(Ilustrasi.Ist) |
”Katakan
sejujurnya, jika kita mau hidup manusia seutuhnya”, (ASLI)
Sudah
tidak asing lagi mengenai desakan untuk membuka akses bagi jurnalis
Internasional meliput berita di Papua dalam beberapa tahun terakhir.
Desakan tersebut datang dari berbagai pihak di dalam negeri maupun
luar negeri yang mempunyai rasa peduli terhadap masalah kemanusiaan,
baik secara individu, kelompok organisasi maupun institusi non
governance organisation. Arah desakan demi desakan tersebut
ditujukan kepada pemerintah Indonesia yang telah lama mengisolasikan
atau menyembunyikan masalah Papua dari pembicaraan dan pemberitaan di
media nasional maupun internasional. Desakan terakhir pada 29 April
2015 yang melibatkan sejumlah kalangan di tingkat internasional
adalah aksi demonstrasi yang diorganisir oleh TAPOL dan Survival
Internasional dan didukung oleh berbagai organisasi yang bergerak di
bidang kemanusiaan. Aksi serentak ini di lakukan di sepuluh negara
dunia yang diikuti dua puluh dua aksi dengan tuntutan yang sama untuk
membuka akses jurnalis Internasional masuk ke Papua. Aksi serentak
dan dukungan ini belum pernah ada dalam lembaran sejarah dunia
sehingga desakan ini menjadi suatu bumerang bagi rezim Jokowi-JK agar
dapat dipertimbangkan.
Berdasarkan
desakan tersebut, pada akhirnya Jokowi menyatakan jurnalis
Internasional bebas meliput berita di Papua mulai minggu 10 Mei 2015.
“Tidak perlu ada yang disembunyikan di Papua, semuanya harus
diperlihatkan entah itu pembangunan, kesejahteraan, pelanggaran HAM
dan sebagainya. Tidak perlu ada lagi izin khusus bagi jurnalis
internasional, demikian,” tutur Jokowi. Presiden Jokowi yakin bahwa
pernyataan tersebut akan berjalan dengan baik sesuai koordinasi
dengan para Menteri, Kapolri dan Panglima TNI. Hal ini tentu
berlawanan dengan apa yang yang sebelumnya disampaikan oleh Menteri
Luar Negeri, bahwa yang menjadi pertimbangan bagi negara dalam
membuka akses ini adalah masalah isu politik. Artinya bahwa sekalipun
akses dibuka, isu politik harus luput dari pemberitaan media.
Pernyataan
senada juga disampaikan oleh Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum
dan Keamanan (Polhukam), “biarkan jurnalis Internasional melihat
dan meliput berita di Papua. Namun, salah satu hal yang menjadi
syarat bagi jurnalis Internasional adalah tidak memberitakan hal-hal
yang menjelekkan Indonesia”. Sementara Polda Papua juga mengatakan
Jurnalis internasional bisa masuk ke Papua, asalkan hal positif.
Tindak lanjut dari antisipasi berita yang menjelekkan Indonesia ini
ialah memberlakukan syarat dan seleksi bagi jurnalis internasional
yang masuk khusunya di bagian pegunungan tengah Papua. Sementara
bagian pesisir dapat meliput berita tanpa syarat. Pemberlakuan syarat
bagi jurnalis Internasional yang masuk ke pegunungan Papua merupakan
bagian dari upaya negara Indonesia untuk menyembunyikan sejumlah
persoalan pelanggaran HAM dan ketidakadilan yang terjadi selama ini.
Padahal, desakan membuka akses jurnalis internasional masuk ke Papua
bukan karena pemerintah Indonesia berhasil membangun Papua sejak 1969
hingga saat ini tetapi karena terjadi banyak pelanggaran di semua
aspek kehidupan orang Papua, terutama pelanggaran HAM dan
ketidakadilan yang selama ini ditutup-tutupi dan tidak perna disentuh
oleh prosedur hukum yang berlaku di negara ini.
Melupakan
Masa Lalu
Dari
beberapa pernyataan di atas ini, negara berusaha mengarahkan jurnalis
Internasional meliput berita di Papua dari segi pembangunan dan
kesejahteraan. Selama ini pemerintah Indonesia memperlihatkan
pembangunan yang represif dan kekerasan, pelanggaran HAM serta
ketidakadilan. Maka pemerintah Indonesia berusaha merumuskan berbagai
macam program pembangunan yang disertai dengan kucuran dana triliunan
rupiah untuk memperbaiki citranya yang telah rusak dimata masyarakat
Papua. Tak heran, jika Jokowi mengajak masyarakat Papua melupakan
dugaan pelanggaran HAM pada masa lalu. Kita harus menatap masa depan
dan membangun Papua tanah yang damai. Pernyataan tersebut mendapat
kecaman dari aktifis kemanusiaan, Dr. Beny Giyai yang menyatakan
bahwa dugaan pelanggaran HAM itu lebih duluan diselesaikan baru
berbicara pembangunan. Memang benar dan harus diakui bahwa pemerintah
Indonesia sulit membangun Papua sebelum luka batin masyarakat Papua
disembuhkan.
Banyak
pelanggaran HAM terjadi di Papua sejak dilakukannya ekspansi militer
Indonesia untuk merebut Papua pada 1 Mei 1963. Masyarakat Papua
telah, sedang dan akan menjadi korban bukan karena meminta
pembangunan dan kesejahteraan, tetapi demi pengakuan atas harkat dan
martabat mereka yang telah lama diinjak-injak demi kepentingan ini.
Selama pemerintah Indonesia menawarkan program pembangunan dan
kesejahteraan, yakinlah bahwa persoalan Papua tidak akan pernah
selesai. Karena masyarakat Papua saat ini tidak percaya dengan
keberadaan pemerintah dan pembangunan yang tidak mengindahkan tata
nilai dan norma yang berlaku dalam kehidupan masyarakat Papua.
Masyarakat Papua masih trauma melihat orang-orang yang berpakaian
loreng, apalagi mendekati dan berbincang dengan mereka, inilah fakta
yang terjadi.
Pasar
Bebas ASEAN
Ada
dua agenda besar yang berusaha dijalankan oleh negara Indonesia
sebagai program turunan dari pasar bebas ASEAN. Agenda pertama adalah
Master Plan Percepatan Perluasan
Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI). Agenda ini bergerak
dibidang ekonomi, kawasan ekonomi khusus, konektifitas dan
pembangunan infrastruktur. Semua itu merupakan faktor pendukung yang
mempermudah dalam melaksanakan aktifitas perusahaan untuk
mengeksploitasi kekayaan alam. Sebagai realisasinya, sedang
diupayakan dan dijalankan di Papua, seperti pembangunan bandar udara,
rel kereta api, jalan trans lintas Papua, pelabuhan, pengembangan
kawasan ekonomi khusus dan sebagainya. Persoalan yang dimunculkan
tentu akan dihadapi oleh masyarakat Papua, yakni perampasan tanah
adat, perusakan lingkungan, pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM),
ketidakadilan dan sebagainya.
Agenda
kedua adalah Master Plan Percepatan
Perluasan dan Pengurangan
Kemiskinan Indonesia (MP3KI).
Program ini bergerak di bidang sosial, seperti bantuan pelayanan
jaminan sosial (BPJS), beasiswa miskin atau asuransi pendidikan,
PNPM, kredit usaha Rakyat, UP4B, UU Desa dan sebagainya. Sejumlah
program tersebut telah dan sedang dijalankan di Papua sebagai tempat
sasaran melampiaskan nafsu kapitalis. Tujuan dari program ini adalah
untuk menciptakan ketergantungan masyarakat terhadap pemerintah
Indonesia agar tunduk pada perintah dan kepentingan ekonomi politik
negara ini.
Sejumlah
program pembangunan yang serat dengan kepentingan ini bukan untuk
membangun, menyejahterakan dan menciptakan Papua tanah damai, tetapi
hanya untuk kepentingan ekonomi politik untuk mempermudah dan
melancarkan agenda pasar bebas. Dalam konteks tersebut masyarakat
Papua tetap berada pada posisi korban disemua aspek kehidupan. Dalam
konteks tersebut, bagaimana mungkin program pembangunan bisa
dijalankan dengan baik? Jika pembangunan tetap dipaksakan tanpa
merespon substansi persoalan, maka akan menambah persoalan baru bagi
masyarakat Papua. Pertanyaan selanjutnya adalah apa saja yang menjadi
topik pemberitaan di media? Apakah pembangunan atau persoalan?
Seharusnya pemberitaan harus mengacu pada kode etik tanpa syarat
tertentu.
Keberadaan
Media
Keberadan
media menjadi urgen dalam kehidupan masyarakat untuk memberikan
informasi aktual dan objektif secara netral. Pengalaman membuktikan
bahwa banyak jurnalis lokal, nasional dan Internasional mengalami
berbagai macam persoalan yang dilakukan oleh TNI/Polri. Perlakuan
TNI/Polri terhadap jurnalis ini merupakan upaya menjadikan media
pencitraan negara. Disamping itu, banyak jurnalis juga yang berusaha
memberitakan pencitraan negara dengan menyembunyikan dan merekayasa
opini publik terkait persoalan yang terjadi dalam kehidupan
masyarakat Papua. Kebanyakan media cetak maupun elektronik di negara
Indonesia dalam memberitakan tentang Papua selalu diangkat dari sisi
keindahan alam, pembangunan dan persoalan yang diposisikan TNI/Polri
dan masyarakat transmigrasi pihak korban di Papua.
Sejumlah
penderitaan, pelanggaran HAM dan ketidakadilan yang dihadapi oleh
masyarakat Papua jarang muncul di media cetak maupun elektronik.
Pemberitaan selama ini ditampilkan semua yang baik bagi pemerintah
Indonesia sehingga jelas tidak berimbang. Bagi jurnalis yang meliput
berita secara netral sesuai dengan kode etik jurnalistik selalu
dianggap sebagai musuh negara yang harus disingkirkan, sekalipun
dijamin oleh Undang-Undang Pers. Dalam konteks demikian, pemberitaan
tentang Papua, media cetak maupun elektronik, ditingkat lokal,
nasional maupun internasional akan terbagi dalam dua kelompok.
Kelompok pertama adalah media pencitraan dan yang kedua adalah media
yang netral. Media pencitraan akan didanai oleh pemerintah Indonesia.
Sedangkan media netral akan lebih mengacu pada kode etik
jurnalistiknya.Tidak heran, jika media-media yang selama ini menjadi
media pencitraan negara bermunculan untuk memberitakan tentang Papua.
Media pencitraan ini juga akan berusaha mengalakan media yang
berkerja secara netral untuk membentuk dan merekayasa opini publik
bahwa Papua sedang dibangun dan baik-baik saja. Padahal bertentangan
kondisi objek yang dialami oleh masyarakat Papua.
Kesimpulan
Berangkat
dari penjelasan singkat diatas, penulis dapat menyimpulkan bahwa
membuka jurnalis internasional masuk ke Papua hanya untuk merekayasa
opini publik di mata masyarakat Internasional. Indonesia tetap akan
berusaha mengarahkan jurnalis Internasional menyembunyikan substasi
persoalan yang dihadapi oleh masyarakat Papua sejak 1963 hingga saat
ini. Media yang netral akan disaingi oleh media pencitraan negara.
Untuk
menyembunyikan persoalan tersebut, pemerintah Indonesia berusaha
menjalankan berbagai macam program pembangunan yang disertai dengan
kucuran dana triliunan rupiah di Papua demi mempermudah aktivitas
pasar bebas untuk mengeruk kekayaan alam Papua. Semua itu merupakan
kepentingan untuk memperbaiki citra negara yang telah rusak di mata
masyarakat Papua dan masyarakat Internasional pada umumnya agar
kepentingan ekonomi politik di Papua dapat berjalan dengan baik.
Rekomendasi
Berdasarkan
pernyataan membuka akses, pemberlakuan syarat dan pengalaman dalam
pemberitaan tentang Papua selama ini, maka ada beberapa hal yang
menjadi rekomendasi bagi media dan jurnalis lokal, nasional dan
internasional yang akan meliput berita di Papua, yakni; Pertama,
tidak boleh ada yang membentuk opini publik dengan berita yang
bertentangan dengan kondisi objek di Papua; Kedua, diharapkan
pemberitaan tentang Papua harus netral sesuai dengan kode etik
jurnalistik yang berlaku. Ketiga, pemberitaan tentang Papua
harus berimbang disemua aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara tanpa menyembunyikan dan menjelekan masyarakat Papua maupun
pemerintah Indonesia.
Penulis
adalah Mikael Tekege, Mahawsiswa Kuliah di Yogyakarta.
Catatan:
Tulisan ini pernah kirim ke tabloid jubi, tetapi belum ada konfirmasi
dari redaksi.
Tidak ada komentar: