah.Yang selalu menyedihkan adalah sampulnya, apalagi
isinya.
Mengapa Anda cenderung
memilih untuk menggunakan pendekatan Kiri (termasuk Kiri Islam) sebagai
pendekatan dalam buku-buku yang Anda tulis?
Bagi saya pendekatan yang anda sebut Kiri tadi cocok untuk
melihat situasi sosial di Indonesia.Fakta paling menyolok adalah kesenjangan
dan eksploitasi.Saya memang bukan pembaca Karl Marx yang baik.Sekaligus saya
juga bukan pembaca kitab suci yang tekun.
Tapi bagi saya, Karl Marx dan nabi itu punya kesamaan tunggal:
melawan segala jenis eksploitasi dan ingin menciptakan tata dunia yang lebih
adil. Komitmen sederhana itu yang memicu saya untuk melihat situasi Indonesia
yang berada dalam penindasan.
Tak usah terlalu jauh mengambil contoh: saya melihat di setiap
kota negeri ini jalanannya dipenuhi dengan foto para pejabat dan politisi. Muka
para penyamun ini dengan pesan menghina mau berjanji melayani rakyat.Sebuah
pernyataan yang tidak masuk akal dan menindas akal sehat. Sikap itulah yang
bagi saya tak bisa dianalisis dengan pendekatan apapun, kecuali apa yang
dinamai Marx sebagai eksploitasi. Tidak saja melalui pemerasan ekonomi tapi
juga dirampoknya akal sehat kita. Cara pandang itulah yang kemudian jadi dasar
seluruh tulisan-tulisan saya: memprovokasi kesadaran atas penindasan dan
menetapkan siapa sebenarnya para penindas itu.
Dalam perkembangan
pengetahuan sekarang ini, kontribusi seperti apa yang diharapkan dapat Anda
tawarkan dari karya-karya Anda?
Saya berharap budaya menulis kita tidak terpancung dalam gaya
yang dingin, tanpa emosi dan mengambil jarak. Upaya saya ini sekedar
mengembalikan makna pamflet dalam sebuah tulisan.Dalam bahasa pamflet, sebuah
kenyataan itu tidak sekedar diterangkan tapi juga didorong untuk
diubah.Terlampau banyak fakta sosial saat ini yang dikomunikasikan dengan
bahasa tipuan.Tiap fakta hanya dicacah dalam bentuk angket, polling dan survei.Fakta itu
dibutuhkan untuk keperluan status quo dan pelestarian
rezim.Situasi itu yang ingin saya pecah dengan tulisan yang lebih terlibat,
menghidupkan kembali korban dan memprovokasi bagaimana penindasan itu
terjadi.Saya hanya ingin bagaimana pengetahuan itu membekali kita untuk
memiliki keberanian mengubah, bukan untuk memahami semata.
Terlebih dalam situasi Indonesia seperti saat ini, rasanya
tanggung jawab intelektual tidak hanya sekedar memberi inspirasi atau
menyuntikkan gagasan baru, tapi juga terlibat langsung dalam konfrontasi dengan
rezim yang busuk.
Saya hanya sekedar menantang kita semua untuk meyakini bahwa
situasi tidak adil ini tidak hanya bisa diamati apalagi dipecahkan dengan cara
normal; melainkan butuh imajinasi baru yang mempertaruhkan segala keyakinan
yang kita punya. Sudah waktunya apa yang dirasakan oleh rakyat itu kita
suarakan dalam bahasa yang lugas, jelas dan meyakinkan. Sehingga sebuah
realitas itu memiliki kaitan historis dengan subyek yang hendak mengubahnya.
Realitas tak pernah berdiri sendiri sebagaimana dipahami oleh
para pemalsu pengetahuan. Tiap realitas menyajikan situasi yang terang:
penindasan, eksploitasi dan perlawanan.
‘Bagi saya, Karl Marx
dan nabi itu punya kesamaan tunggal: melawan segala jenis eksploitasi dan ingin
menciptakan tata dunia yang lebih adil.’
Apakah Anda memperoleh
kendala ketika menulis buku-buku berperspektif Kiri?Jika ada bagaimana Anda
mengatasinya?
Hambatan yang saya alami normal saja: kadang karya saya ditolak
oleh toko buku karena ada gambar palu arit, beberapa buku saya dibakar karena
Kiri, saya dicekal untuk tidak boleh ceramah di beberapa kampus dan ada buku
yang diborong oleh perusahaan karena saya menulis dalam bahasa kartun tentang
kekejaman operasi mereka. Dalam menghadapi situasi itu, saya selalu banyak
memperoleh dukungan, terutama dari anak-anak muda.Mereka ada yang menjualkan
buku dari tangan ke tangan, mengadakan bedah buku pada kampus-kampus tertentu
dan bahkan kadang saya diberi kesempatan untuk promosi di beberapa masjid.
Selain menjadi penulis buku Kiri, saya sering menjadi ustadz di
masjid-masjid besar dan itu saya manfaatkan untuk kampanye gagasan saya.Saya
malah kadang dapat promosi gratis kalau karya saya dibakar atau dicekal di
sebuah toko.
Terakhir karya saya komik Tan Malaka, ditolak dipasang di toko
buku Gramedia gara-gara ada gambar palu arit dan kartun SBY.Sungguh ironi
sekali bagi saya.Toko buku sebesar itu menolak dengan alasan, yang menurut
saya, kampungan dan tak masuk akal.Saya bicara tentang PKI pada tahun-tahun
awal, masak harus pakai gambar beringin. Tapi mereka tak mau didebat dan saya
lebih baik mendistribusikan buku-buku itu melalui cara klandestin saja.
Bagaimana pendapat Anda mengenai posisi
karya-karya Anda dalam gerakan
perjuangan rakyat pekerja Indonesia yang semakin hari semakin anti
kapitalis?Apa yang dapat anda katakan tentang gerakan tersebut?
Saya meyakini bahwa perjuangan kaum pekerja saat ini merupakan
rintisan kerja panjang teman-teman gerakan.Tentu yang paling utama adalah kesadaran
dan solidaritas tinggi para pekerja.Saya tidak punya kontribusi langsung.Hanya,
saya mencoba untuk menuliskan arti penting sebuah perlawanan yang
terus-menerus, konsisten dan tetap berpegang pada prinsip kedaulatan para
pekerja.Saya merasa optimis gerakan ini mampu untuk mengguncang kekuasan para
pemodal asalkan tuntutan politiknya diperluas tidak sekedar kenaikan upah atau
hubungan kerja kontraktual.Untuk memperluas tuntutan politik itulah saya merasa
pentingnya menjalin aliansi dengan kekuatan oposisi, baik itu di kalangan
gerakan mahasiswa maupun kekuatan pekerja lainnya.Jangan sampai bersekutu
dengan partai politik.Partai politik yang tak perlu diajak koalisi adalah
partai politik yang ada sekarang.Karena saya menganggap mereka hanya punya
program memamerkan muka pengurusnya saja.Partai yang berisikan tukang komedi
dan tukang omong, kalau mengikuti istilah Tan Malaka.
Tentu para pekerja harus mendirikan partai politik setelah
sebelumnya memperkuat kerja front.
Aliansi besar oposisi untuk membentuk front pemerintahan
pekerja. Kerja front bagi saya adalah dasar pembentukan partai yang militan
sebab dengan kerangka kerja front penciptaan garis batas bisa dipenuhi, sesuatu
yang tidak mungkin dalam partai politik seperti yang ada sekarang. Ringkasnya
kerja front merupakan dasar perseteruan dengan blok konservatif yang diwakili
oleh rezim dan kekuatan modal. Untuk mengawalinya, saya merasa, gagasan
mengenai itu perlu disuburkan: tidak lagi riset tentang kekuatan pekerja atau
bagaimana situasi empiris kekuatan pekerja melainkan lebih pada upaya untuk
meyakinkan bahwa cita-cita politik pemerintahan para pekerja bisa diterapkan.
Fakta sejarahnya perlu dibentangkan dan contoh konkrit yang terjadi di sejumlah
negara perlu diyakinkan.Sayang jika kekuatan pekerja yang membesar ini hanya
digunakan untuk pertaruhan politik guna memenangkan politisi jahanam
berikutnya. Posisi saya mendukung dan optimis kedaulatan politik pekerja bisa
tegak!
‘Saya yakin situasi historis menuntut
massa untuk berpaling pada ide-ide Kiri yang pernah subur pada masa lalu.Saya
meyakini akan muncul Sarekat Islam baru yang mengkombinasikan gagasan keagamaan
kritis dengan semangat perlawanan militan atas kapitalisme.’
Bisa dikatakan bahwa anda merupakan salah satu penulis yang
cukup produktif dalam mengembalikan tema-tema sosial politik kiri (seperti
perlawanan, anti penindasan, dll.) pasca reformasi ’98.Bagaimana tanggapan anda
tentang produksi pengetahuan Kiri beberapa tahun belakangan ini?
Saya merasa produksi pemikiran kiri belakangan ini cukup
marak.Ada banyak web tentang gagasan Kiri.Tapi, sayang situasi ini tidak
diikuti dengan perkembangan penerbit Kiri dan pendidikan kampus yang memberi
ruang bagi gagasan Kiri untuk tumbuh.Penerbit Kiri mulai berguguran karena
merasa pasar tidak punya minat untuk mengonsumsi buku-buku Kiri dan penulis
yang kian langka.Bagaimana tidak langka kalau skripsi, tesis dan disertasi
dengan menggunakan pendekatan Kiri tidak mendapat bimbingan yang layak.Ini saya
alami setiap bedah buku, saya selalu menemukan kesulitan dalam mencari
pembanding yang seimbang.
Tidak akan mungkin gagasan Kiri bisa berkembang tanpa ada
perdebatan yang berarti. Meski pada sejumlah kecil kelompok gagasan ini tetap
mendapat tempat. Tapi secara keseluruhan saya optimis produksi pengetahuan Kiri
akan mendapat tempat seiring dengan kebuntuan atas sistem politik yang ada
sekarang ini dan kejumudan dari gagasan-gagasan di luarnya.
Terlebih dengan kekuatan politik para pekerja dan aksi-aksi
militan yang dilakukan oleh rakyat belakangan ini. Saya yakin situasi historis
menuntut massa untuk berpaling pada ide-ide Kiri yang pernah subur pada masa
lalu. Saya meyakini akan muncul Sarekat Islam baru yang mengkombinasikan gagasan
keagamaan kritis dengan semangat perlawanan militan atas kapitalisme. Ada
dua karya saya yang terakhir meyakini itu: pertama saya beri judul
kisah-kisah pembebasan dalam Al Qur’an, pembacaan kritis atas perjuangan para
utusan Tuhan dan komik Waktunya Tan Malaka Memimpin. Keduanya berusaha menanam
kembali apa yang dulu disemai oleh Sarekat Islam.
Apakah anda memiliki rencana untuk menulis karya lagi? Jika iya,
akan bertemakan apa?
Menulis sudah menjadi candu bagi saya. Dua karya yang sedang saya
susun adalah buku mengenai kebangkitan gerakan mahasiswa.Sebuah buku yang bukan
berisi pengamatan, tapi provokasi saya untuk para mahasiswa agar bangkit
kembali menyatakan sikap.Ini rekaman pengalaman saya ceramah di banyak kampus
di negeri ini.Saya membayangkan buku ini tidak dibaca dengan duduk, tapi
berdiri dan dibacakan keras, tidak dibaca dalam hati. Singkatnya, buku ini,
berbeda dengan karya saya sebelumnya, berisi kemarahan demi kemarahan sebagai
bahan pidato massa. Sedangkan buku kedua adalah komik tentang Sukarno yang
Kiri, bukan Sukarno nasionalis atau Sukarno pencetus Pancasila.Komik ini
mengimajinasikan Soekarno datang kembali pada masa kita saat ini.Soekarno
sebagai hakim bagi situasi politik yang stagnan dan gerakan yang miskin
harapan.Terakhir saya sedang menulis novel tentang keluarga para penguasa.
Saya tetap meyakini bahwa menulis adalah cara saya untuk tetap
sadar dan punya akal sehat di tengah sebuah negeri yang sudah kehilangan
segalanya. Dalam bahasa sederhana, menulis adalah cara paling aman untuk
meneguhkan keberanian dan posisi. Itu sebabnya sampai sekarang saya masih
bertahan untuk tetap menulis.
Tidak ada komentar: