(Foto, kerusuhan Tolikara. google.com/TS) |
“Perbuatan
kejam, curang, dan irreligius meningkatkan martabat penguasa baru dalam sebuah
negara saat kemanusiaan, ketangguhan, dan agama tidak mempunyai kekuatan lagi” (Machiavelli,
1506)
Mendengar
kata Papua, pemikiran orang tentu akan mengarah pada dua pandangan yang
berbeda, yakni: pertama, meilihat
Papua dari kekayaan dan keindahan alamnya atau disebut surga kecil jatuh ke
bumi; dan kedua, Papua diidentikkan dengan berbagai macam konflik kepentingan
yang mengorbankan harta benda bahkan nyawa masyarakat Papua. Dari kedua
pandangan tersebut, secara umum barangkali orang bertanya, apakah Papua adalah
surga atau nerakah?
Kedua
pandangan ini tentu tidak ada yang salah, keduanya benar karena disatu sisi
Papua menyimpan sejuta keindahan alam yang mempesona bagai putri dari kayangan,
sementara di sisi lain, Papua juga menyimpan sejuta konflik yang tiada akhir
sejak tahun 1963 hingga saat ini. Namun, kedua pandangan ini perlu diluruskan
agar orang dapat memahami dan mengerti apa yang terjadi di Papua. kedua pandangan
tadi saling terkait sehingga tidak bisa terpisahkan dalam menjelaskan konteks
hidup di Papua.
Kekayaan
dan keindahan alam tentu banyak orang secara individu maupun kelompok, terutama
negara Indonesia dan Amereka Serikat (AS) tergiur sehingga Papua dicaplok masuk
ke dalam negara Indonesia melalui invasi militer sejak tahun 1963 untuk
menindak lanjuti maklumat Tri Komando Rakyat (Trikora) dengan amanat merebut
Irian Barat (Papua Barat) hingga berakhir dengan Penentuan Pendapat Rakyat
(PEPERA) tahun 1969 yang manipulatif dan deskriminatif. Tahun 1963 ini merupakan
awal mala petaka bagi rakyat Papua, operasi demi operasi terus dilancarkan oleh
negara Indonesia melalui militer. Ratusan juta rakyat Papua korban dalam
peristiwa-peristiwa berdarah di Papua demi kepentingan ekonomi, politik dan
kekuasaan negara.
Perebutan
Papua Barat diawali dengan sebuah tindakan yang merendahkan harkat dan martabat
manusia Papua, baik pembunuhan, pembantaian, pemerkosaan, pemenjaraan,
perampasan hak milik, penindasan dan sebagainya menjadi bagian dari kehidupan
orang Papua. Dengan demikian, kehadiran Indonesia di tengah kehidupan
masyarakat Papua meletakkan dasar kekerasan atau konflik sehingga tidak heran
jika saat ini masih terus terjadi konflik tersebut. Oleh karena, perdamaian di
Papua mungkin akan diakhiri dengan kekerasaan, karena kekerasaan merupakan
fondasi yang melegitimasi eksistensi negara Indonesia dan AS di Papua. Dengan
kata lain, kekerasan diakhiri dengan kekerasan. Oleh karena itu, jelas bahwa
demi merebut kekayaan dan keindahan alam Papua itulah yang membuat atau
menciptakan konflik di dalam kehidupan masyarakat bangsa Papua.
Konflik
Tolikara
Sejumlah
media, baik lokal maupun nasional bahkan
media internasional tidak tinggal diam memberitakan tentang persoalan yang
terjadi pada 16/7/15 di Kabupaten Tolikara Papua. Persoalan ini melibatkan beberapa
masyarakat Tolikara yang merupakan umat dari Gereja Injili di Indonesia (GIDI) dan umat muslim yang tengah merayakan hari besar
idul Fitri. Umat GIDI maupun umat muslim dalam waktu yang bersamaan akan
melaksanakan kegiatan, yakni GIDI melaksanakan KKR dan seminar yang setingkat Internasional,
sementara muslim merayakan Idul Fitri sehingga jauh sebelum dua minggu pimpinan
GIDI melayangkan surat agar umat muslim tidak melaksanakan perayaan ibadah di
lapangan terbuka sekaligus pemberitahuan agar tidak menggunakan pengeras suara karena akan mengganggu
kegiatan KKR dan seminar.
Surat
tersebut tembusan pejabat pemerintah daerah, pimpinan militer maupun aparat keamanan di
daerah setempat. Namun, pada saat hari pelaksanaannya umat muslim melaksanakan
perayaan idul fitri di lapangan terbuka sekaligus menggunakan pengeras suara.
Karena umat GiDI merasa terganggu sehingga beberapa orang datang berdialog
dengan umat muslim, tetapi kemudian disambut dengan berondongan tembakan aparat
keamanan yang bertugas di sekitar itu.
Konteks
ini menampik kemarahan bagi umat GIDI sehingga membakar kios milik muslim
hingga musholla yang di tengah kios itu pun di lalap oleh api. Sementara
sebelas (11) orang umat GIDI tertembak
menggunakan alat negara hingga mengalami
luka kritis dan satu diantaranya meninggal. Setelah persoalan tersebut terjadi,
menurut pengakuan salah satu umat muslim, sebagaimana diberitakan melalui
berbagai media bahwa “kami tidak tahu surat yang dikeluarkan dari pimpinan
GIDI, jika kami tahu pasti kami turuti”. Berdasarkan pengakuan tersebut, yang
menjadi pertanyaan adalah siapa yang menyembunyikan surat tersebut? Dan mengapa
pihak aparat keamanan juga Badan Inteligen Negara (BIN) tidak mencegah persoalan ini jauh sebulum terjadi? Serta
mengapa umat GIDI yang datang berdialog disambut dengan penembakan? Ketiga
pertanyaan ini akan menuntun kita untuk melihat persoalan yang terjadi di
Kabupaten Tolikara, berdasarkan konsep analisis transpolitika.
Transpolitika
adalah bersilang dan bersimbiosisnya prinsip, cara, dan strategi politik dengan
prinsip, cara, dan strategi bidang-bidang lain diluarnya, seperti media, budaya
populer, dan seksualitas yang membuat kabur prinsip politik itu sendiri. Dengan
demikian, transpolitika merupakan cara berpolitik yang berselingkuhan dengan
bidang lain yang dianggap akan memberikan peluang untuk mencapai kemenangan
politik atau mendapatkan keuntungannya. Artinya potensi yang ada pada bidang
lain itu dianggap bahkan digunakan sebagai motor penggerak demi meloloskan
kepentingan politiknya. Dalam konteks tersebut, peluang terjadinya kerawanan
konflik sangat terbuka lebar dan rakyat kecil berada pada posisi korban.
Berdasarkan konsep transpolitika, bagaimana melihat persoalan yang terjadi di
Kabupaten Tolikara?
Surat
Hilang
Sebagaimana
pemberitaan di sejumlah media bahwa isi surat dengan tembusan pejabat daerah
dan pimpinan aparat keamanan setempat yang dilayangkan dari GIDI yang berisi
larangan terhadap umat muslim mengadakan atau merayakan idul fitri. Namun,
sesuai dengan pengakuan dari Presiden GIDI bahwa surat tersebut sudah
diklarifikasi jauh sebelum hari pelaksanaan sehingga tidak benar jika dikatakan
larangan terhadap umat muslim. Surat itu hanya pemberitahuan agar umat muslim
tidak mengadakan atau mereyakan idul fitri di lapangan terbuka sekaligus tidak
menggunakan pengeras suara karena akan mengganggu kegiatan GIDI.
Berdasarkan
pengakuan di atas ini bahwa surat edaran yang larangan bagi umat muslim yang
dikeluarkan sebelum diklarifikasi itu dijadikan sebagai argumen dari berbagai
kalangan untuk membesar-besarkan atas memprovokasi situasi di Tolikara, bahkan
di Indonesia pada umumnya. Sementara pihak GIDI perlu di pastikan bahwa surat
tersebut diserahkan kepada siapa, karena aktor dibalik persoalan ini adalah
orang yang menyembunyikan surat tersebut. Hal ini untuk menindak lanjuti
pengakuan dari umat muslim bahwa belum mendapatkan surat tersebut. Keberadaan
surat ini akan memperjelas dalam melihat persoalan ini.
Kinerja
Aparat
Lucu
bercampur sedih melihat kinerja kerja aparat keamanan yang bertugas di daerah
itu. Lucu karena aparat yang mempunyai tugas dan tanggungjawab dalam
mengamankan situasi setempat, tetapi lalai. Sedih karena kelalaian inilah yang
membuat terjadinya persoalan antar umat beragama di sana. Sementara pimpinan
aparat keamanan (Polda) Papua masih sibuk mengurusi pencalonan pimpinan Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK).
Aparat
kemanan seharusnya memediasi atau menjadi fasilitator ketika beberapa orang umat
dari GIDI datang berdialog atau mempertanyakan ketidakpatuhan umat muslim yang
tengah melaksanakan atau merayakan idul fitri di lapangan terbuka dengan
menggunakan pengeras suara, tetapi mala menembak mereka dengan menggunakan alat
negara. Jika aparat menyambut mereka
dengan baik, pasti persoalan ini tidak mungkin terjadi. Ada kecolongan antara
surat edaran yang diklarifikasi itu dengan tindakan aparat kemanan yang tidak
manusiawi terhadap umat GIDI.
Politik
Keamanan
Berbagai
macam konflik yang terjadi di Papua sejak dulu hingga saat ini, tidak terlepas
dari politik adu domba yang tentunya mengorbankan masyarakat Papua. Konflik itu
merupakan lahan bisnis bagi pihak-pihak tertentu untuk mendapatkan keuntungan
darinya. Artinya pihak lain korban tetapi di pihak lain mendapatkan keuntungan.
Persoalan politik adu domba ini merupakan tidak melebihi dari perbudakan dalam
gaya atau metode yang baru. Dengan kata lain, perbudakan modern yang menjadikan
harkat dan martabat manusia tidak melebihi dari
seekor hewan atau binatang yang bisa diperjual-belikan. Semua ini
terjadi karena demi uang, karena uang telah menjadi yang maha kuasa di dunia
ini sehingga harkat dan martabat manusia bisa dinilai dengan uang.
Konteks
ini mengartikan bahwa orang lemah dan tidak punya uang dilarang hidup di dunia
ini, terutama di Papua. karena orang lemah dan tidak punya akan terus berada
pada posisi korban di semua aspek kehidupan mereka bahkan keberadaan mereka
akan dijadikan sebagai lahan bisnis oleh orang-orang yang berkepentingan di
dalamnya. Pengalaman hidup masyarakat Papua membuktikan bahwa para militer dan
aparat keamanan sering menjadi aktor dalam sejumlah kasus kemanusiaan di Papua.
konflik ini diciptakan untuk mendapatkan dan/atau meminta uang pengamanan
kepeda pemerintah daerah, karena dengan cara-cara kotor itulah yang membuat
kaya bagi aparat keamanan. Oleh karena itu, persoalan yang terjadi di Tolikara
ini tidak terlepas dari bisnis politik keamanan ini.
Karena
persoalan ini terjadi dalam suasana perayaan hari besar bagi umat muslim di
seluruh dunia. Dalam konteks tersebut, aparat keamanan jelas ditugaskan untuk
mengamankan situasi agar perayaan ini dapat berjalan lancar. Namun, dalam
situasi yang aparat keamanannya telah terbiasa dengan politik keamanan ini
tentu tidak cukup hanya menjalankan tugasnya sehingga satu-satunya cara yang diusahakan
adalah bagaimana menciptakan konflik demi mendapatkan uang pengamanan dari
pemerintah daerah setempat. Dengan demikian, masyarakat atau umat beragama
dikorbankan atas kepentingan politik pengamanan ini.
Peran
Media
Selama
ini, sejak tahun 1963 di Papua terjadi banyak persoalan dan penindasan serta
pembunuhan di seluruh pelosok tanah Papua. Harta benda bahkan nyawa pun turut
korban dalam sejumlah persoalan tersebut. Namun, tidak ada akses media satu pun
yang menyoroti atau memberitakan tentang semua persoalan tersebut. Dalam
kondisi demikian, semua persoalan terjadi begitu saja tanpa adanya sorotan dari
berbagai elemen yang bergerak di bidang kemanusiaan sehingga semakin
tertumpukan tanpa penyelesaian yang jelas. Namun, persoalan yang melibatkan
TNI/Polri dan masyarakat pendatang pada pihak korban selalu bermunculan
berbagai macam media yang tidak jelas entah dari mana. Seakan-akan sudah biasa
meliput berita tentang Papua secara netral sesuai dengan kode etik jurnalistik.
Begitu juga dengan pemberitaan tentang kasus Tolikara, banyak media bermunculan
mengangkat kasus ini hingga mengalahkan berita yang lain. Primadona di dalam
pemberitaan masih jauh dari netralitas dan/atau tidak berimbang serta tidak
mendidik sehingga memperkeruh situasi.
Media
mengangkat umat GIDI membakar kios dan musolla, berbagai media memberitakan
surat edaran yang telah di klarifikasi itu menjadi trending topik. Jika media
berkerja berdasarkan kode etik jurnalisme, pasti mengangkat tentang 11 orang
umat GIDI yang korban dalam peristiwa tersebut. Artinya bahwa, kita tidak
menginginkan pemberitaan secara sepihak atau subjektif, tetapi harus objektif
demi menjaga netralitas media. Pemberitaan kasus Tolikara yang bersifat
subjektif ini bisa dianggap bahwa para jurnalis yang berkerja di berbagai media
tidak mampu memposisikan diri mereka sebagai wartawan/i yang memberikan
informasi secara faktual dan objektif untuk mendidik atau menjadi konsumsi
publik. Melainkan, mereka (wartawan/i) memposisikan diri sebagai pemeluk agama
islam atau umat islam sehingga berita yang tidak mendidik itu selalu dinaikkan.
Seharusnya media menempatkan diri pada posisinya, karena media memiliki peranan
penting dalam menentukan situasi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara.
Perjuangan
Politik Papua Barat
Berkaitan
dengan masalah politik perjuangan pembebasan Papua barat yang saat di
perjuangkan oleh rakyat Papua, baik di dalam negeri maupun diluar negara pada akhir-akhir ini semakin meningkat.
Berbagai macam sorotan dari lembaga-lembaga atau Non Governance Organisazion (NGO’ s) yang bergerak dibidang
kemanusiaan ditujukan kepada pemerintah Indonesia. Sorotan tersdebut juga
datang dari berbagai negara, entah itu warga negara yang bermayoritas muslim
maupun kristen dan sebagainya. Baik NGOs maupun negara-negara yang menyoroti
perlakuan negara Indonesia terhadap masyarakat bangsa Papua dilihat dari segi
kemanusiaannya, bukan didasarkan pada siapa agama apa? Artinya mereka mencari
apa yang benar, bukan siapa yang benar.
Dalam
konteks demikian, negara Indonesia yang merupakan mayoritas umat islam sehingga
persoalan di Tolikara ini bisa dianggap sebagai konspirasi politik yang
berusaha mengalikan isu atas perjuangan politik rakyat Papua yang selama ini
korban dari kepentingan ekonomi, politik dan kekuasaan negara. Pengalian ke
masalah SARA ini juga disisi lain sebagai upaya negara Indonesia untuk
mengkriminalisasi perjuangan rakyat Papua demi memangkas dukungan dari
negara-negara yang mayoritas islam. Sehingga persoalan Tolikara ini dianggap
sebagai penggiringan isu politik ke ranah politik identitas agama guna meruncing
perjuangan rakyat Papua. Oleh karena itu, rakyat Papua pada umumnya dan
masyarakat Tolikara, terutama umat GIDI harus sabar dan tenang menghadapi
situasi ini.
Kesimpulan
Dilihat dari penjelesan
dan analisis di atas ini bahwa persoalan Tolikara bukanlah masalah SARA yang
menjadi fokus perhatian. Persoalan ini memiliki banyak unsur kepentingan
politik yang harus dianalisis lebih jauh dan mendalam dari berbagai pihak yang
berwenang demi mengungkap pihak-pihak yang harus bertanggungjawab dalam kasus
ini. Tidak boleh umat GIDI dijadikan sebagai pelaku dalam peristawa ini, karena
persoalan ini tidak mungkin terjadi ketikan semua pihak yang bertanggungjawab
di daerah itu menjalankan tugas dengan baik.
Rekomendasi
Berdasarkan analisis
singkat di atas ini yang ditinjauhdari beberapa aspek berdasarkan konsep
transpolitika, maka ada beberapa rekomendasi yang menjadi perhatian dari
berbagai kalangan, terutama pihak yang berwenang dalam menyelesaikan kasus ini,
yakni: pertama, surat edaran yang
telah diklarifikasi itu harus dipastikan bahwa diserahkan kepada siapa dan
siapa yang menyembunyikan; kedua, perlu memeriksa aparat keamanan yang
melakukan penembakan sebelum terjadinya persoalan; ketiga, perlu dipastikan
bahwa berapa dana pengamanan yang dikeluarkan oleh pemerintah untuk aparat
keamanan dalam mengamankan situasi; keempat, persoalan ini bukan masalah SARA
sehingga media harus menjaga netralitas dalam pemberitaannya; dan kelima, umat
beragama, baik muslim maupun GIDI harus tenang menghadapi situasi ini, karena
sebenarnya persoalan ini merupakan politik aduh domba yang merendakan harkat
dan martabat manusia.
Tidak ada komentar: